“Kalau tanyakan soal beras, orang desa malah berkelit. Tidak masuk datalah, inilah, itulah. Banyak alasan, mereka kira kita ini bodoh apa!” Kata seorang ibu berbadan gempal yang memakai rantai kuning di kedua pergelangan tangannya. Sesekali memoncongkan kedua bibirnya seolah meniru gaya bicara staf desa yang berusaha menjelaskan mekanisme bantuan sosial beberapa waktu lalu kepada si Joko Penjual Bakso Keliling.
Udara pagi sangat sejuk, rupanya tak mampu membuat hati mereka dingin. Bahkan, si mama muda istri juragan wanga (porang) yang sedang menikmati semangkok bakso itu juga menimpali dengan nada cukup keras bahkan lebih pedas dari toples kecil sambal di samping mangkok baksonya.
“Iya, betul.”
“Coba lihat kalau waktunya pemilu, semuanya masuk data. Orang gila di perempatan pun juga masuk data. Kalau sudah urusan beras, semuanya malah jadikan alasan, mata koe olom!” lanjutnya kesal menyumpahi.
Abang (mas) penjual bakso keliling hanya bisa tertawa kecil, tanpa suara, ngong senyum… Tampak sedikit noda kekuning-kuningan menempel di dua gigi atasnya. Jelas bahwa ia ahli asap. Sesekali ia terlihat sibuk memindahkan olahan daging sapi ke dalam mangkok bagi para pelanggannya.
Tidak hanya aroma dan rasa, harga bakso lebih miring 250 rupiah dari penjual lain membuat bakso jualannya lebih diminati oleh warga perkampungan ini. Selain itu, selidik punya selidik ternyata rahasia lain pria yang akrab sapa Bang (mas) Joko adalah seorang duda.
Konon istrinya minta diceraikan lantaran Bang Joko bekerja sebagai penjual bakso keliling. Selain malu bersuami yang perekonomiannya suram, rupanya si istri tak tahan harus mengendalikan api cemburu saban hari lantaran suaminya dikerumuni ibu-ibu genit + gempal.
Sebenarnya Bang Joko si penjual bakso keliling memiliki wajah cukup tampan, plus rambut gondrong sebahu. Namun karena dua anak perempuan di rumahnya yang akan beranjak dewasa membuatnya enggan merawat diri. Ia sadar, bahwa umurnya sudah menginjak kepala empat, membuat dirinya lebih berpikir realistis. Mencari ibu baru bagi kedua anaknya bukanlah jalan satu-satunya menuju kebahagiaan. Asal dapur mengepul dan kebutuhan sekolah anak lancar, selebihnya ia tidak berani berpikir nekat.
Selain murah, tampang sedikit menarik, barang dagangannya boleh diutang dengan durasi maksimal satu minggu. Trik marketing ini dipelajari ketika menjadi kuli sembako milik seorang Tionghoa dulu. Darinya ia banyak menimba ilmu. Belajar bagaimana mengolah barang dagangan, memasarkan, bahkan cara membuat pelanggan senang dan setia.
Berbekal pengalaman kerja waktu muda, kemudian ia membuka usaha sebagai penjual bakso keliling. Usaha itu mulai ditekuninya setelah anak yang nomor dua berumur empat bulan dalam perut Yhanti.
Setiap pagi ia lewat di perkampungan ini, disertai bunyi klakson dan knalpot motor butut khas miliknya. Menjajakan bakso dalam satu gerobak di boncengan sepeda bututnya, ditata rapi penuh aksesoris di belakang selayaknya warung berjalan.
Di situlah kedua anak dan ibunya yang terbaring kaku menggantungkan nasib. Terlebih saat covid-19 seperti ini yang telah membuat gaduh dunia dan seisinya. Sehingga memunculkan ketakutan. Takut tertular dan takut lapar, ujung-ujungnya adalah takut mati.
Walau pun hidupnya lebih banyak di jalanan, ia juga tidak ketinggalan informasi. Salah satunya soal bantuan sosial dari pemerintah yang berbagai macam. Tentu saja semua informasi itu tidak didapat dari telepon genggam, melainkan dari speaker ibu-ibu, pelanggan bakso setianya.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel