Oleh Peter Than*
Sebuah pepatah Arab, yang diyakini sebagai hadis Nabi Muhammad, berbunyi: al-dinu huwa al-aql, agama adalah akal. Dalam Gereja Katolik, Santo Anselmus, teolog dari Canterbury, berujar: fides querens intellectum, iman mencari pemahaman.
Dua kutipan ini cukup jelas menggambarkan, akal atau nalar adalah substansi agama, atau paling kurang salah satu unsur penting di dalam agama. Itu berarti, agama bukan sekadar fakta sosial belaka yang masih hidup. Melainkan harus akui sebagai fakta dalam sejarah perkembangan rasio atau nalar itu sendiri.
Karena manusia adalah animal rationale, makhluk berakal, maka hanya manusia yang bisa beragama. Tanpa akal, manusia tak mungkin menciptakan agama.
Lugasnya, iman dan agama bukanlah produk serampangan irasionalitas. Iman yang benar secara inheren mengundang dan mengandung akal yang sehat.
Dalam kenyataan, sebagaimana di Indonesia, iman dan nalar sering berbenturan. Parahnya lagi, ada yang memandang nalar sebagai musuh iman dan agama. Pandangan demikian tumbuh subur dalam kelompok-kelompok fundamentalis dan ormas-ormas radikal.
Tak hanya iman dan akal yang berselisih. Manusia, animal rationale, juga terpecah di kedua sisi, animal (kebinatangan) dan rationale (nalar). Pertarungan animal dan rationale itu rupanya menjadi pemandangan umum ketika publik diterpa hoaks berbau agama yang menyebar lewat media sosial, kotbah para pemuka agama dan percakapan sehari-hari.
Sebagian umat beragama mempertahankan rationale dalam benturan dengan perasaan religius yang mudah disulut menjadi api kebencian dan intoleransi. Sebagian lagi menyerah kepada kuasa animal dan sentimen religius yang mudah dihasut menjadi kemurkaan. Sehingga, yang tampak sepenuh-penuhnya bukan lagi homo sapiens melainkan homo brutalis.
Dengan demikian, agama menjadi kontraproduktif: dibentuk oleh nalar namun menegasikan nalar itu sendiri. Ekstrimisme dan aksi-aksi intoleran ormas-ormas radikal yang memenuhi lanskap ruang publik Indonesia dewasa ini adalah produk cara beragama yang mempercundang nalar.
Kalau kosakata Habermas, filsuf politik Jerman, boleh saya pakai di sini, inilah ekses postsekularisasi yang meresahkan dan menakutkan ruang publik. Alih-alih mengatasnamakan moral goodness sebagai basis pra-politis, agama justru tampil sebagai setan yang mempersetankan demokrasi dan prinsip-prinsip ruang publik.
Sulit menerima bahwa intoleransi, penghujatan dan teror di ruang publik yang distimulasi wacana permurnian iman dan ketersobekan perasaan religius merupakan ekspresi keagamaan yang sah-sah saja. Akal sehat kita mudah menyimpulkan, ekspresi-ekspresi tersebut adalah bentuk penistaan sesungguhnya terhadap agama itu sendiri sebagai produk nalar dan pabrik nilai-nilai moral.
Akal sehat kita juga membantah bahwa kekerasan bisa menyeruak dari kesalehan. Orang yang saleh mustahil melakukan kekerasan. Pelaku kekerasan pastilah tidak saleh. Lalu, mengapa orang saleh melakukan kekerasan?
Pertanyaan itu mengingatkan saya pada pertanyaan Hannah Arendt, filsuf perempuan Yahudi, tentang penjahat perang Nazi, Adolf Eichmann. Mengapa Eichmann yang tampak sebagai manusia biasa menjadi monster sadistis dalam pembasmian jutaan orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi Nazi?
Ada yang salah dengan kelompok-kelompok ekstrimis, ormas-ormas radikal maupun orang-orang yang ikut terseret dalam ideologi dan gerakan mereka. Saya menyebutnya krisis nalar.
Arendt menamakan krisis nalar sebagai the banality of evil. Orang-orang yang saleh di ruang privat agama mudah menjadi pelaku kekerasan manakala tak memiliki daya pikir dan miskin imajinasi, yang berarti tidak mampu menempatkan diri pada posisi dan cara pandang orang lain. Boleh disangsikan bahwa mereka berpikir dengan logika yang sehat dan kritis.
Jika tidak lewat pola asuh sejak kecil, indoktrinasi dan provokasi telah menyebabkan orang-orang banal ini bertransformasi menjadi monster sadistis yang terobsesi pada perilaku-perilaku intoleran. Indoktrinasi itu dilakukan berulang-ulang di media sosial, di rumah-rumah ibadat dalam kotbah-kotbah para pemuka agama atau dalam percakapan sehari-hari.
Dengan mengulang-ulang hoaks bermuatan paham-paham radikal terbentuk komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Marx menyebutnya kesadaran palsu. Habermas menyebutnya sistem-sistem kesalahpahaman.
Sebagaimana ahli propaganda Nazi, Paul Joseph Goebbels, dusta yang yang terus menerus diulang akan jadi kebenaran. Sebuah cacat logika yang disebut argumentum ad nauseam. Umat beragama yang dibelenggu sentimen religius minus nalar kritis mudah terperosok ke dalam cacat logika ini.
Nalar yang saya bicarakan di sini adalah nalar publik, akal sehat bersama. Menurut John Rawls, nalar publik adalah nalar yang terkait dengan keadilan dan HAM, atau secara etis, kebaikan bersama sebagai warga negara. Nalar ini tidak saja menggambarkan keharusan politis tapi juga keharusan epistemis untuk mengkritisi proposisi-proposisi doktrin komprehensif agama dari sudut pandang pihak lain.
Nalar publik ini rupanya menjadi batu ujian bagi masyarakat beragama di Indonesia dewasa ini. Hak agama untuk diakui di ruang publik serentak menuntut kewajiban untuk terbuka terhadap apa yang disebut Mouffe, filsuf politik kontemporer, counter hegemony.
Counter hegemony berarti setiap tatanan hegemonik, misalnya agama, beroposisi dan mengagitasi presentasi hegemoni agama lain. Di sini nalar publik dibutuhkan sehingga tindakan orang-orang beragama tidak melukai kebebasan dan hak-hak orang lain serta dapat diterima akal sehat bersama.
Karena Indonesia bukan negara agama melainkan negara demokrasi, ketaatan agama dengan seluruh perangkat doktrin komprehensif dan buku sucinya terhadap asas-asas demokrasi adalah suatu keharusan. Nalar publik adalah satu-satunya batu ujian atau kriteria rasional untuk menentukan apakah tindakan orang-orang beragama sesuai atau tidak dengan prinsip-prinsip negara demokrasi.
Antitesis counter hegemony, menurut Mouffe adalah hegemony practices. Hegemony practices berarti suatu domain partikular, misalnya agama, berusaha memperjuangkan kepentingan dan hegemoninya sebagai fundasi kehidupan bersama dalam ruang publik plural. Hegemony practices selalu tidak cocok dengan prinsip demokrasi dan menjadi skandal ruang publik.
Karena minus nalar, orang-orang beragama tidak mampu bergerak melampaui loyalitas-loyalitas primordial dan sentimen-sentimen keagamaan. Kita mengenal hal itu sebagai fanatisme. “Fanatisme,” tulis Nietzsche, “adalah satu-satunya kekuatan kehendak yang dimiliki oleh mereka yang lemah.”
Loyalitas primordial atau fanatisme mudah dimanfaatkan secara politis. Alhasil, tumbuh suburlah propaganda politik identitas dibarengi dengan meningkatknya reproduksi kelompok-kelompok pemuja ortodoksi agama yang dihiperbolisasi media sosial lewat distribusi hoaks secara masif.
Kode semiotik politik identitas itu ialah kita vs mereka. Kita saleh, mereka najis. Kita religius, mereka kafir. Atau, Kita normal, mereka devian. Agama kita benar, agama mereka salah. Identitas-identitas agama disabungkan satu sama lain demi tujuan politik.
Minus nalar menyeret umat beragama ke dalam jebakan permainan politik yang menyulut ekstrimisme dan aksi-aksi intoleran. Sebagaimana Habermas, penyalahgunaan fundamentalisme agama untuk kepentingan politik baik di Barat maupun di Timur tetaplah sesuatu yang mengerikan.
Di bawah pengaruh permainan politik, orang beragama mudah memelintir ketaksepahaman sebagai kesalahpahaman. Jalan menuju dialog jadi sempit. Daripada duduk bersama dan bertukar pikiran dalam suasana toleran dan saling memahami, mereka cenderung menempuh jalur kekerasan.
Kekerasan adalah sisi lain krisis (Minus) nalar. Kelompok-kelompok intoleran bukan hanya dalam Islam tapi juga dalam agama manapun mudah melakukan kekerasan dan teror manakala nalar publik gagal beroperasi.
Tambahan pula, ekstrimisme kelompok-kelompok intoleran ini sering mencari legitimasinya pada teks-teks suci agama. Tanpa penafsiran kritis, teks-teks itu dibaca sebagai sumber tekstual ekstrimisme dan intoleransi. Ini disebut literalisme.
Literalisme adalah sebuah pemahaman yang dicapai lewat cara membaca teks-teks suci agama tanpa melihat konteks dan sejarah penulisan teks, melainkan berdasarkan makna harafiahnya. Apa yang tertulis dianggap sebagai maksud final yang tak boleh diperiksa. Cukup percaya dan ikut saja.
Lemahnya nalar menutup akses kepada kesadaran bahwa ada ayat-ayat suci agama yang ditulis ribuan tahun lalu tidak bisa diterapkan secara literer dalam konteks sebuah negara demokrasi saat ini. Ayat-ayat suci ini perlu diinterpretasi secara kritis, dan itu adalah tugas nalar.
Jadi, intoleransi dan ekstremisme ormas-ormas radikal menunjukkan bahwa agama mengalami degradasi rasionalitas. Sisi animal mendominasi sisi rationale.
Tindakan-tindakan brutal, anarkis dan intoleran oknum agama tertentu di ruang publik adalah presentasi dari nafsu rimba dan perver sebagaimana kita temukan pada binatang liar, di dalamnya pertimbangan-pertimbangan rasional, kebijaksanaan sebagai manusia yang tercerahkan, dan akal sehat bersama tidak terlibat. Agama minus nalar.
Melalui tulisan ini, saya menawarkan wacana penguatan nalar publik sebagai solusi persoalan tersebut. Penguatan nalar publik perlu karena adanya dua fakta yang tak terhindarkan dalam demokrasi di Indonesia yaitu ketaksepahaman dan kesalahpahaman.
Meski ketaksepahaman adalah signifier of democracy, di Indonesia ketaksepahaman justru sering diplintir sebagai kesalahpahaman. Mereka yang memiliki pemahaman berbeda mudah dianggap sebagai paham salah atau salah paham.
Maka suka atau tidak suka, penguatan nalar publik harus dilakukan agar para pemeluk agama tidak memahami perbedaan sebagai kesalahan. Dengan memahami secara benar, umat beragama dapat kritis terhadap jebakan paham-paham radikal dan intoleran yang tersebar baik di media sosial, di ruang-ruang ibadat maupun dalam percakapan sehari-hari.
Penguatan ini dilakukan dengan menentukan posisi epistemis antara lain umat beragama mesti mampu menunjukkan keterkaitan pandangannya dengan pandangan agama lain tanpa mengorbankan kebenaran keyakinannya sendiri. Umat beragama juga diharapkan mampu merumuskan hubungan positip antara isi dogmatis agama dan pengetahuan sekular.
Yang jauh lebih penting lagi, warga beragama mesti memiliki prinsip bahwa yang berlaku dalam dunia politik adalah argumen yang berdasarkan akal budi dan dapat dimengerti semua pihak. Bahasa-bahasa keagamaan yang partikular harus diterjemahkan ke dalam bahasa ruang publik yang dipahami oleh semua yaitu bahasa keadilan, HAM dan kemanusiaan.
Akhirnya, saya mengajak semua pihak, terutama pemerintah, para pemuka agama dan para pendidik untuk memperkuat nalar ini dalam berbagai kebijakan publik, pengajaran dan pendidikan. Mari kita mewujudkan manusia Indonesia yang saleh dan beriman serentak cerdas dan bernalar dalam merawat perbedaan dan demokrasi.
*Alumni IFTK Ledalero, Maumere Flores. Berasal dari Cibal, Manggarai-Flores. Setelah menyelesaikan pendidikan di Seminari Menengah St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo, penulis mengikuti formasi dasar menjadi imam dan biarawan SVD di Novisiat SVD Kuwu-Ruteng. Pendidikan S1 sebagai sarjana Filsafat dan Pasca Sarjana Teologi Kontekstual pada IFTK Ledalero-Flores.
©®Tulisan ini merupakan republish dari qureta.com dengan judul yang sama, “Agama Minus Nalar”.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel