idulfitri

Kemanusiaan dan Pemanusiaan

Kemanusiaan dan Pemanusiaan
Pada tahun 1959, Ki Hadjar Dewantara yang sedang sakit keras dijenguk Bung Karno.
(Foto: Arsip Museum KHD)

Fenomena sosial dan kemanusiaan di sekitar kita tidak jarang membuat jengkel, pusing kepala bahkan tidak dapat dimengerti. Karena seharusnya hal itu sudah dapat dipacu menuju sosok idealnya dengan jalan memberi perlakuan khusus melalui wahana yang valid.

Kenyataannya, hal itu masih begitu-begitu saja. Semisal ketika gelindingkannya era reformasi menyusul runtuhnya rezim orde baru, terbesit harapan agar pemerintahan kita dapat memacu diri bersama rakyat untuk segera mengubah keadaan. Bangkit dari keterpurukan sosial, politik, hukum dan ekonomi.

Apa yang kita saksikan, harapan itu masi sebatas get atau angan-angan doang untuk tidak sebutkan sebagai terus mengalami kemerosotan. Mungkin inilah yang oleh Bertrand Russell sebut sebagai fenomena status quo dan orang rela berjuang demi melestarikannya.

Orang-orang pemerintahan menurut Bertrand Russell cenderung untuk melestarikan manusia seperti ini dengan menyisihkan semua tipe lain. Memang, pada “masyarakat yang sakit”, “orang-orang yang sakit” akan mengambil keuntungan darinya. Sayangnya “orang-orang yang sakit” ini memiliki peluang luas untuk mempertahankan status quo, seperti apa yang mereka inginkan.

Ketika kita berbicara mengenai fenomena kemanusiaan dan pemanusiaan, pada intinya kita berdiskusi tentang pendidikan, pelatihan, atau pertumbuhan diri secara individual. Juga, bagaimana kita mampu mentransformasikan proses pendidikan dan pembelajaran secara bermutu.

Pendidikan di sini maksudnya tidak hanya sekedar pendidikan formal, atau pandidikan persekolahan. Melainkan juga pendidikan seperti apa yang oleh Ivan Illich (1972) sebutkan sebagai jaringan-jaringan kemasyarakatan. Dan, oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai pendidikan Alternatif.

Proses pendewasaan sehingga tidak menghasilkan intelektual tukang seperti produk pendidikan masa kini, yang pada masanya dulu sangat Belanda benci dan Belanda menganggapnya terlarang; haram.

Pada jagad praksis seperti ini pendidikan sebagai proses kemanusiaan dan pemanusiaan. Banyak ranah yang seharusnya bisa picukan lebih cepat, ternyata bergerak amat lamban. Di sinilah esensi pendidikan sebagai proses kemanusiaan dan pemanusiaan.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel