Hallo Rangang….ehh Hallo Sobat, apa kabar? Semoga semuanya sehat-sehat dan selalu dalam lindungan Mori Kraeng! Amin…amin…
Salam sehat buat kita semua, Ya Sobat.
Sebelum kita lanjut, pertama kali saya mohon izin tuk berbagi cerita soal suatu hal kepada sobat sekalian…
Mungkin sobat semua suka dan bisa jadi cerita kecil ini mampu menginsipirasi sobat sekalian.
Kalaupun tidak, yahh sudalah….abaikan saja. Tetapi saya yakin, cerita kecil ini sedikitnya bisa membuat sobat membacanya hingga terakhir.
Lejong (Silaturahmi) ke teman kandung
Di sela-sela kunjungan sore itu, di antara banyak percakapan, ada salah satu topik percakapan yang menarik untuk saya renungkan kemudian saya tulis menjadi sebuah kumpulan huruf yang sedang Anda baca ini.
“Rimba, menurutmu apa itu trias politika?” Tanyaku singkat padanya.
“Saya juga tidak terlalu paham dengan yang kamu tanyakan itu, yang saya pahami hanyalah bahwa trias politika itu terdiri dari tiga komponen utama, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif,” pungkasnya santai, sembari menyeruput segelas cairan warna hitam pekat di gelasnya.
Rimba, sahabat lama ini saya anggap sebagai sahabat yang cukup pandai dalam hal semacam ini, maka saya ingin menggali lebih dalam lagi dengan mengajukan pertanyaan sebagaimana kebiasaan anak-anak muda sekarang: banyak tanya, malas mencari tahu. Yahhh, ko gitu sih. Bukannya, mencari tahu itu dengan banyak bertanya? Ataukah dengan banyak bertanya malah menemukan tempe.
Sudah sudahlah, kebanyakan canda, lanjut.
“Lalu, konsep trias politika itu untuk negara atau pemerintah?”
“Awal mulanya untuk pemerintah, tapi sekarang telah bergeser menjadi porsi negara. Danong (dulu-Pen), negara dan pemerintah itu berbeda. Ibarat Ayah, dalam sebuah keluarga, adalah kepala keluarga dan Ibu adalah kepala rumah tangga. Ayah adalah negara dan Ibu adalah pemerintah. Analoginya begitu. Akibatnya, sekarang kepala negara merangkap kepala pemerintahan, kepala keluarga sama dengan kepala rumah tangga.” Ayah Ibu melebur, jadilah Orang tua. Hmmm, itu karena adanya para junior.
“Jadi, harusnya ada lembaga negara dan ada lembaga pemerintah. Ada kas negara, ada kas pemerintah. Ada BUMN, ada BUMP. Polri, KPK, TNI, MK, dan lain-lain. Itu adalah lembaga negara, bukan lembaga pemerintah,” sambungku ragu-ragu.
“Harusnya seperti itu.”
“Memang sejak kapan semua itu berubah? Kenapa berubah? Apa tujuan diubahnya sistem itu? Siapa yang ubah itu semua?”
“Saya juga tidak tahu, tanya saja sama para ahli hukum tata negara,” Rimba merespon dengan senyum sedikit kecut, aram rabo ata ho ga.
Deru Mobil Pak Dewan
Dinginnya Ruteng menambah semangat menyeruput cairan hitam dalam gelas bening, masih hangat dan segera dihabiskan. Jika dibiarkan beberapa menit lagi, akan jadi dingin bak es.
Sembari membakar sebatang rokok putih, pandangan kami beralih ke arah jalan depan rumah, menyaksikan beberapa kendaraan lewat.
Deru mesin mobil Kijang kapsul tua bermesin diesel menganggu obrolan sore itu. Iya, mobil tua itu milik salah seorang dewan terhormat, tetangga sahabat saya. Gegara mobil itu pula, obrolan berpindah topik. Kali ini, Rimba yang mengawali obrolan, dia bertanya sekedar tuk mencari tahu dan berharap tidak menemukan tempe.
Jadi Dewan jangan Cuma Diam
“Apa kabar anggota dewan yang terhormat di daerah kita ini?”
“Kayaknya baik-baik semua, soalnya tidak ada ribut-ribut juga. Pokoknya, adem-adem saja.”
“Bikin apa saja mereka selama ini?”
“Mengurusi hajad hidup orang banyak. Demi kepentingan rakyat.” Jawabku sambil mata mengarah pada salah satu buku yang tercecer di antara tumpukan buku di kolong meja.
Kami berdua serentak tertawa lima gantang, reges lima leke.
Kalimat “demi kepentingan rakyat” adalah jenis kalimat klasik yang sering diucapkan oleh setiap politikus di Nuca Lale. Itulah yang membuat kami tertawa reges.
Memulailah dengan hal kecil
Rimba, sahabat saya, mengulurkan tangannya ke kolong meja, mengambil sesuatu dan memberikan itu untukku. Ia memberiku sebuah buku yang halamannya sudah ia tandai. Buku yang saya amati sebelumnya. Entalah, mungkin dia tahu buku itu jadi fokus perhatian saya sebelumnya.
“Daripada membicarakan topik yang berat-berat, lebih baik baca dulu ini. Tulisannya menarik,” katanya sambil memberikan buku itu padaku.
“Apa ho e bro?
“Ambil dan baca saja dulu, nanti kamu tahu juga maksudku.”
Saya meraih buku yang tulisannya kecil-kecil itu, lalu mulai membaca halaman yang ia maksud.
“Judulnya, A Remarkable Beetle. Rangang, Undur-Undur atau Kumbang Tinja,” di rumah banyak ni binatang bro, batinku.
“Aneh! Rangang kok menarik!”
Saya mencoba membaca tulisan lawas itu. Kesal, karena tulisan buku itu berbahasa inggris, bahasa yang buat saya alergi, saya lebih senang dengan tulisan berbahasa indonesia. NKRI harga Mati, Bahasa Indonesia Harga Mati.
“Apa maksudnya?” Responku setelah selesai membaca tulisan berbahasa Inggris, yang samar-samar saya pahami artinya.
“Paragraf ketiga pada dua kalimat terakhir menyebutkan bahwa tanpa campur tangan kumbang tinja dalam mengurai kotoran binatang, kotoran ternak akan mengotori padang rumput, membuat rumput tidak dapat dimakan oleh hewan ternak dan menghalangi tanah dari sinar matahari secara langsung.
Kemudian, setiap 30 juta hewan ternak di Australia menghasilkan sekitar 1,7 milyar ton kotoran binatang, cukup untuk menutupi kira-kira 110.000 km persegi padang rumput atau sekitar setengah dari luas area Victoria.”
“Belum paham kawan?”
“Maksudku, hewan sejenis Rangang (kumbang tinja) saja sangat besar manfaatnya bagi kehidupan di muka bumi ini, meski kerjanya hanya menggulung-gulung kotoran hewan dari sejak kecil hingga mati. Kita, manusia, sudah memberi manfaat apa selama ini untuk kehidupan?”
“Iya juga ya. Pertanyaanmu itu tidak hanya berlaku untuk kita, tetapi juga berlaku untuk para anggota dewan yang tercinta dan semua pejabat pemerintah yang terhormat itu. Mereka sebenarnya sudah memberi manfaat apa selama ini?”
“Jangan-jangan lebih jelas guna kumbang tinja,” sambar Rimba tiba-tiba.
Kami serempak mengangkat gelas bening yang tadinya berisi cairan hitam pekat, dan ketika diangkat mendekati mulut tenyata hanya repang (ampas) saja yang tertinggal. Hal ini menjadikan suara reges kami semakin mengeras.
Ayo, jadilah Rangang……ehh jadilah seperti Rangang.
RJ Pangul (bukan R.A Kartini)
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel