Oleh Flora Grace Putrianti, S.Psi., M.Si.*
Kekerasan seksual yang melibatkan anak kandung tidak hanya terjadi pada kasus pria berinisial FJ (40) tahun di Manggarai, Flores, NTT. Akan tetapi sebelumnya sudah pernah terjadi di Koja (Maret 2021), di Depok (Juni 2020) dan daerah lainnya.
Berdasarkan hasil laporan dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI PPA) hingga 3 Juni 2021 terdapat 3.122 kasus kekerasan terhadap anak dan yang mendominasi adalah kekerasan seksual pada anak.
Kemudian, Data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual pada anak setiap tahun mengalami peningkatan yaitu 2016 (25 kasus), 2017 (81 kasus), 2018 (206 kasus), 2019 (350 kasus). Kenaikan yang cukup drastis ini membutuhkan penanganan yang serius dari berbagai pihak yang terkait.
Kekerasan seksual terhadap anak juga dikenal dengan istilah child sexual abuse. Dalam banyak kasus, korban merasa malu untuk menceritakan kejadian yang ia alami kepada orang lain karena membicarakan aib sendiri. Sedangkan pelaku malu dan takut jika perbuatan bejatnya orang lain ketahui, yang akan membawanya ke terali besi.
Anak Sebagai Pemuas Kebutuhan Seksual
Kekerasan seksual terhadap anak menurut End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) Internasional adalah hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara sekandung atau orang tua dengan cara mempergunakan anak sebagai objek pemuas kebutuhan seksual pelaku.
Melakukan perbuatan ini dengan paksaan, ancaman, suap, tipuan bahkan tekanan.
Kekerasan seksual dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada korban, baik secara fisiologis, emosional, maupun psikologis. Dampak secara fisiologis berupa luka fisik, kesulitan tidur dan makan, kehamilan yang tidak diinginkan, tertular penyakit seksual, dan lain-lain.
Selanjutnya, dampak secara emosional berupa perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, perasaan malu, penyangkalan, dan lain-lain. Selanjutnya, dampak secara psikologis berupa posttraumatic stress disorder (PTSD), depresi, kecemasan, penurunan self-esteem, simtom obsesif-kompulsif, dan lain-lain (Stekee & Foa, 1987). Korban kekerasan seksual juga dapat mengalami berbagai masalah interpersonal, seperti ketidakpercayaan pada orang lain, kesulitan dalam hubungan, mengisolasi dan mengasingkan diri sendiri, serta ketakutan terhadap laki-laki (Tsai & Wagner, 1978; Herman, 1978 dalam Briere & Runtz, 1988).
Selain itu, korban yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat kemungkinan memiliki dorongan yang kuat untuk bunuh diri (Sulistyaningsih & Faturochman, 2009). Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Kilpatrick dan kolega (1985) yang menemukan bahwa 1 dari 5 korban kekerasan seksual pernah melakukan percobaan bunuh diri.
Jumlah tersebut lebih besar daripada jumlah percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh korban dari tindak kejahatan lain.
Faktor-Faktor Penyebab Efek Psikologis Jangka Pendek atau Jangka Panjang
1) Pelaku. Semakin dekat hubungan pelaku dengan korban, semakin tinggi resiko korban mengalami masalah psikologis. Menurut Week (2017) identitas yang paling umum adalah ayah biologis (50%), saudara kandung (14,4%), ayah tiri (13,9%), dan pacar orang tua (12%).
2) Jenis kekerasan seksual yang dialami korban. Seseorang yang mengalami kekerasan seksual pada masa anak-anak cenderung beresiko tinggi mengalami gangguan psikologis di masa dewasa. Semakin parah kekerasan seksual yang dialami korban, semakin besar pula resiko korban mengalami masalah psikologis. Perempuan yang mengalami kekerasan seksual intercourse memiliki resiko hampir 2 kali lebih besar mengalami depresi hebat, gangguan kecemasan, gangguan makan, kecanduan alkohol dan kecanduan obat terlarang dibanding dengan kekerasan seksual lainnya yang lebih ringan (Kendler et al., 2000).
3) Cara kekerasan seksual tersebut dilakukan. Kekerasan seksual yang dilakukan kepada anak seringkali disertai kekerasan lainnya, baik berupa kekerasan fisik maupun kekerasan mental. Korban yang mengalami kekerasan seksual pada masa anak-anak dua kali lebih mungkin mengalami kekerasan fisik secara bersamaan selama masa kanak-kanak (Chu & Dill, 1990).
4) Keterbukaan. Banyak korban memilih menyimpan sendiri peristiwa kekerasan yang dialaminya. Korban merasa bersalah, malu, kotor, atau takut sehingga tidak menginginkan peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya diketahui oleh beberapa orang. Andalas (2002) menuturkan bahwa sebagian perempuan memilih untuk mendiamkan kasus kekerasan atau kekerasan seksual yang dialaminya karena ancaman kehilangan harga diri dihadapan umum.
5) Dukungan sosial. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima oleh korban kekerasan seksual maka akan semakin tinggi psychological well-being korban (Hardjo & Novita, 2017), artinya dukungan sosial akan mempermudah korban kekerasan seksual berdamai dengan dirinya.
Dampak Trauma Akibat Kekerasan Seksual Pada Anak
1) Penghianatan (betrayal). Dukungan sosial. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima oleh korban kekerasan seksual maka akan semakin tinggi psychological well-being korban (Hardjo & Novita, 2017), artinya dukungan sosial akan mempermudah korban kekerasan seksual berdamai dengan dirinya. Trauma secara seksual (traumatic sexualization). Russel (Tower, 2002) menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya menjadi korban kekerasan seksual dalam rumah tangga. Finkelhor (Tower, 2002) mencatat bahwa korban lebih memilih pasangan sesama jenis karena menganggap laki-laki tidak dapat dipercaya.
2) Merasa tidak berdaya (powerlessness). Rasa takut menembus kehidupan korban. Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa sakit.
Perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya, pada korban lain memiliki intensitas dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan Browne, Briere dalam Tower, 2002).
3) Stigmatization. Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri yang buruk. Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol dirinya.
Anak sebagai korban sering merasa berbeda dengan orang lain, dan beberapa korban marah pada tubuhnya akibat penganiayaan yang dialami. Korban lainnya menggunakan obat-obatan dan minuman alkohol untuk menghukum tubuhnya, menumpulkan inderanya, atau berusaha menghindari memori kejadian tersebut (Gelinas, Kinzl dan Biebl dalam Tower, 2002).
Kiat Penanganan Kekerasan Seksual Menurut KHD
Penanganan kekerasan seksual pada anak dapat dilakukan dengan mengimplementasikan ajaran tripusat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara yakni:
1) Keluarga. Keluarga memegang peran utama dalam menjaga anak-anak dari ancaman kekerasan seksual. Keluarga khususnya orang tua harus memahami sinyal-sinyal di luar kebiasaan anaknya. Orang tua dalam hal ini bukan pelaku kekerasan, dapat membantu proses penyesuaian dan pemulihan pada diri anak pasca peristiwa kekerasan seksual tersebut.
Komunikasi yang baik harus dibangun sejak anak usia dini, misalnya dengan bercerita bersama, jujur dalam mengungkapkan yang dirasakan dan lainnya.
2) Sekolah. Sekolah sebaiknya menciptakan suasana belajar yang ramah anak sehingga siswa akan lebih terbuka terhadap guru jika terjadi permasalahan terkait dengan pelecehan seksual yang terjadi, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
3) Masyarakat. Masyarakat merupakan kontrol yang penting juga bagi terjadinya kekerasan seksual pada anak karena anak tidak selamanya berada di rumah atau di sekolah. Anak akan bersosialisasi dengan teman sebayanya ataupun orang yang lebih tua di lingkungan sekitar tempat tinggal. Masyarakat perlu melaporkan perilaku warganya yang dirasa mencurigakan kepada aparat setempat agar nantinya tidak sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
*Flora Grace Putrianti, S.Psi., M.Si. adalah dosen pada Fakultas Psikologi UST Yogyakarta. Selain sebagai dosen, beliau juga adalah Founder Omah Peduli Cyberbullying (OPC)
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp ChanelÂ
Â