Oleh Fais Yonas Bo’a
infopertama.com – Baru-baru ini terjadi insiden yang sangat penting untuk dijadikan perhatian bersama yaitu diamankannya Pemred Floresa dan 3 warga lainnya oleh Polisi.
Peristiwa ini terjadi ketika Tim Persiapan Pengadaan Lahan Pemda Manggarai melakukan identifikasi lahan untuk accses road menuju wellpad D di Desa Mocok, Poco Leok dalam rangka pengembangan PLTP Ulumbu Unit 5-6.
Kegiatan identifikasi lahan yang dilakukan selama 2 hari berturut-turut itu sukses dilakukan meski diwarnai aksi massa dari kelompok penolak geotermal. Ketika aksi berlangsung, pihak keamanan (Polisi) melakukan tindakan pengamanan terhadap 4 orang yang diduga melakukan tindakan provokatif terhadap massa.
Diketahui bahwa dari 4 orang yang sempat diamankan oleh pihak Kepolisian Resort Manggarai, 1 diantaranya ternyata Pemimpin Redaksi (Pemred) Floresa.
Setelah dibebaskan ia menuturkan kepada awak media bahwa dirinya diamankan lantaran tidak membawa kartu identitas jurnalis pada waktu hendak meliput aksi massa di Poco Leok.
Aksi pengamanan terhadap Pemred media tersebut kemudian dicap sebagai bentuk pembungkaman terhadap media. Sudah barang tentu Polisi juga dinilai melanggar HAM.
Pertanyaannya sekarang ialah bagaimana insiden di atas di hadapan hukum? Mari kita belajar hukum. Tindakan Pemred Floresa yang tidak membawa ID Card jurnalis sebenarnya bentuk pelanggaran hukum. Peraturan Dewan Pers Nomor 6 Tahun 2008 tentang Kode Etik Jurnalistik jelas mengatur terkait hal identitas jurnalis. Pasal 2 dalam Peraturan Kode Etik Jurnalistik tersebut menerangkan: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsiran cara-cara yang profesional adalah: huruf a. Menunjukkan identitas diri kepada narasumber. Inilah yang dilanggar oleh Pemred Floresa.
Ini artinya dalih pembungkaman media tidaklah patut dikoarkan dalam insiden ini. Kebebasan jurnalistik haruslah disertai tanggung jawab. Segala sesuatu kegiatan jurnalistik wajib mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan pers.
Lalu, bagaimana dengan tindakan pihak kepolisian yang melakukan pengamanan terhadap seorang Pemred dan 3 warga lainnya?
Secara hukum, tindakan pengamanan oleh Polisi sebenarnya sebagai bentuk diskresi. Diskresi adalah kewenangan bebas yang dimiliki oleh pejabat administrasi negara untuk mengambil keputusan atau bertindak berdasarkan pendapat sendiri. Diskresi biasanya dilakukan untuk mengatasi masalah konkret di lapangan.
Diskresi bukanlah tindakan pelanggaran hukum selama memenuhi dua syarat utama. Pertama, terukur yakni tidak melanggar HAM. Kedua, dapat dipertanggungjawabkan.
Jika tindakan Polisi terbukti tidak terukur dan tidak dapat dipertanggungjawabkan maka itu berarti Polisi sama saja dengan Pemred Floresa. Sama-sama melanggar hukum.
Pengalaman hukum yang terjadi dalam insiden pengamanan terhadap orang-orang yang diduga provokator oleh Polisi menjadi pelajaran penting bagi segenap subyek hukum. Bahwasannya di dalam negara hukum, tidak ada yang namanya kebebasan yang sebebas-bebasnya. Jangan karena Media mampu mempengaruhi opini publik maka bertindak bebas tanpa memperhatikan rambu hukum. Jangan karena Polisi berhak mengamankan maka bebas untuk menahan orang tanpa mengikuti prosedur hukum.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel