Jefrin Haryanto
infopertama.com – Di Colol, kopi bukan hanya biji yang dipetik — ia adalah kisah yang direndam dalam kabut, digiling bersama keluh, diseduh dengan kenangan.
Ketika matahari belum benar-benar bangun, para perempuan sudah turun ke lereng, menyusuri semak dan duri, memanggul keranjang di kepala mereka.
Di dalam keranjang itu, bukan hanya harapan untuk panen hari ini. Di situ ada sisa utang pupuk dari musim lalu, biaya sekolah anak yang tertahan, dan doa agar harga tidak turun-turun amat.
Colol, kampung di dataran tinggi jantung Manggarai Timur, terlalu jauh dari hiruk-pikuk Jakarta, tapi terlalu dekat untuk dilupakan oleh para pemburu cita rasa eksotis.
Mereka menyebut kopi ini: “elegan, bersih, dengan aroma floral dan acidity yang kompleks.” Lalu mereka pulang membawa kantong biji kopi, membanggakan bahwa mereka sudah “menemukan harta karun.”
Tapi jarang dari mereka tahu bahwa kopi itu dipetik oleh tangan seorang janda tua bernama Mama Yohana, yang tak pernah tahu wujud cangkir keramik bermerek, dan menyeduh kopinya dengan periuk penyok di dapur yang penuh asap.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel