Rasa-rasanya warga setanah air sudah sangat tahu siapa Bharada E. Ia adalah ajudan sekaligus sopir dari Ferdy Sambo. Anggota Polri yang berpangkat paling rendah ini dikenal publik pasca kasus pembunuhan Brigadir J terkuak. Bharada E lah pelaku pembunuhan yang pertama kali ditetapkan sebagai tersangka dalam tragedi kematian Brigadir J.
Pasal-pasal Prasangka
Sebagaimana diketahui, pasal-pasal prasangka atau pasal sangkaan yang menjerat Bharada E adalah Pasal 388 juncto 55 dan 56 KUHP. Mari kita lihat pengaturan pasal-pasal tersebut.
Pasal 338 KUHP, Pidana Pembunuhan:
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 55 KUHP, Pidana Atas Perintah Jabatan:
Ayat (1): Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Ayat (2): terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 KUHP, Pidana Pembantu Kejahatan:
Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Jika dilihat dari pasal-pasal sangkaan di atas, maka dapat dipahami bahwa Bharada E dijerat dengan pembunuhan.
Pembunuhan dalam hal ini berkaitan dengan (junto) melaksanakan perintah jabatan sekaligus sebagai pembantu kejahatan. Artinya, Bharada E disangka dengan pasal pembunuhan atas perintah jabatan dalam kasus kematian Brigadir J. Disamping itu, ia juga disangka dengan pasal membantu kejahatan.
Atas Perintah Atasan dan Justice Collaborator
Pasal Pembunuhan 338 jelas mengatur bahwa seseorang yang merenggut nyawa orang lain dihukum maksimal penjara selama 15 tahun. Hal ini berarti Bharada E berpotensi dihukum maksimal 15 tahun penjara. Nah, bagaimana jika merenggut nyawa seseorang atas perintah jabatan? Terkait pertanyaan ini kita perlu mengacu pada KUHP selaku sumber utama hukum pidana.
Dalam hal kekebalan pidana atas perintah jabatan dapat dilihat pada Pasal 51 ayat (1) KUHP: Orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana. Dengan merujuk pada pasal 51 KUHP, maka kita akan semakin paham bahwa setiap perbuatan hukum yang dilakukan atas perintah atasan/jabatan; tidak boleh dipidana.
Kalau saja dalam kasus Bharada E sepenuhnya berpijak pada sangkaan PEMBUNUHAN ATAS PERINTAH JABATAN, maka hukumannya diringankan atau bahkan dapat bebas dari hukuman. Namun demikian, jangan lupa bahwa ada pasal sangkaan lain yang juga berkaitan langsung yakni Pasal membantu kejahatan. Pasal inilah yang bisa saja tetap menggiring Bharada E ke penjara, meskipun hukumannya tidak seberat tuntutannya.
Selain soal pasal sangkaan di atas, kita juga perlu mendalami posisi Bharada E sebagai Justice Collabolator. Apa itu justice collabolator? Di dalam peraturan perundang-undangan negara kita tidak ditemukan istilah justice collabolator. Akan tetapi, istilah ini dapat kita temukan padanan maknanya di dalam UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban (UU PSK).
Pasal 1 angka 2 UU PSK tersebut mengatur: Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. Dapat kita pahami bahwa yang disebut justice collaborator adalah saksi pelaku (tersangka, terdakwa atau terpidana) yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap masalah hukum yang dilakukannya.
Dengan demikian, Bharada E selaku saksi pelaku (tersangka) dalam kasus pembunuhan Brigadir J bekerja sama dengan penegak hukum (Kepolisian) untuk mengungkap perkara ini secara terang benderang. Terkait justice collaborator, ada imbalan keringan hukuman baginya. Wajar memang, karena apa yang dilakukannya dapat sangat membantu penegak hukum dalam pengembangan suatu kasus. Sebagimana dalam pendalaman kasus kematian Brigadir J.
Terkait peringanan hukuman bagi saksi pelaku selaku justice collaborator dapat dilihat pada Pasal 10A ayat (1), (3) dan (4) UU PSK:
(1) Saksi Pelaku dapat diberikan penanganansecara khusus dalam proses pemeriksaan danpenghargaan atas kesaksian yang diberikan.
(3) Penghargaan atas kesaksian sebagaimanadimaksud pada ayat (1) berupa:a. keringanan penjatuhan pidana; ataub. pembebasan bersyarat, remisi tambahan,dan hak narapidana lain sesuai denganketentuan peraturan perundang-undanganbagi Saksi Pelaku yang berstatusnarapidana.
(4) Untuk memperoleh penghargaan berupakeringanan penjatuhan pidana sebagaimanadimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSKmemberikan rekomendasi secara tertuliskepada penuntut umum untuk dimuat dalamtuntutannya kepada hakim.
Berpedoman pada ketentuan Pasal 10A di atas, dapat diketahui bahwa setiap saksi pelaku yang memberanikan diri untuk menjadi justice collaborator akan mendapatkan “imbalan” keringanan hukuman. Begitu pula dengan Bharada E. Kalau semisalkan Bharada E dituntut 15 tahun penjara sesuai Pasal 338 KUHP, maka mungkin saja dikurangi separuh ataupun sepertiganya.
Perlu dicatat pula bahwa tidak semua saksi pelaku justice collaborator mendapatkan keringanan hukuman. Yang mendapat keringan hukuman, hanyalah pelaku yang mendapat rekomendasi tertulis dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), yang dilayangkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk kemudian dimuat dalam tuntutan.
Dihukum atau Dibebaskan?
Baiklah pembaca budiman…saya anggap anda sekalian sudah membaca dengan cermat bagian pembahasan tentang Peluang Hukuman. Di bagian pembahasan itulah kita dapat mengetahui status Bharada E; apakah tetap dihukum atau dibebaskan. Saya yakin anda sekalian telah membacanya dengan cermat.
Menurut hemat saya, Bharada E tetap akan mendapat hukuman meski hukumannya akan sangat ringan. Mengapa saya katakan demikian? Ada dua jawaban untuk itu. Pertama, bagaimanapun dalil Bharada E yang membunuh karena perintah jabatan; jangan lupa bahwa ia juga telah secara sadar ikut membantu pembunuhan terhadap Brigadir J.
Kedua, mengapa saya katakan Bharada E tetap mendapat hukuman, sekalipun ringan. Lihatlah bunyi ketentuan Pasal 10A mengenai justice collaborator di atas. Tidak ada frasa membebaskan saksi pelaku justice collaborator, melainkan diringankan.
Jikalau kita mengacu pada Pasal 51 ayat (1) KUHP, maka saya akan memberikan pertimbangan bahwa ketika Bharada E menembak Brigadir J itu memang atas perintah, tetapi bagaimana dengan keterlibatannya dalam skenario Ferdy Sambo. Mengapa ajudan yang lain tidak terlibat?
Semacam Usulan
Pertama-tama, saya ingin mengatakan bahwa KUHP yang menjadi rujukan utama hukum pidana sudah usang. Mengapa dikatakan demikian? Ketentuan Pasal 51 ayat (1) KUHP tentang perbuatan hukum atas perintah jabatan/atasan sudah seharusnya dipertimbangkan keberlakuannya. Ada dua alasan dalam hal ini: pertama, soal HAM. Apa yang dialami Bharada E sangatlah bertentangan dengan HAM; ia dikorbankan untuk melindungi atasannya.
Kedua, soal hati nurani. Demi loyalitas buta terhadap perintah atasan maka akan membutakan hati nurani dari bawahan; sebagaimana yang dialami Bharada E. Dua pertimbangan inilah yang sudah seharusnya menjadi pertimbangan hukum nasional kita. Ketentuan Pasal 51 ayat (1) KUHP sudah usang dan bertentangan dengan HAM dan hati nurani.
Hal lain yang hendak saya katakan adalah kode etik terkait atasan dan bawahan dalam tubuh Polri perlu dikuatkan dalam bentuk UU. Terutama dalam hal perintah atasan/jabatan yang harus bersesuaian dengan prinsip-prinsip HAM dan hati nurani. Terkait hubungan atasan dengan bawahan sebenarnya tercantum dalam Keputusan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Lihatlah ketentuan Pasal 7 ayat (3) huruf c: menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama dan norma kesusilaan; Ketentuan pengaturan ini seharusnya dinaikan levelnya ke dalam UU Polri, sehingga di dalam UU Polri dapat diatur mengenai sanksi pidana kepada atasan yang memberi perintah; yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel