Bang Joko memang tidak terlalu peduli apakah ada bantuan sembako atau tidak. Selama ini tenggorokannya belum pernah sekali pun merasakan manisnya beras pemerintah. Seperti yang diperebutkan banyak orang. Apakah ia dapat jatah atau tidak, tak peduli. Di pikirannya hanya berisi kalimat: tidak kerja tidak makan.
Ia tidak pernah sekali pun menggantungkan nasibnya kepada negara apalagi manusia. Bahkan ia sendiri tidak tahu nasibnya sendiri jika nanti daerah ini benar-benar menerapkan PSBB. Ia khawatir dan bertanya-tanya apakah masih bisa berkeliling kampung antar kampung menjajakan bakso miliknya.
Bagaimana jika tidak? Apa yang harus ditelan keluarganya? Apakah harus menelan virus itu terlebih dulu baru kemudian menelan tajin di rumah sakit dan menebusnya dengan sebidang tanah.
Lamunan itu kemudian buyar ketika baju gelap yang selama ini jadikan penanda Bang Joko ditarik oleh salah satu pelanggannya.
“Bang! Abang Joko! Aaabang Joko dapat sembako belum?”
“Sekarang Bang, banyak bantuan datang dari pemerintah. Bahkan siarkan setiap hari di televisi, ada PKH, BPNT, BLT, Prakerja, BST, beras dari ini dan itu” katanya sambil menghitung jemari kirinya.
“Pokoknya banyak Bang. Jadi, kalau Abang tidak dapat, berarti perlu pertanyakan, Bang!”
“Aduh, Bang! Di sini malah orang mampu yang dapat bantuan. Heran! Padahal orang tidak mampu seperti saya ini yang selayaknya diberi bantuan. Malah si itu tuh yang dikasih.” Volume suara istri juragan wanga itu kian mengecil agar pembicaraannya tidak didengar oleh si pemilik rahasia.
Mendengar penjelasan panjang dari pelanggannya, Bang Joko hanya mengangkat kedua bahu memberi isyarat bahwa dirinya tidak menerima apa pun. Di sinilah kita tahu, bahwa setelah jenis kelamin, perbedaan mencolok antara laki-laki dan perempuan adalah porsi bicaranya. Inilah perempuan, walaupun faktanya selalu diperdebatkan.
Bang Joko paham kenapa mereka tiba-tiba meributkan soal bantuan dari pemerintah yang tak seberapa itu. Ternyata ada Bu RT sedang memberi makan manuk peliharaannya di samping rumahnya. Bang Joko semakin paham setelah istri simpanan juragan wanga itu sesekali melirikkan kedua bola matanya ke rumah Pak RT.
Setiap kali Bang Joko mangkal melayani pembeli, di situlah ada aib terhangat antar pelanggan yang mendobrak masuk ke dalam gendang telinganya. Ibu-ibu di perkampungan ini memang semacam perangkat lunak atau jurnalis liar yang menyediakan informasi begitu cepat. Headline-nya adalah pelanggan yang tidak menikmati bakso hari itu.
Desas-desus yang beredar, warga kesal lantaran Pak RT sengaja tidak mendata mereka sehingga sampai detik ini mereka belum melihat warna bantuan itu. Bahkan ada yang bilang Pak RT pilih kasih. Mereka membandingkan dengan RT sebelah yang mayoritas warganya mendapatkan bantuan covid-19. Lagi-lagi RT kena batunya.
“Jangan-jangan berasnya dimakan sendiri ya, Bang Jo?” Bisik perempuan gendut berdaster.
“Iya. Kemarin saya lihat Pak RT lewat membawa karung beras” Sahut perempuan gempal.
Bang Jo tidak berani untuk mengomentari. Sebab, jika ia mencoba menjelaskan asal muasal dan mekanisme pencairan bantuan sosial, pastinya akan diserang habis-habisan oleh ibu-ibu yang maha benar ini.
Jika berpihak pada mereka, khawatir istri Pak RT tidak akan belanja kepadanya lagi, atau sebaliknya, mereka yang menjauhi Bang Joko. Ia tidak mau mengambil risiko. Baginya satu orang pelanggan adalah satu kali tarikan napas yang akan memperpanjang umur anak dan ibunya.
Bang Joko memang tidak bodoh-bodoh amat. Meskipun ijazah terakhirnya SMA, ia pernah kuliah selama dua semester jurusan ilmu kesejahteraan sosial. Namun karena dimabuk cinta, akhirnya ia memutuskan nikah muda daripada menggenapkan keinginan orang tua. Jadi, ia sedikit tahu bagaimana asal muasal sumber data yang dijadikan acuan pencairan bantuan sosial itu. Tentu pemerintah tidak seceroboh yang kita bayangkan.
“Data pemilu dengan data kemiskinan memang berbeda. Data pemilu, adalah data yang bersumber dari Dispendukcapil, artinya semua warga negara Indonesia baik itu kaya atau miskin yang telah memiliki kartu keluarga maka namanya akan tercantum di data pemilih.
Sedangkan data yang digunakan untuk pencairan bantuan sosial, mengacu kepada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Data ini hanya berisi data masyarakat yang benar-benar tidak mampu yang di-input melalui aplikasi SIKS-NG oleh operator desa setelah melalui proses seleksi atau musyawarah di tingkat pemerintah desa.
Tidak selesai di situ, data tersebut kemudian diranking oleh…. Ah! percuma dijelaskan. Kelompok penguasa jagat perumpian ini tidak akan pernah percaya dengan tampang bakso seperti saya ini.” Katanya dalam hati.
Bang Joko memilih tak peduli dengan apa yang mereka ributkan. Daripada terjebak dalam urusan remeh-temeh, mending kedua telinganya disetel tuli. Asal jualannya laris, aroma asap di dapurnya akan tetap manis. Segera ia tancap gas dan melanjutkan perjalanan.
(Salah satu kisah buruh di Nuca Lale beberapa tahun silam, kebetulan sering berpapasan di perkampungan kala menjajakan dagangan yang berbeda. Nama dalam cerita di atas bukanlah nama sesungguhnya, mohon maf bila ada kesamaan nama). Efek kelamaan Nganggur jadi merangkai ulang kisah sedih menjadi buruh serabutan.
Selamat Hari Buruh buat semua buruh, buruh tani, buruh pabrik, buruh bangunan dan buruh warat.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel