Cepat, Lugas dan Berimbang

Di Antara TikTok, Stunting, dan Generasi Patah Pundak

Jefrin Haryanto★

infopertama.com – Di sebuah kampung, seorang anak duduk memeluk lutut di dekat dapur kayu. Ibunya sedang menumbuk jagung, bapaknya entah ke mana. Anak itu diam. Tubuhnya kecil untuk usianya. Tapi bukan itu yang paling menyedihkan adalah: ia tidak tahu apa yang sedang ia kehilangan.

Hari ini, kata-kata seperti “algoritma”, “fyp”, “trending”, dan “engagement” lebih sering mengisi ruang digital kita, daripada kata “gizi”, “perkembangan otak”, atau “tumbuh kembang anak”. Kita hidup dalam era interaksi instan, tapi kehilangan koneksi nyata dengan akar persoalan kehidupan, salah satunya: stunting.

Stunting Bukan Sekadar Pendek

Menurut WHO, stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis, terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan. Tapi lebih dari sekadar tubuh pendek, stunting adalah sebuah Catatan kegagalan kolektif dari sistem, budaya, hingga psikososial.

Teori Erik Erikson tentang psikososial menyebut bahwa masa awal kehidupan (0–5 tahun) adalah fase membangun trust atau kepercayaan dasar terhadap dunia.

Anak-anak stunting, sering kali bukan hanya kekurangan makanan, tetapi juga kekurangan stimulasi, rasa aman, dan perhatian emosional dari lingkungan.

Mereka kehilangan kepercayaan pada dunia sejak dini, karena tubuh mereka sendiri mengabarkan bahwa dunia ini belum cukup baik memberi mereka ruang tumbuh.

Bukan hanya tinggi badan yang tertinggal. Stunting menyerang harapan, menyerang harga diri, menyerang kemampuan anak untuk membayangkan bahwa hidup ini bisa indah.

Dunia Virtual yang Tidak Ramah Tumbuh Kembang

Di sisi lain, budaya digital yang kita konsumsi termasuk TikTok, reels, dan story, memberi stimulasi luar biasa besar pada remaja dan orang tua muda. Tapi stimulasi itu sering kali dangkal.

Hiburan menjadi pelarian, bukan penyadaran. Ibu-ibu muda lebih tahu cara membuat konten lucu anak daripada cara memenuhi kebutuhan gizi seimbang. Ayah-ayah lebih kenal kreator konten olahraga, daripada posyandu terdekat.

Bandura dalam Social Learning Theory, mengatakan bahwa anak-anak belajar melalui pengamatan dan peniruan. Tapi bagaimana jika yang mereka tonton setiap hari adalah kehidupan artifisial yang dikurasi untuk viralitas, bukan untuk nilai? Maka, kita sedang mencetak generasi yang tumbuh dengan pola pengasuhan dari layar, bukan dari pelukan.

Generasi Patah Pundak

Kita sering bicara tentang “bonus demografi” dan “generasi emas”. Tapi bagaimana jika anak-anak yang akan mengisi bonus itu, lahir dengan pundak yang sudah patah sebelum sempat memikul tanggung jawab bangsa?

Kita tak bisa berharap mereka menjadi pemimpin masa depan, jika di masa kecil saja mereka tak cukup makan, tak cukup kasih, tak cukup literasi.

Bayangkan, setiap anak stunting hari ini adalah satu potensi ilmuwan, pemimpin, seniman, atau guru yang tidak akan pernah benar-benar utuh karena kita terlambat peduli.

Dari Mana Harus Memulai?

Stunting bukan cuma soal gizi. Ini juga soal emosi yang terlupakan, perhatian yang tak sempat, dan pengasuhan yang dipinggirkan oleh kecepatan hidup digital.

Kita perlu kembali membangun kesadaran kolektif. Dari orang tua yang mau belajar, dari kader posyandu yang dimanusiakan, dari pemerintah yang tak hanya bagi-bagi susu, tapi juga membangun sistem yang menyentuh jiwa.

Kita butuh pendekatan yang lebih dari sekadar teknis. Kita butuh pendekatan hospitality care bukan hanya layanan kesehatan, tapi pelayanan jiwa. Anak-anak perlu disentuh bukan hanya dengan vitamin, tapi dengan empati dan kedekatan yang nyata.

Karena Hari Ini Akan Tertulis di Masa Depan

Di antara riuhnya tantangan bangsa, anak-anak adalah halaman kosong yang kita tulisi. Sayangnya, terlalu banyak dari mereka hari ini tumbuh tanpa cerita. Atau tumbuh dengan cerita yang tak adil. Maka ketika nanti mereka tak bisa berdiri setegak yang lain, kita tahu, itu karena kita yang tak sempat menyuapi mereka dengan harapan.

Bukan karena mereka bodoh. Tapi karena mereka dulu kelaparan, dan kita terlalu sibuk menari di layar kecil. Karena dalam tubuh kecil anak stunting, ada harapan besar yang sedang minta diperjuangkan, bukan dikasihani, tapi diberdayakan.

★Praktisi dan Konsultan Psikologi

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel