Cepat, Lugas dan Berimbang

Tetaplah Tenang Dari Hatimu Yang Kokoh

Sekadar satu perenungan

“Sedikitpun aku tak iri ataupun kurang hati karena segala kuat, hebat dan istimewa yang kaumiliki….
Namun, kenapa kah kau sekian kasar dan nyinyir atas segala kurang dan tak hebatnya-ku?”
(suara keluh Sang Bijak)

P. Kons Beo, SVD

Pergolakan itu tetap ada. Ciptakan kepanikan. Rasa tak karuan di hati seperti tercecer sana-sini. Itu memang jadi fakta batin tak tersangkalkan. Kita tak tiba dan menggapai apa yang kita impikan. Jadi lebih rumit saat kita tak siap batin hadapi kenyataan yang keluar dari lintasan harapan itu.

Saat kita mengarah ke satu tujuan sebagai cita-cita, mestinya kita tahu bahwa semuanya bakal tak semudah dan semulus itu. Kita, di satu titik, tak merancang jalan hidup ‘semuanya hanya dari diri kita sendiri.’ Sebab, di titik lainnya, ada sesama yang melihat dan mengamati. Iya, ada yang memantau. Orang yang berkuasa itu punya syarat. Dalam dirinya ada ‘target capaian’ yang dipatok. “Apakah Anda ada di jalan benar untuk mencapai target normatif? Atau kah sebaliknya tidak?

Itulah risiko hidup dalam kebersamaan. Kita ingin aman dan nyaman dalam interaksi perelasian. Terkadang kita menuntut agar sesama, kebersamaan, atau siapapun dan apapun ‘di luar kita’ menjadi kondisi atau sumber kesejukan hati kita.

Bagaimana pun, kita pasti tahu bahwa itu saja tak cukup. Atau bahwa bisa saja kita keliru beranggapan. Ada hal lain yang mesti direnungkan.

Ternyata kita dan segala ‘apa yang kita yang miliki’ adalah syarat utama dari keteduhan hati. Rumusan cita-cita hidup, tentu dan terutama, mesti digelorakan dalam pernyataan diri yang seimbang dan sepadan. Dan itu, mesti pula tertangkap pada layar interese yang jelas dari segala ekspresi diri itu. Dan, akan menjadi lengkap saat segala kedirian itu terpintal indah dalam harapan dan cita-cita bersama.

Tetapi, bukan kah seringkali kita tersandra dalam bi-polaritas kedirian (diri sendiri) yang acapkali bertabrakan sengit? Antara cita-cita dan ‘gerak atau aura jiwa ke sana, ya ke cita-cita itu’ sungguh tak menjanjikan. Tak tunjukan tanda-tanda harapan. Ibarat ‘hati berkeinginan jadi petani, namun kenapa kah tangan dan kaki masih merasa enggan bahkan jijik untuk meraba dan menyentu tanah?’

Ketidaknyamanan mengenai masa depan dan hari esok tetap bergelora. Terasa belum ada kepastian. Tak jelas. Bisa terjadi ada harapan bahkan tuntutan agar ‘semua yang di luar diriku’ harus siapkan segalanya sebagai satu kepastian. “Sabar, Bro! Itu sepertinya keliru besar….”

Rupanya, di situasi seperti ini, mesti diulang apa yang disebut dinamika hidup demi sebuah self-discovery dan self-acceptance.’ Alasannya jelas! “Pulang ke diri sendiri” dan lalu menggali serta susuri sedalamnya ‘isi diri’ adalah syarat mutlak demi menggapai sebuah cita dan harapan.

Dalam diri setiap orang terdapat sederet bakat, minat, interese. Setiap kita miliki peta diri yang bermodal untuk maju dan berkembang. Dalam khasana religius ditangkap bahwa ada keyakinan akan Tuhan yang tak membiarkan kita ‘kosong’ dalam hidup. Setiap kita pun miliki spirit hidup. Itulah daya dorong yang dimeterai sebagai motivasi.

Tetapi, self-discovery (penemuan diri) dan self-acceptance (penerimaan diri) juga menuntun siapapun kita kepada sisi diri yang tak indah. Artinya, bahwa kita sepantasnya ikhlas, atau ‘tahu dirilah’ bahwa kita bukanlah segalanya. Di situlah sesunggguhnya terciptalah panggung indah kehidupan bahwa kita sanggup memeluk dan mencium diri sendiri yang tak indah dan tak lengkap.

Perhatikanlah sedalamnya! Seberapa banyak kah energi batin positif yang tersedot sia-sia hanya karena kita berkamuflase untuk ‘tutupi apa yang senyatanya kurang dalam diri?’ Atau bahwa energi positif itu berubah jadi negatif ketika, -gagal dalam ketulusan mengakui kelebihan dan kemampuan sesama-, kita terperangkap dalam rasa tak suka, iri hati yang sekian mendengki.

Kita tak pernah ada dalam suasana rendah penuh malang dan kurang hanya karena mengira bahwa orang lain pasti selalu surplus. Tidak! Tetapi, sepantasnya mencermati bahwa apa yang kita miliki dalam bakat dan kemampuan dapat menjadi tanda kebanggaan dan sukacita untuk berbagi. ‘Kelebihan atau katakan saja keistimewaan yang kita miliki bukanlah modal dan ‘kesempatan’ demi keangkuhan diri yang menekan dan ‘merendahkan sesama.’ Tak usahlah……

Mari kita genggam penuh yakin kata-kata St Teresa dari Kalkuta, “Aku dapat melakukan sesuatu yang tak dapat engkau lakukan; sebaliknya engkau dapat melakukan apa yang tak sanggup aku lakukan. Tetapi, bersama-sama, kita dapat melakukan hal-hal yang besar.”

Untuk dapat ‘saling memberi dan melakukan bersama-sama’ kita mesti ‘kembali pada diri sendiri.’ Demi menggali apa-apa yang indah dan bermakna demi kehidupan yang lebih baik dan ceriah. Memang sepantasnya kita tak boleh risih dan resah atas kelebihan dan keistimewaan sesama. Dan tak boleh seterusnya nyinyir atas kekurangan atau ketidakhebatan sesama. Sebab, ia pasti miliki sesuatu ‘yang tak kita miliki.’

Marilah kita tenang dan kokoh di hati dan di jiwa kita yang paling dalam…

Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel