infopertama.com – Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan warisan budaya dan tradisi lokal. Setiap wilayah memiliki kekayaan adat istiadat yang diwariskan lintas generasi, termasuk upacara Ma’nene yang berasal dari masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan.
Ma’nene bukan sekadar seremoni kematian, melainkan ekspresi penghormatan yang mendalam terhadap leluhur serta simbol kekuatan hubungan kekeluargaan. Tradisi ini mencerminkan sinergi antara nilai-nilai spiritual dan budaya dalam kehidupan masyarakat tradisional.
Hingga kini, masyarakat Toraja tetap menjaga adat leluhur mereka. Penghormatan terhadap arwah leluhur dilakukan melalui ritual kematian yang sarat makna dan simbolik.
Ma’nene merupakan upacara tradisional yang lazimnya digelar setiap tiga tahun sekali, biasanya usai musim panen pada bulan Agustus. Dalam upacara ini, jenazah leluhur yang telah dimakamkan dibersihkan dan dikenakan pakaian baru.
Praktik ini menjadi bentuk rasa syukur sekaligus penghormatan kepada para leluhur yang diyakini telah memberkahi hasil panen serta melindungi ternak (Rismayanti, 2020). Ma’nene secara harfiah berarti “pembaharuan” atau “pembersihan,” dan dalam konteks budaya Toraja, tradisi ini menggambarkan hubungan batin yang kuat antara orang hidup dan leluhur.
Proses Ma’nene dimulai dengan mengangkat jenazah dari makam batu atau liang, lalu membersihkannya secara hati-hati. Jenazah kemudian dikenakan pakaian baru, rambut disisir, dan tubuhnya dirapikan seolah masih hidup. Ritual ini dilakukan dengan penuh kehormatan dan kasih sayang, sering kali diiringi tangis haru dan cerita kenangan dari anggota keluarga. Nuansa spiritual sangat kental, menciptakan suasana sakral yang mendalam sepanjang prosesi.
Kisah Awal Ma’nene
Berdasarkan riset Gunawan (2018), awal mula tradisi Ma’nene berasal dari kisah dua pemburu bernama Pong Rumasek dan Pong Rumanden. Saat kembali dari perjalanan ke Bone menuju Tana Toraja, mereka menemukan kerangka manusia yang terbengkalai. Diliputi rasa iba, mereka membungkus tulang belulang itu dengan pakaian dan menguburkannya di tepi jalan yang sering mereka lalui. Setiap kali melintasi tempat tersebut, mereka menyempatkan diri untuk merawat makam tersebut.
Suatu ketika, roh dari jenazah itu muncul dan mengucapkan terima kasih atas kebaikan mereka dengan memberikan ramuan ajaib penyembuh penyakit. Kisah ini diyakini sebagai asal muasal tradisi Ma’nene sebagai wujud penghormatan terhadap leluhur.
Ritual Ma’nene bertujuan menyampaikan rasa syukur kepada leluhur yang diyakini memberikan perlindungan terhadap hasil panen dari gangguan hama dan bencana.
Selain itu, tradisi ini juga menjadi sarana untuk menunjukkan kasih sayang dan penghormatan terhadap keluarga yang telah meninggal dunia. Dalam pandangan masyarakat Toraja, kematian bukanlah akhir kehidupan, melainkan fase menuju dunia roh atau puya.

Tradisi Ma’nene memiliki fungsi penting dalam menjaga kelestarian nilai-nilai budaya dan identitas komunitas Toraja. Ritual ini menjadi wahana menjaga keharmonisan antara dunia nyata dan dunia spiritual. Simbol-simbol yang digunakan dalam upacara turut memperkuat nilai sosial, religius, dan kebudayaan. Oleh karena itu, Ma’nene bukan hanya bentuk penghormatan terhadap leluhur, melainkan juga warisan nilai-nilai yang disampaikan ke generasi penerus.
Pada saat pelaksanaan Ma’nene, peti-peti jenazah leluhur dikeluarkan dari liang atau makam batu untuk dibersihkan. Kain pembungkus diganti, peti yang rusak diperbaiki, dan dilakukan doa bersama demi memohon perlindungan dari marabahaya, hama tanaman, serta kesialan hidup.
Seperti dijelaskan oleh Gunawan dan Merina (2018), tradisi Ma’nene tidak hanya sebatas penggantian pakaian atau pembersihan jasad, melainkan mencerminkan pentingnya ikatan kekeluargaan, termasuk dengan keluarga yang telah berpulang.
Tahapan Ritual Ma’nene (Versi Aluk Todolo) Bagi penganut kepercayaan Aluk Todolo, pelaksanaan Ma’nene melalui sejumlah tahapan:
Pertama, adalah Tahapan Persiapan Keluarga membersihkan patung tau-tau (simbol leluhur), merapikan area pekuburan, serta membawa perlengkapan seperti pakaian bersih, sirih, kapur sirih, pinang, air, rokok, dan bunga.
Kedua, adalah Persembahan Keluarga, menyajikan persembahan berupa babi atau kerbau sesuai kesepakatan, serta makanan rumahan yang dimasak menjadi makanan khas mapa’piong, yang kemudian disantap bersama.
Ketiga atau terakhir adalah Pemanggilan Arwah Tominaa. Pada tahap ini pemimpin upacara membacakan doa dalam bahasa Toraja kuno untuk mengundang arwah leluhur. Saat makanan yang disajikan dimakan oleh Tominaa, itu menandakan kehadiran roh. Makanan tersebut kemudian dibagikan kepada keluarga sebagai lambang penerimaan berkah.
Melalui upacara ini, masyarakat tidak hanya menunjukkan rasa hormat dan cinta kepada leluhur, tetapi juga mengungkapkan rasa syukur atas perlindungan dan hasil panen yang melimpah. Ma’nene menjadi simbol hubungan yang tak terputus antara yang hidup dan yang telah meninggal, serta mencerminkan pandangan hidup masyarakat Toraja bahwa kematian adalah bagian dari perjalanan menuju alam roh, bukan akhir dari kehidupan.
Lebih dari sekadar ritual mengganti pakaian jenazah, Ma’nene juga berperan sebagai sarana mempererat hubungan antar anggota keluarga dan menjaga keharmonisan komunitas.
Ketahui, dalam setiap tahapannya, mulai dari persiapan hingga pelaksanaan doa-doa adat, tradisi ini mengajarkan pentingnya menjaga nilai kekeluargaan, kebersamaan, serta penghormatan terhadap warisan leluhur. Karenanya, Ma’nene tidak hanya menjadi ritual sakral, tetapi juga identitas budaya yang terus dilestarikan oleh masyarakat Toraja hingga kini.
Daftar Pustaka
1. Fitria, A. E., Nisa, N. F., Nafitri, A. L., Maulida, M. N., Sugiantoro, S., & Setyawan, K. G. (2024). Pemaknaan Simbol dalam Tradisi Ma’nene di Daerah Toraja. Maharsi: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Sosiologi, 6(3), 152-160.
2. Gunawan, R., & Merina, M. (2018). Tradisi Ma’Nene Sebagai Warisan Budaya Etnis Toraja. Candrasangkala: Jurnal Pendidikan dan Sejarah, 4(2), 107–115. http://dx.doi.org/10.30870/candrasangkala.v4i2.4527
3. Rismayanti, N. W., & Nusarastriya, G. S. (2020). Perubahan makna tradisi Ma’nene ditinjau dari keberagaman keyakinan masyarakat Toraja. Jurnal Administrasi, Bisnis, dan Inovasi (JABI), 2(2), 107–114.
4. Rismayanti Dan Yosaphat Haris Nusarastriya, 2020, Upacara Adat Pemakaman Mengenang Leluhur (Ma’ Nene) Di Toraja, Lembang Bululangkan Kecamatan Rinding Allo Toraja Utara, Jurnal Adat Dan Budaya, 2 (2), Hlm. 123.
Penulis, Mahasiswa kelas Antropologi B, Fakultas Psikologi UST Yogyakarta, antara lain:
1. Yuni Puji Hastuti (2023011064)
2. Vivin Nuraini Ayu Utami (2023011068)
3. Yusliva Irnanda (2023011079)
4. Narahita Radya Daneswara (2023011090)
Artikel ini disusun sebagai tugas Antropologi dengan Dosen pengampu: Hartosujono A.Md., S.E., S.Psi., M.Si
Editor: Walterius Rahmin Janu, S.Psi
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel