Fancy Ballo*
Semua bahasa daerah yang dipakai dalam tulisan ini adalah dari bahasa daerah So’a dan Nagekeo.
Kala itu aku berusia 8 tahun, masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Membayangkan kehidupan masyarakat kampung waktu itu, sebenarnya sangat memprihatinkan. Aku punya kisah pilu bersama keluarga kami kala itu.
Hari-hari keluarga kami diliputi kecemasan yang mencekam raga.
Anak pertama dari tanteku sakit-sakitan dan sering menangis tanpa sebab yang pasti. Hampir setiap malam sejak kelahirannya kami jarang tidur, karena semua warga rumah mesti bergilir untuk menggendong dan berusaha menenangkan sepupuku itu. Namanya Oyis. Bayi laki-laki pertama dari Mama Nona dan Bapak Te.
Selama kurang lebih seminggu, kami bertahan dalam situasi ini sembari mencari jalan keluar bagi kebaikan sepupuku.
Akses transportasi saat itu masih sangat sulit. Untuk satu wilayah kecamatan saja, kita bisa tahu siapa-siap yang punya kendaraan apa. Pikiran tentang perawatan rumah sakit adalah nihil, dan itu barangkali hanya ada di kepala orang-orang berduit.
Waktu itu, ada saran bagi om dan tanteku untuk membawa buah hati mereka ke mori mali (orang pintar/dukun). Dan itu juga pilihan kami, dan akhirnya kami menuju kediaman mori mali yang cukup terkenal di kampung itu.
Mori mali tinggal di sebuah pondok di kebunnya yang cukup jauh dari perkampungan untuk konteks waktu itu yang alamnya masih sakral, sebelum baja, besi mengobrak-abrik hutan di sana. Sambil menyerahkan perawatan itu pada mori mali, tante dan omaku ikut menginap di sana menemani Oyis yang sakit. Dan kami yang lain hanya (bapa besarku, kakak sepupu, suami dari tanteku, dan aku juga suka ikut-ikut saat itu) datang pada saat petang menjelang malam untuk jaga bersama di sana pada malam hari. Pagi harinya kami pulang untuk menjalankan rutinitas bertani di kebun kami masing-masing.
Mori mali adalah seorang kakek, dia tinggal bersama istrinya, juga mengolah lahan perkebunannya sendiri. Mereka berdua tinggal sendiri di sana, sedangkan anak, cucu mereka tinggal di kampung. Kebun mereka sangat indah dengan pelbagai tanaman buah, sayur, dan sejuk karena dekat dengan mata air pinggir kali. Bisa dibilang mereka cukup bekerja keras dan rajin sebagai petani tradisional, walaupun di usia yang sudah cukup tua.
Setiap malam bagi kami adalah malam yang menyeramkan. Dalam perjalanan kami dari rumah menuju pondok mori mali ada aturan yang pantang ialah, tidak boleh terantuk dan menoleh ke belakang. Begitu pun saat kami kembali besok paginya. Ketika berjaga sepanjang malam, bersin adalah sesuatu yang pantang bahkan untuk anak kecil seumuran saya pun wajib mematuhi pantangan itu.
Saya pun pernah dimarahin, karena secara tidak sengaja bersin dengan suara yang membuat mereka terkejut. Saya dikatain sebagai suruan suanggi. “Polo ta zugu gho”.
Semua gejala alam di sekitar dibaca mori mali dengan sangat cermat dan dikait-mengaitkan dengan sakit yang diderita sepupu saya. Ayam berkokok di malam hari, suara burung hantu, bunyi fre (jenis serangga yang dianggap sebagai medium sihir), dan suara kucing, semuanya dilihat sebagai jelmaan ata polo (suanggi) yang datang untuk mengganggu bayi tanteku dan dapat membawa mala petaka. Dan biasanya suara-suara itu akan diikuti dengan pekikan tangisan Oyis yang mengkhawatirkan.
Adalah saat yang paling genting buat keluarga ketika Oyis menangis. Dia menangis sejadi-jadinya dengan suara melengking, kadang sampai kesulitan untuk bernafas.
Sesuai instruksi mori mali, binatang-binatang yang tadi dianggap sebagai medium sihir untuk megguna-gunai sepupu saya itu, dicari untuk dimusnahkan atau setidaknya diusir sampai tidak terdengar lagi suaranya.
Dan biasanya, oma dan istri si mori mali selalu terpancing emosinya hingga sampai mencaci-maki orang yang disebutkan mori mali itu sebagai ata polo yang wera (jiwa) –nya hadir dalam bentuk medium tadi. Mereka sering melontarkan kemarahan yang mengarah ke orang yang dimaksud, tetapi tidak menyebutkan namanya. Diam-diam raga kecilku saat itu pun menyimpan kecurigaan yang sama terhadap orang yang disebut ata polo itu.
Drama semacam itu berlangsung hampir setiap di pondok mori mali. Pernah di satu malam ada suatu kejadian yang sampai sekarang melekat kuat dalam memori saya.
Setelah makan, kami duduk di pelataran pondok. Pondok itu dibuat gaya kolong. Bagian dalamnya ada bilik gudang dan satu kamar, selebihnya ruangan lepas bisa untuk tidur atau sekadar duduk yang bisa muat sekitar 10 orang.
Malam itu begitu menakutkan buat saya. Situasinya seperti kami sedang berperang dengan ata polo. Saya sedang berbaring di samping bapa besar, kakak dari mama saya, dengan kepala di dekap oleh bapa besar di atas pangkuannya. Saya memang sering tidak tidur hingga tengah malam bersama mereka. Pembicaraan apa saja sepanjang malam dari mereka seakan menjadi dongeng yang kadang menakutkan, juga ada kisah humor yang membuatku betah mencorongkan kuping.
Tiba-tiba ada burung gagak menerobos masuk dalam bilik di mana sepupu, tante, dan oma saya tidur. Kepakan sayap burung itu membuat lampu pelita dalam bilik itu mati. Mereka di dalam kamar terkejut. Sepupu saya, Oyis menangis histeris, menyusul dengan pekikan suara gagak dua kali dengan nada yang berbeda. Semua kami panik, kecuali si mori mali yang agak tenang.
Suami tante saya dengan panik, menyalakan senter (waktu itu senter batrai ABC, dengan nyala kuning suram) dan bergegas masuk dalam bilik. Dia menyalakan kembali pelita, lalu mencari burung gagak itu di setiap sudut kamar dengan napas yang penuh di dada, terbakar emosi. Sesuatu yang aneh terjadi, burung gagak itu hilang secara misterius. Seluruh isi kamar itu dijelajah dengan teliti oleh Bapak Te, bapak besar, dan kakak sepupuku, tetapi tidak ditemukan burung gagak tadi yang barusan masuk. Suara gaduh di atas bale-bale (lantai pondok dari pelupuh) dan suara mereka yang mencari burung gagak itu memecahkan keheningan malam itu. Badan saya gemetaran dan sangat ketakutan.
Pondok itu dibuat dengan sangat baik dan hampir tidak ada ruang untuk binatang seukuran burung pipit untuk bisa masuk. Kecuali, kalau mereka melalui jendela atau pintu. Tetapi malam itu, satu-satunya ruang yang terbuka hanyalah pintu depan, di mana ada kami yang sedang duduk berbagi cerita. Mori mali, dengan cermat mulai mengamati perlahan untuk melihat, kira-kira ada jejak apa yang ditinggalkan gagak itu.
Ketika memeriksa cukup lama, si mori mali keluar dengan menggenggam sesuatu di tangan. Itu membuat kami penasaran.
Ada dua persoalan yang dihadapi keluarga kami, sebagaimana disebutkan oleh mori mali.
“Ana ebu miu di, bodha gati eke ngaza ngata. Ngaza di ngata ta bau. Ebu kazo ogo pio.” Sebuah permintaan untuk mengganti nama fam sepupuku, karena dianggap nama pemberian itu tidak disetujui oleh leluhur. [Cucu kamu ini, harus diganti namanya. Nama yang ini … dia tidak mau. Ini tidak dikehendaki nenek moyang].
Persoalan pertama adalah masalah pemberian nama. Dan itu dilakukan ritus untuk mengganti nama, yang kemudian digunakan nama lain yang sampai sekarang digunakan oleh sepupuku.
Masalah kedua yang sangat provokatif, sebagaimana lazimnya dipakai oleh para mori mali pada umumnya ialah mengatakan bahwa sepupuku itu sakit dan sering menangis karena dibuat atau diganggu oleh ata polo. Dia menyebutkan namanya.
“Ata di ngata ate ro ne’e miu. Ngata ghata, miu ne’e ta tau sala ne’e ngata. Ngaza miu ogo geti go sala ngata di, ana ebu di sala-sala nge ogo tolo.” [Orang ini (disebutnamanya) tidak suka dengan kamu. Dia (ata polo) bilang, kamu ada buat kesalahan dengan mereka. Kalau kamu tidak segera tebus itu persoalan, maka bisa terjadi hal yang fatal dengan anak/cucu kamu ini].
Inilah yang membingungkan, untuk keluarga kami. Juga yang memengaruhi emosi omaku, sehingga dia sampai caci maki ata polo itu, karena merasa selama ini kami hidup berdampingan dengan baik. Tidak ada persoalan di antara kami dengan keluarga yang disebut sebagai ata polo itu, kenapa mereka sampai setega itu dengan kami, apa lagi harus melampiaskan itu pada sepupu saya yang masih bayi ini.
Hampir sebulan penuh, sepupu saya dirawat oleh mori mali itu. Dan selama itu pula kami pulang pergi ke pondok mori mali dan hidup dalam kecurigaan yang antipati terhadap keluarga terutama orang yang disebut mori mali sebagai ata polo.
Selama berada di tangan mori mali, saya tidak melihat ada bentuk perawatan untuk sepupu saya, entah dengan ramuan tradisional atau sejenisnya. Tetapi lebih banyak pantangan-pantangan yang diinstruksikan dan harus kami ikuti. Termasuk ada ritual-ritual yang katanya untuk menghalau kekuatan ata polo masuk ke pondok di mana sepupu saya dirawat.
Akhirnya tibalah kami pada ritual tu tolo yaitu tebusan yang harus dibayar oleh keluarga kami kepada ata polo untuk pemulihkan hubungan. Tebusan itu dikatakan mori mali sebagai permintaan langsung dari ata polo untuk melepaskan pengaruh jahat yang selama ini merasuk sepupuku. Denda tebusan itu berupa, satu ekor anak ayam yang baru menetas (manu one neke), uang perak 75 ribu, dan uang koin 75 rupiah.
Malam itu suasana begitu kusuk. Saya tidak tahu secara pasti seluruh proses ritual itu, tetapi ada beberapa bagian yang saya ingat dengan baik. Waktu sekitar pukul 23.30 malam, mori mali dan kami semua duduk membundar dalam pondok itu. Di depan mori mali sudah tersedia anak ayam yang disebutkan tadi dan sejumlah uang yang diletakan di atas sebuah piring.
Mori mali mulai melakukan ritual itu dengan mengucapkan kata-kata yang hampir hanya bisa didengar oleh teliga batinnya sendiri. Kami semua hanya terpaku diam di tempat, ada yang memerhatikan mimik bibir dan gestur seremonial si mori mali, dan ada yang hanya tunduk merenung entah apa yang dipikirkan. Mungkin memohon kepada Tuhan agar memberikan jalan terbaik untuk penyembuhan sepupuku. Saya dengan seribu rasa ingin tahu pada usia kecilku waktu itu hampir tak sekalipun mengedipkan mata, memerhatikan tingkah mori mali.
Mori mali mengambil anak ayam, lalu menyayatnya dengan pisau pada bagian paruh ayam hingga anak ayam berhenti bercuit. Darah yang mengalir dari paruh ayam itu, diteteskan sedikit ke tangan mungil bayi tante saya. Sambil mengusap darah itu di sana, mori mali mengucapkan mantra butanya lagi. Malam sangat tenang dan mencekam, sepupuku sejak tiga hari sebelumnya sudah jarang menangis. Dan malam itu dia tenang dalam lelap didekapan ibunya.
Mori mali melanjutkan dengan anak ayam di tangannya membuat ritual keliling meneteskan darah anak ayam dalam lingkaran di mana kami duduk. Lalu ia menuju ke tungku api yang ada di bagian teras depan pondok, yang juga dipakai sebagai dapur. Ia mengambil garam dan melemparkannya ke arang api yang sedang memerah. Bunyi suara garam yang terpapar api pun bersahutan dari dalam tungku api. Minda kecilku tertarik dengan adegan itu, dan itu selalu menjadi permainan kecilku setelah itu di rumah.
Mori mali kembali ke tempat duduknya. Lalu dia menyuruh kakak sepupuku bersama ayah dari Oyis untuk pergi meletakkan uang dengan ayam itu di tempat, entah di mana yang sudah dia bicarakan secara tersendiri dengan mereka.
Upacara ini sengaja ditentukan oleh mori mali untuk dibuat pada tengah malam. Karena pantangannya, dalam ritual mengantar anak ayam dan uang oleh kakak sepupu dan bapak Oyis itu ke tempat yang ditentukan, mereka tidak boleh menjumpai siapa pun dalam perjalanan. Termasuk, larangan yang biasa, tidak boleh terantuk dan menoleh ke belakang. Juga ketika tiba di tempat yang ditentukan, bapa Oyis dan kakak sepupuku harus meletakan (memberi) tebusan (anak ayam dan uang) dengan posisi memunggung. Katanya, kalau melepaskan yang jahat tidak boleh memberi muka. Entah maksudnya apa, hanya dia sendiri yang tahu.
Kata si mori mali sedikit menghibur setelah kakak sepupu dan bapak Oyis pergi, “semua yang buruk sudah kita bebaskan dari Oyis, dan kita antar kembali ke tuannya (ata polo)”. Kami pun menarik nafas lega, apa lagi sudah beberapa hari itu Oyis tidak lagi rewel.
Setelah ritual ini, katakan saja persoalan kami (sepupu saya yang kena santet) dengan ata polo sudah selesai. Setelahnya adalah ritual sobhe podo yaitu berkaitan dengan bayar jasa perawatan kepada mori mali. Ritual ini cukup sederhana tetapi om dan tante saya termasuk kami keluarga cukup kewalahan karena harus membaya kepada mori mali sejumlah nominal uang yang dimintanya dan darah binatang (ukuran yang dia tentukan) untuk membersihkan tangan dan pondoknya yang digunakan selama proses perawatan sepupuku.
Semua urusan dengan mori mali selesai. Santet sudah dibebaskan dari sepupuku. Tetapi kecurigaan dan rasa ketidaknyamanan dalam hidup berdampingan bersama keluarga yang disebut mori mali sebagai ata polo itu sulit untuk dibebaskan dari pikiran kami. Untung saja, diri kecilku waktu itu sudah diam-diam bisa menjaga rahasia itu.
Waktu terus bergulir hari demi hari. Percaya atau tidak percaya, tetapi pemahaman masyarakat sederhana memercayainya. Meski demikian, keluarga kami adalah klan yang cinta damai. Hidup sebagai tetangga sekampung tetap terjalin dengan baik. Kunjung mengunjungi dalam kekurangan untuk saling memberi dan meminta bantuan tetaplah sewajarnya tanpa mengurangi kedekatan relasi kami sebelum peristiwa sakitnya Oyis. Prinsip relasi dalam keluarga kami yang melekat sampai saat ini ialah, orang lain boleh berbuat jahat dengan kita, yang penting kita jangan berhenti untuk berbuat baik. Tidak perlu membalas. Tuduhan si mori mali kita percaya, tetapi tetap teguh yakin bahwa kita tidak mengetahuinya secara pasti.
Peristiwa yang menimpa Oyis dengan jalan keluar yang dipilih keluarga, kini tetap terngiang dalam ingatan. Entah baik atau buruk, biarlah masa yang menilainya. Oyis kini sudah tumbuh menjadi pria remaja yang tampan di salah satu SMA di kota kami, dan saya sedang menyelesaikan tugas akhirku di jenjang perguruan tinggi. Terima kasih mori mali, pondok kecil, ata polo, dan waktu yang telah mengharuskan semuanya itu terjadi.
*Alumni IFTK Ledalero
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel