Cepat, Lugas dan Berimbang

Soal Presiden Boleh Kampanye

Presiden Boleh Kampanye
Ilustrasi Presiden Boleh Kampanye (ist)

Selain tentang presidensialisme, perlu juga sebagai negara yang kental dengan budaya ketimuran; melihat presiden kampanye secara kacamata sosial budaya. Sejak Presiden Jokowi memberi pernyataan tegas terkait presiden boleh kampanye dan memihak, hal yang paling getol disuarakan oleh banyak pihak adalah tentang adab dan etika seorang pemimpin. Banyak kalangan menilai Presiden Jokowi sudah buta karena ambisi memenangkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka.

Presiden Jokowi telah mengangkangi etika sedari meloloskan anaknya Gibran menjadi cawapres Prabowo. MK yang pada waktu itu diketuai Anwar Usman yang notabene paman Gibran, mudah saja mengubah materi UU. Begitu pula kerja-kerja politik licik Jokowi yang memaksa beberapa Ketum partai politik untuk mengarahkan dukungannya pada Prabowo-Gibran.

Kejadian terakhir yang paling memalukan adalah ketika Presiden Jokowi atau mungkin ibu negara, mengangkangi etika sekaligus hukum dengan melambaikan salam politik dua jari dari dalam mobil Kepresidenan yang notabene fasilitas negara. Pertimbangan presidensialisme dan etika politik inilah yang kemudian membuat kita semua beralasan logis untuk menyalahkan perilaku politik Presiden Jokowi.

Lihat saja Ketum Golkar Airlangga Hartarto. Menko Perekonomian ini sempat diperiksa Kejaksaan Agung atas dugaan kasus korupsi izin impor minyak sawit metah, karena pada waktu itu Partai Golkar yang ia pimpin enggan merapat ke koalisi Prabowo-Gibran.

Satu hal yang perlu diingat juga bahwa Presiden Jokowi mungkin sudah lupa diri bahwa dia yang menjadi presiden karena dipilih rakyat adalah sosok panutan seluruh lapisan masyarakat. Ini artinya, segala perilaku terutama perilaku politiknya berpeluang besar ditiru oleh banyak orang. Dengan begitu, perilaku-perilaku politik Jokowi yang suka mengangkangi etika tanpa disadari  akan menjadi preseden buruk bagi perpolitikan bangsa Indonesia.

Post Scriptum

Pertama, Presiden Jokowi sepertinya tidak tahu bahwa ada yang lebih tinggi dari hukum yaitu moral dan etika. Rasa-rasanya, Presiden Jokowi hanya memikirkan bahwa kalau tidak melanggar hukum maka segalanya dapat dilakukan. Padahal, di atas hukum ada yang namanya moralitas. Dan, mungkin saja Jokowi memang tidak memiliki moralitas.

Kedua, presiden kampanye tanpa disadari Jokowi sebagai bentuk nyata dari ketidaknetralan. Padahal, sebagai sosok pemimpin tertinggi penting untuk mewajibkan dirinya menjaga netralitas. Terutama sekali dalam kontestasi politik seperti pilpres 2024 yang akan helat sebentar lagi.

Fais Yonas Bo’a

Direktur Lembaga Anamnesis

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel