“Tragedi Menjerita mirip seperti ini, ada aktor intelektual yang memprovokasi masyarakat. Tampaknya dokumen ini diduga bertujuan saudara Bona bersama sindikatnya, mau mengendalikan tanah adat masyarakat Boleng,” kata dia.
Taktiknya, dengan menggunakan peta zaman Belanda dulu yang disebut “Hamente” atau Kedaluan. Jika dibandingkan sekarang kira-kira sama seperti kecamatan.
“Kebetulan pusat Kedaluan Boleng terakhir di Mbehal, yang sebelumnya di Rareng. Mbehal adalah kampung saudara Bona,” ujarnya.
Liciknya lagi, Bonevantura menjadikan peta itu di bawah kendali ayah Bonaventura dan Bonaventura.
“Dengan licik, saudara Bonaventura membuat peta itu untuk mengendalikan tanah adat Boleng di bawah koordinasi ayahnya atau dirinya,” tambahnya.
Padahal kampung Mbehal itu berada di balik gunung dan posisi lingko Menjerite dan Nerot melewati kampung adat Wangkung, Rareng, Rai dan Tebedo. Ini benar-benar aneh dan orang ini tidak memahami adat Manggarai,” tambahnya.
Kedekatan kampung dan lingko dalam kehidupan orang Manggarai sangat dekat. Dalam wilayah “Hamente” dihuni sejumlah kampung adat yang memiliki gendang (rumah adat) dan lingko (tanah adat).
Dokumen yang diduga penipuan ini jelas-jelas merusak tatanan adat dan menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Ada dua dokumen yang dipersoalkan yaitu satu dokumen yang ada tanda tangan mantan Bupati Gusty Dula dan satu lagi tanpa tanda tangan Bupati.
Dokumen yang ada tanda tangan Bupati diduga untuk memuluskan penerbitan sertifikat di BPN untuk lokasi PLN di Rangko
“Para tokoh adat yang tanda tangan di dokumen Bupati semua terjebak karena penjelasan yang disampaikan Bona, kala itu sebagai Camat Boleng, untuk pemekaran Desa dan jalan Pantura,” jelas Hendrik.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp ChanelÂ
Â