infopertama.com – Sandra Dewi, belum bisa menjenguk suaminya Harvey Moeis, tersangka kasus korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 sampai 2022. Sang suami kini berada di balik jeruji Kejagung.
“Belum (bisa jenguk), karena masih dalam asimilasi di rutan,” ujar Kapuspenkum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana kepada wartawan, Kamis (28/3/2024).
Proses asimilasi adalah proses penyesuaian di rutan. Keluarga baru bisa menjenguk Harvey Moeis beberapa hari kemudian.
Tersangka ke-16 Kasus Tambang
Status tersangka Harvey Moeis Kejagung umumkan pada Rabu (27/3) lalu. Kejagung menyebut Harvey menerima uang-uang dari perusahaan swasta yang terlibat pengakomodasian kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah Tbk.
Uang dari perusahaan-perusahaan swasta tersebut Harvey terima melalui PT QSE. Pihak dari PT QSE yang memfasilitasi aliran dana tersebut adalah Helena Lim, sang manajer. Helena Lim sendiri adalah crazy rich PIK.
Kejagung menyebut Harvey memberi instruksi agar perusahaan-perusahaan pemilik smelter menyisihkan keuntungan dari penjualan bijih timah yang dibeli PT Timah Tbk. Dana yang terkumpul, sebut Kejagung, lalu dinikmati Harvey dan para tersangka lainnya.
“Tersangka HM menginstruksikan kepada para pemilik smelter tersebut untuk mengeluarkan keuntungan bagi tersangka sendiri. Maupun, para tersangka lain yang telah ditahan sebelumnya, dengan dalih dana corporate social responsibility (CSR) kepada tersangka HM melalui PT QSE yang difasilitasi oleh Tersangka HLN,” ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejaksaan Agung, Kuntadi, dalam jumpa pers di Gedung Kartika Jampidmil Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (27/3/2024) malam.
Duduk Perkara
Total sudah ada 16 tersangka kasus korupsi yang ditahan dalam kasus ini. Berikut rinciannya:
1. SG alias AW selaku Pengusaha Tambang di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
2. MBG selaku Pengusaha Tambang di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
3. HT alias ASN selaku Direktur Utama CV VIP (perusahaan milik Tersangka TN alias AN)
4. MRPT alias RZ selaku Direktur Utama PT Timah Tbk tahun 2016-2021
5. EE alias EML selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk tahun 2017-2018
6. BY selaku Mantan Komisaris CV VIP
7. RI selaku Direktur Utama PT SBS
8. TN selaku beneficial ownership CV VIP dan PT MCN
9. AA selaku Manajer Operasional tambang CV VIP
10. TT, Tersangka kasus perintangan penyidikan perkara
11. RL, General Manager PT TIN
12. SP selaku Direktur Utama PT RBT
13. RA selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT
14. ALW selaku Direktur Operasional tahun 2017, 2018, 2021 dan Direktur Pengembangan Usaha tahun 2019 s/d 2020 PT Timah Tbk.
15. Helena Lim selaku manager PT QSE
16. Harvey Moeis Perpanjangan tangan PT RBT
Kasus ini bermula pada 2018, tersangka ALW selaku Direktur Operasi PT Timah Tbk periode 2017-2018 bersama Tersangka MRPT selaku Direktur Utama PT Timah Tbk dan Tersangka EE selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk menyadari pasokan bijih timah yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan smelter swasta lainnya. Hal itu sebagai akibat masifnya penambangan liar dalam wilayah IUP PT Timah Tbk.
Atas kondisi tersebut, tersangka ALW bersama dengan tersangka MRPT dan tersangka EE, yang seharusnya menindak kompetitor, justru menawarkan pemilik smelter untuk bekerja sama dengan membeli hasil penambangan ilegal melebihi harga standar yang PT Timah Tbk tetapkan tanpa melalui kajian terlebih dahulu.
Guna melancarkan aksinya untuk mengakomodasi penambangan ilegal tersebut, tersangka ALW bersama dengan tersangka MRPT dan tersangka EE menyetujui untuk membuat perjanjian seolah-olah terdapat kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah dengan para smelter.
Pasal yang disangkakan kepada tersangka adalah Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dugaan Kerugian Lingkungan Rp271 T
Ternyata kasus korupsi tersebut mengakibatkan kerugian lingkungan hingga Rp271 triliun. Sebelumnya, Kejagung menyampaikan kerugian lingkungan berdasarkan penghitungan ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo. Ia menyampaikan penghitungan kerugian lingkungan itu dalam dalam jumpa pers di Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (19/2).
Bambang menyebut setidaknya kerugian kerusakan hutan di Bangka Belitung (Babel) akibat kasus ini mencapai Rp271.069.688.018.700 atau Rp271 triliun.
“Totalnya kerugian itu yang harus juga negara tanggung adalah Rp271.069.687.018.700,” kata Bambang.
Jumlah itu, kata Bambang, adalah penghitungan kerugian kerusakan lingkungan dalam kawasan hutan dan nonkawasan hutan. Dia merinci penghitungan kerugian dalam kawasan hutan dan nonkawasan hutan.
“Di kawasan hutan, kerugian lingkungan ekologisnya itu Rp157,83 T, ekonomi lingkungannya Rp60,276 T, pemulihannya itu Rp5,257 T. Totalnya saja untuk yang di kawasan hutan itu adalah 223.366.246.027.050,” rincinya.
“Dan kemudian yang non kawasan hutan biaya kerugian ekologisnya Rp25,87 Triliun dan kerugian ekonomi lingkungannya Rp15,2 T dan biaya pemulihan lingkungan itu adalah Rp6,629 T. Jadi total untuk untuk yang nonkawasan hutan APL adalah Rp47,703 triliun,” tambahnya.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp ChanelÂ
Â