Tarif INA-CBG bukan hasil perhitungan medis yang transparan, melainkan kompromi politik anggaran. Murah di atas kertas, tapi tidak logis di lapangan. Dokter bedah dan rumah sakit harus “berkreasi” agar tetap bisa merawat pasien dengan standar yang pantas, seringkali terpaksa menutup kekurangan dengan mengorbankan kualitas alat dan obat.
Oleh Puspita Wijayanti★
infopertama.com – Ada kalimat yang belakangan beredar di kalangan tenaga medis, “Bukan jasa tenaga medis saja yang dibuat murah, negara rasanya tega menaruh harga nyawa rakyat di angka diskon.”
Kalimat ini lahir dari kekecewaan para tenaga medis, khususnya dokter yang bekerja di ruang operasi.
Misalnya, tarif operasi usus buntu di Indonesia hanya sekitar Rp 3,5 juta. Angka itu harus menutup jasa dokter bedah, anestesi, obat, alat, kamar operasi, rawat inap, hingga listrik dan air rumah sakit. Murah di kertas, tetapi mahal risikonya bagi pasien maupun tenaga medis.
Ilusi tarif murah
BPJS selalu menampilkan wajah efisiensi. Klaim bahwa layanan bisa ditanggung dengan biaya rendah dipublikasikan sebagai keberhasilan negara. Namun, efisiensi itu ilusi.
Tarif INA-CBG bukan hasil perhitungan medis yang transparan, melainkan kompromi politik anggaran. Murah di atas kertas, tapi tidak logis di lapangan.
Dokter bedah dan rumah sakit harus “berkreasi” agar tetap bisa merawat pasien dengan standar yang pantas, seringkali terpaksa menutup kekurangan dengan mengorbankan kualitas alat dan obat.
Di banyak negara, tarif layanan kesehatan ditentukan dengan aturan ketat. Inggris melalui NHS, Jerman, dan Thailand menggunakan real costing, menghitung biaya nyata hingga detail.
Tarif juga disesuaikan inflasi medis tiap tahun, bukan dibiarkan stagnan. Ada transparansi metode, ada keterlibatan profesi medis, dan ada korelasi langsung antara tarif dengan mutu layanan.
Bagaimana di Indonesia? Tarif ditetapkan di meja birokrasi, jauh dari ruang operasi.
Tarif layanan yang terlalu rendah tidak pernah benar-benar membuat negara hemat. Yang terjadi justru lahirnya biaya tersembunyi yang tidak tercatat dalam laporan klaim BPJS, tetapi dirasakan nyata di lapangan.
Dalam literatur ekonomi kesehatan, fenomena ini sudah lama dikenali. Pertama, terjadi cost shifting. Rumah sakit yang defisit karena klaim BPJS akan menutupinya dengan menaikkan tarif layanan non-BPJS atau menjual layanan tambahan di luar paket INA-CBG.
Bank Dunia mencatat, praktik ini lazim terjadi di negara dengan underfunded health insurance. Artinya, biaya yang tidak dibayar negara akhirnya tetap kembali ke masyarakat.
Kedua, muncul penurunan mutu atau quality erosion. WHO memperingatkan, ketika tarif tidak sesuai dengan biaya riil, rumah sakit terdorong menekan belanja dengan cara berisiko.
Obat diganti dengan generik murah dan lama rawat dipersingkat. Jangka pendek terlihat hemat, tapi jangka panjang menciptakan komplikasi, infeksi, atau kebutuhan operasi ulang.
Ketiga, tarif rendah menciptakan moral hazard. Dalam teori Fuchs, hal ini disebut supplier induced demand, penyedia layanan mencari cara menutup defisit biaya dengan menambah prosedur atau tindakan yang belum tentu diperlukan.
Bukan karena dokter ingin mempermainkan pasien, tapi karena sistem memaksa mereka bertahan.
Akhirnya, sistem jatuh dalam apa yang disebut WHO sebagai inefficiency trap. Di atas kertas, BPJS terlihat berhasil menekan biaya klaim. Namun di balik itu, negara justru menanggung biaya sosial yang lebih besar.
Pasien yang seharusnya pulih cepat malah mengalami komplikasi, kembali ke rumah sakit, masuk ICU, atau bahkan kehilangan produktivitas akibat disabilitas.
Semua ini tidak pernah masuk dalam laporan “efisiensi”, tetapi nyata membebani keluarga, rumah sakit, dan ekonomi nasional.
Membela dokter, menjaga pasien
Kemarahan dokter pemegang pisau bukan soal honor semata. Ini soal hak pasien atas layanan yang layak.
Tarif yang terlalu rendah memaksa rumah sakit berhemat dengan cara berisiko. Alat diganti lebih murah, obat diturunkan kualitasnya, atau lama rawat dipersingkat. Akibatnya, pasien justru menanggung risiko komplikasi dan rawat ulang.
Dokter bedah berada di garda depan, setiap hari mengambil keputusan hidup mati di ruang operasi. Namun, mereka dipaksa bekerja dalam sistem yang membayar jasanya di bawah biaya wajar.
Pertanyaannya sederhana “bagaimana negara bisa menuntut mutu kelas dunia, jika tarif yang diberikan bahkan tidak cukup untuk menutup biaya dasar?”
WHO menekankan bahwa pembiayaan kesehatan bukan sekadar soal efisiensi anggaran, tetapi jaminan keamanan pasien dan keberlanjutan tenaga kesehatan.
Sistem yang terlalu menekan biaya akan kehilangan dua hal sekaligus, kepercayaan publik dan tenaga ahli. Jika rumah sakit kolaps dan dokter beralih profesi, maka pasien miskin yang paling dirugikan.
Karena itu, membela dokter sejatinya sama dengan membela pasien. Dokter yang dihargai layak akan bekerja dengan tenang. Rumah sakit yang sehat secara finansial akan menjaga mutu dan pasien akan memperoleh haknya atas pelayanan yang aman.
Itulah inti jaminan kesehatan nasional. Bukan sekadar membayar klaim, tetapi memastikan nyawa manusia tidak dipertaruhkan atas nama efisiensi semu.
Reformasi tarif harus dilakukan dengan beberapa langkah konkret: Pertama, audit real costing di seluruh rumah sakit, melibatkan akademisi independen dan asosiasi profesi.
Kedua, indexing tarif dengan inflasi medis setiap tahun, sebagaimana praktik di negara lain.
Ketiga, pemisahan biaya SDM dan operasional, agar insentif dokter dan tenaga kesehatan tidak dikorbankan untuk listrik, air, dan administrasi.
Keempat, transparansi metodologi INA-CBG, dibuka ke publik dan komunitas akademik.
Hanya dengan itu negara bisa membangun sistem pembiayaan kesehatan yang adil. Tanpa perubahan, kita akan terus hidup dalam ilusi efisiensi, dengan korban tersembunyi.
Pasien yang dirawat seadanya, rumah sakit yang bertahan di ambang krisis, dan dokter yang diperas dengan tameng pengabdian.
Kesehatan publik tidak bisa diatur dengan logika diskon. UU No. 24 Tahun 2011 menegaskan BPJS harus menyelenggarakan jaminan kesehatan yang adil, layak, dan berkesinambungan.
Jika tarif tetap irasional, maka mandat itu gagal dipenuhi. Pada akhirnya, efisiensi yang dipaksakan hanyalah ilusi. Nyawa tidak boleh ditawar.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com
★Seorang dokter dengan latar belakang pendidikan manajemen rumah sakit, serta pernah menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sebelum memutuskan keluar karena menyaksikan langsung dinamika perundungan dan ketidakadilan. Sebagai aktivis sosial dan kritikus, Puspita Wijayanti berkomitmen untuk mendorong reformasi dalam pendidikan kedokteran dan sistem manajemen rumah sakit di Indonesia. Pengalamannya dalam manajemen rumah sakit memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya sistem yang berfungsi baik, bukan hanya dalam aspek klinis, tetapi juga dalam melindungi kesejahteraan tenaga kesehatan.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel




