Setelah Politisi Jadi Anggota BPK

infopertama.com – Berturut-turut anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terlibat korupsi. Buruknya sistem seleksi auditor nagara itu.

Apa lembaga di negeri ini yang terbebas dari korupsi setelah Reformasi sekian lama berjalan? Makin sulit kita menjawabnya.

Hampir semua organ negara digerogoti wabah rasuah. Termasuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tak kunjung lepas dari kejahatan ini. Pola rekrutmen anggota auditor negara itu menjadi penyebab utama.

Coreng terakhir ditinggalkan Pius Lustrilanang, anggota BPK yang berasal dari Partai Gerindra. Ia dituduh terlibat gratifikasi rekayasa hasil audit di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.

Aktivis 98 itu memang masih berstatus saksi, tapi petugas Komisi Pemberantasan Korupsi telah menggeledah dan menyegel ruang kerjanya.

Pius diduga memberi beban setoran kepada kepala perwakilan BPK di bawah kewenangannya hingga akhir Desember 2023.

Besarnya Rp1 miliar untuk kepala perwakilan wilayah provinsi dan Rp500 juta buat level kabupaten atau kota.

Ia membawahkan 22 provinsi dan 241 kabupaten atau kota.

Sejumlah informasi menyebutkan setoran itu dikumpulkan demi persiapan pencalonannya lagi sebagai anggota BPK tahun depan.

Korban penculikan aktivis pada 1998 itu adalah anggota BPK periode 2019-2024.

Rekannya pada periode jabatan yang sama dan juga politikus, Achsanul Qosasi, lebih dulu masuk terungku. Politikus Partai Demokrat itu ditahan Kejaksaan Agung sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan menara pemancar atau BTS.

Keduanya disangka memperdagangkan hasil audit. Jauh sebelumnya, pada 2020, anggota BPK dari Partai Amanat Nasional, Rizal Djalil, juga menjadi terpidana korupsi pembangunan proyek air minum.

Ketiga contoh-semua berlatar belakang partai politik-itu bertolak belakang dengan persyaratan utama menjadi anggoota BPK.

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK menyebutkan calon anggota lembaga itu harus “memiliki integritas moral dan kejujuran”.

Ukuran abstrak ini, tentu saja, tidak bisa dirincikan dalam proses seleksi. Apalagi penjaringan calon anggota tidak melibatkan lembaga independen.

Dalam setiap proses seleksi anggota BPK juga tidak ada keterlibatan publik. Tiba- tiba saja calon anggota BPK telah menjalani uji kepatutan dan kelayakan di Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam beberapa periode terakhir, politikus berbagai partai seolah-olah mendapatkan “wild card”-meminjam istilah dalam kejuaraan tenis-untuk secara otomatis menempati posisi itu.

Latar belakang politik tersebut memantik benturan kepentingan. Apalagi mereka disebut-sebut juga masih dibebani kewajiban pendanaan partai politik masing-masing.

Telah lama terdengar, hasil audit menjadi barang dagangan. Sering kali predikat “wajar tanpa pengecualian”, yang seharusnya menjadi penanda kualitas tata kelola, berubah menjadi sekadar sertifikat pencuci dosa.

Obyek audit membayar auditor demi mendapat status itu. Walhasil, banyak kemudian ditemukan kebocoran meski obyek audit yang sama telah mendapatkan status tersebut.

Auditor negara yang seharusnya menemukan penyelewengan malah menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri.

Saatnya proses seleksi anggota BPK diperbaiki. Walau tak menjamin seratus persen, pelibatan masyarakat dalam penyaringan auditor negara bisa memperkecil peluang terpilihnya calon yang tak memiliki integritas.

Sumber: Tempo

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel 

 

error: Sorry Bro, Anda Terekam CCTV