Sambo sudah jadi awal tunggal yang pasti. Namun bagaimana kah ia mesti sudahi semuanya dengan ‘aman dan damai?’ Ini yang tak mudah. Bola lampu yang semula optimistik kini terlihat meredup. Ini bukan kisah singular lagi. Sebab sudah meleleh sana-sini.
Sambo cs sudah teribarat ‘kota kecil elitis.’ Berdaulat dan disegani dalam ‘kerajaan umum Korps Tribrata.’ Itukah yang disebut ‘virus mafia berpengaruh’ dalam tubuh gigantik Polri? Sebab, menggertak Sambo sama artinya menggoyang ‘kota kecil’ itu. Dan mengobok-obok si elitis kecil itu sama artinya siap mengumpan tsunami banyak soal. Untuk bisa saja melindas forma dan isi Polri seluruhnya.
Mari kita berandai. Sederhana saja. Jika martabat keluarganya yang jadi taruhan, maka bisa ‘diamini’ kalau Sambo bereaksi sekian kalap. Sebab Josua telah beraksi bejat dan asusila terhadap Ibu Putri. Di otak Sambo, itulah hukuman yang pantas Josua terima.
Logika hukum ala ‘warung kopi’
Tetapi, suara kaum kecil sederhana dan buta hukum berceloteh ala warung kopi untuk Sambo, “Begitu telah habisi Josua, tinggal saja bawakan semua barang bukti ke kepolisian. Jika rasa diri punya jabatan dan harga diri tinggi sebagai polisinya para polisi, ya langsung saja ke Pak Kapolri. Omong saja semuanya betapa bejatnya si Josua yang buat kalap. Kasih tunjuk semua buktinya. Terus nanti ikuti saja proses hukum selanjutnya.’’
Tapi, yang jadi ombrolan pinggir jalan itu tak terjadi untuk Sambo. Post factum kematian Josua adalah tindak penuh kegesitan. Ia sapu bersih semua barang bukti. Juga termasuk apa saja yang bisa ‘bikin hati tak nyaman.’
Semua mesti ditutup rapat-rapat. Tak ada lagi data-data komunikasi terakhir dari si Josua. Bahkan celular pun lenyap. Ada apa ini? Pantasan publik pada heran-heran: Koq bisa ya pihak korban senyapkan barang bukti? Itu yang sampai kini juga diributkan penuh heran.
Josua di pusaran motif
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel