infopertama.com – Orang-orang yang mempermasalahkan hari wafat dan kebangkitan Yesus, umumnya mengambil dasar ayat-ayat Kitab Suci yang menyebutkan bahwa Kristus bangkit “sesudah tiga hari” (Mat 27:63; Mk 8:31; 9:31; 10:34). Kitab Suci memang menyebutkan frasa “tiga hari tiga malam”, “sesudah tiga hari”, atau “dalam tiga hari”, yang mengacu kepada kebangkitan Yesus, contohnya:
“Tetapi jawabNya kepada mereka: “Sebab seperti Yunus tinggal di dalam perut ikan tiga hari tiga malam, demikian juga Anak Manusia akan tinggal di dalam rahim bumi tiga hari tiga malam” (Mat 12:29-40, Bdk. Yun 1:17; Lk 11:30).
“…Yesus mengajarkan kepada mereka, bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari” (Mrk 8:31).
“Jawab Yesus kepada mereka: “Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali” (Yoh 2:19, bdk. Mat 26:61; Mat 27:40; Mrk 14:58; Mrk 15:29).
Namun frasa “tiga hari tiga malam” atau “sesudah tiga hari” tidak untuk diartikan sebagai 3 x 24 jam, atau 72 jam, menurut pola pikir masyarakat zaman sekarang. Mengapa? Karena jika diartikan demikian, malah tidak sesuai dengan penyebutan hari yang sudah jelas dan eksplisit disebutkan dalam Kitab Suci, yaitu bahwa Yesus wafat dan dikubur pada hari Jumat (hari persiapan Sabat), yang dengan cara penghitungan inklusif menunjukkan hari ketiga jatuh pada hari Minggu.
Jika dipaksakan 3 x 24 jam dihitung sejak hari Jumat, maka konsekuensinya Yesus bangkit pada hari Senin atau hari keempat. Tapi bukan ini yang tertulis secara eksplisit dan berulang-ulang dalam Kitab Suci. Sebab Injil jelas menyebutkan bahwa Yesus bangkit pada hari ketiga, yang jatuh pada hari pertama minggu itu (Mat 28:1; Mrk 16:2; Luk 24:1; Yoh 20:1).
Ada juga perkiraan sejumlah orang bahwa Yesus wafat pada hari Rabu. Lalu dari hari Rabu ditambahkan 3×24 menjadi hari Sabtu sore atau Minggu dinihari. Tetapi ini malah tidak cocok dengan perkataan Yesus sendiri bahwa ia akan bangkit “pada hari ketiga” (Mat 16:21, 17:23; 20:19; Luk 9:22; 18:33), sebab dengan hipotesa perhitungan ini, maka Yesus bangkit pada hari yang ke-empat, atau malah kelima.
Mungkin bagi sejumlah orang, frasa ‘hari yang ketiga’, artinya berbeda dengan ‘sesudah tiga hari’, atau ‘tiga hari tiga malam’. Namun menurut pemahaman dan gaya bahasa Yahudi, ketiga frasa tersebut artinya sama saja. Ini kita ketahui dari Injil Matius:
“Keesokan harinya, yaitu sesudah hari persiapan, datanglah imam-imam kepala dan orang-orang Farisi bersama-sama menghadap Pilatus, dan mereka berkata: “Tuan, kami ingat, bahwa si penyesat itu sewaktu hidup-Nya berkata: Sesudah tiga hari Aku akan bangkit. Karena itu perintahkanlah untuk menjaga kubur itu sampai hari yang ketiga; jikalau tidak, murid-murid-Nya mungkin datang untuk mencuri Dia, lalu mengatakan kepada rakyat: Ia telah bangkit dari antara orang mati, sehingga penyesatan yang terakhir akan lebih buruk akibatnya dari pada yang pertama” (Mat 27:62-64).
Selain itu, bahwa hari yang ketiga itu jatuh pada hari pertama minggu (yaitu hari Minggu) disebutkan dalam kisah penampakan Yesus kepada dua murid-Nya ke Emaus. Disebutkan di sana, bahwa sore itu tetap masih “pada hari itu juga”. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa penampakan Yesus itu terjadi pada hari yang sama dengan hari kebangkitan-Nya, yaitu hari pertama minggu itu, setelah lewat tiga hari dari kematian-Nya (lih. Luk 24:1,13,21). Demikian disebutkan dalam perikop itu:
“Seorang dari mereka, namanya Kleopas, menjawabNya: Adakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?…. Apa yang terjadi dengan Yesus orang Nazaret. Dia adalah seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan di depan seluruh bangsa kami. Tetapi imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin kami telah menyerahkan Dia untuk dihukum mati dan mereka telah menyalibkan-Nya. Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel. Tetapi sementara itu telah lewat tiga hari, sejak semuanya itu terjadi” (Luk 24:18-21).[1]
Jadi penghitungannya demikian: Yesus wafat hari Jumat jam 3 siang sebelum hari Sabat yang dimulai Jumat jam 6 sore. Ini sudah dihitung 1 hari (hari pertama). Hari Sabat (dari Jumat sore sampai Sabtu sore) dihitung 1 hari (hari kedua). Dari hari Sabtu sore sampai hari keesokan harinya pagi-pagi benar ketika para wanita menemukan Yesus telah bangkit, dihitung 1 hari (hari ketiga).
Maka frasa “sesudah tiga hari” dan “sampai hari ketiga” sama artinya (lih. Mat 27:62-), demikian juga “pada hari ketiga” (te trite hemera) dan “setelah tiga hari” (meta treis hemeras), seperti terlihat dalam teks Mat 16:21 dan Mrk 8:31.
Jadi ‘tiga hari tiga malam’ SAMA artinya dengan ‘tiga hari’. Frasa serupa juga digunakan untuk menjabarkan lamanya Yesus berpuasa dalam Injil Matius, yaitu “empat puluh hari dan empat puluh malam” (Mat 4:2). Sedangkan pada perikop paralelnya di Injil Lukas, dikatakan bahwa Yesus berpuasa “empat puluh hari lamanya” (Luk 4:2).
Dari sini kita ketahui bahwa jika “empat puluh hari empat puluh malam” sama artinya dengan “empat puluh hari lamanya”, maka dengan prinsip yang sama, tiga hari tiga malam sama artinya dengan tiga hari lamanya, yang disebut juga sebagai hari yang ketiga (bdk. Est 4:16-17 – 5:1) ataupun sesudah tiga hari (Mat 27:63).
Konsekuensi penghitungan hari secara inklusif ini, menjadikan waktu seminggu yang telah lewat sama artinya dengan “delapan hari kemudian” (lih. Yoh 20:26). Sebab hari kebangkitan Yesus dan penampakan-Nya kepada para murid-Nya dihitung sebagai hari pertama, dan ayat itu mengisahkan bahwa seminggu telah lewat sejak kejadian tersebut.
Jadi menurut cara penghitungan Yahudi, antara hari Minggu ke Minggu berikutnya dikatakan sebagai “delapan hari kemudian” atau sesudah delapan hari. Dengan demikian, dari hari Jumat ke Minggu dikatakan sebagai “tiga hari kemudian” atau “sesudah tiga hari”.
Penghitungan hari menurut kebiasaan Yahudi yang tercatat dalam Kitab Suci, menunjukkan penghitungan hari secara inklusif. Artinya, dalam menghitung jangka waktu, waktu kurang dari 24 jam, tetap dihitung sehari penuh. Jadi “setelah tiga hari” atau “tiga hari tiga malam” tidak harus berarti tiga hari penuh (72 jam). Penghitungan hari secara inklusif ini nyata dalam catatan sejarah Yahudi di abad pertama oleh Josephus, dan dari Jewish Talmud.[2] Mengingat Kitab Suci ditulis dengan latar belakang budaya dan pemahaman Yahudi, kita harus menerima keseluruhan cara penghitungan hari menurut kebiasaan Yahudi, yaitu baik bahwa hitungan hari yang dimulai jam 6 sore sampai 6 sore berikutnya, maupun cara menghitung jumlah hari secara inklusif, yaitu bahwa beberapa jam sebelum jam 6 sore sudah dihitung satu hari penuh.
Kita tidak bisa mengadopsi hanya sebagian—yaitu menghitung hari mulai dari jam 6 sore sampai jam 6 sore berikutnya—tetapi menghitung jumlah hari menurut pengertian di zaman sekarang. Ini tidak cocok dengan pemahaman Yahudi pada saat Kitab Suci ditulis, sehingga membuat salah paham.
Sumber: Katoliksitas
[1]“Concerning Jesus of Nazareth, who was a prophet mighty in deed and word before God and all the people, and how our chief priests and rulers delivered him up to be condemned to death, and crucified him….it is now the third day since this happened…” (Luke 24:18-21 RSV).
[2]Jewish Antiquities 7:280f; 8:214/218; 5:17, bdk. Jewish Talmud dan The Babylonian Jerusalem Talmud (The Commentaries of the Jews).
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel