Ia katakan, perubahan iklim terindikasi jelas dengan terjadinya perubahan pola musim hujan. Musim hujan mejadi tidak menentu sehingga para petani tidak mengetahui dengan pasti kapan harus menanam.
Lebih lanjut, Ia mengatakan di sisi lain, masyarakat atau petani tidak siap menghadapi perubahan iklim. Sehingga impilkasinya, kata dia ada musim tanam yang terlewatkan. Hujan tidak tentu kapan turunnya. Kemudian, petani masih mengikuti pola tanam lama sehingga hal ini menyebabkan sering terjadi gagal panen atau hasil padi menurun.
Menurutnya, jika membiarkan hal ini tidak atasi dengan langkah-langkah strategis, maka akan berdampak pada terganggunya stok pangan produksi petani sawah di Manggarai Timur.
“Kalau stok pangan kita terganggu, maka bukan tidak mungkin, beras akan datangkan daerah lain. Saya berharap pada kesempatan yang baik hari ini, kita berdiskusi untuk mencari solusi yang terbaik. Agar urusan kampung tengah kita ini (beras) tidak bermasalah. Untuk itu atas nama Pemerintah Kab. Manggarai Timur saya menyampaikan terima kasih kepada Yayasan Ayo Indonesia yang menginisiasi kegiatan diskusi tentang isu perubahan iklim,”pungkas Matias.
Hal yang sama juga dsampaikan oleh Rikhardus Roden, Koordinator Program VICRA. Dalam presentasi hasil studi, Rikhard menjelaskan bahwa Kab. Manggarai Timur, adalah salah satu di NTT yang ditetapkan sebagai lokasi superprioritas untuk aksi pembangunan ketahanan iklim oleh Kementrian PPN/Bappenas.
Hasil Studi Lapangan Melalui Metode FGD
Menurutnya, berdasarkan hasil studi lapangan yang menerapkan metode FGD dan wawancara mendalam dengan Kelompok Tani, Tokoh Masyarakat. Dan, Kelompok Wanita Tani (KWT) di 2 desa (dataran tinggi) dan 2 kelurahan (dataran rendah), ada temuan fakta bahwa pada 20 tahun terakhir, masyarakat telah merasakan tanda-tanda terjadi perubahan iklim. Antara lain, musim hujan lebih pendek, curah hujan sangat tinggi. Musim kemarau semakin panjang dengan durasi 7- 8 bulan dan suhu udara pada bulan tertentu sangat panas.
“Frekuensi terjadinya kekeringan semakin sering terjadi. Hal ini berdampak kepada penurunan hasil padi di sawah beririgasi tehnis, sawah tadah hujan. Dan, tanaman perdagangan utama petani, yaitu kopi,” ungkapnya.
Menurutnya, masyarakat yang terlibat aktif dalam studi tentang dampak perubahan iklim di Kel. Rana Loba dan Watu Nggene mengaku hasil panen padi mereka menurun, berkisar 30 – 40 persen. Kondisi ini, lanjut Rikhard, dipicu oleh tingginya serangan hama ulat grayak putih saat terjadi hujan dengan curah yang sangat tinggi. Dan, kekurangan ketersediaan air untuk irigasi, nyata terjadi di Watu Nggene. Hal ini karena semakin menurunnya debit air dan ambruknya beberapa jaringan irigasi primer pada musim hujan.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel