Oleh Fancy Ballo, Alumnus STFK Ledalero
Manusia dan sejarah adalah suatu pertalian yang sangat erat. Terdapat suatu rentetan relasi yang panjang dan brangkali tak terputuskan antara keduanya. Manusia menciptakan sejarah, demikian pula sejarah kembali mengkonstruksi manusia, dan terus dibarui dari waktu ke waktu menuju kesempurnaan. Inilah yang oleh Gadamer gambarkan bahwa “eksistensi manusia terkondisi oleh sejarah” (pengalaman). Atau sebagaimana Paul Ricouer, dalam tulisan Felix Baghi namakan “semantic innovation” sebagai motivasi dasar mencari sebuah “makna baru” tentang eksistensi manusia dalam konfigurasinya dengan “makna lama” yang diwariskan dari masa lampau (Felix Baghi, “Hermeneutika Diri: Sebuah Jalan Yang Panjang”. Banera.id. 27/03/2021).
Siapa pernah menyangkal bahwa ada suatu idelogi yang lahir murni dari rasio manusia tanpa ada proses sedimentasi terhadap realitas real kehidupan manusia. Kita andaikan saja, kelahiran demokrasi adalah penolakan terhadap paham totaliter. Kelahiran paham liberal adalah sebagai tanggapan atas kekuasaan kapitaslis, dll. Singkatnya bahwa realitas kehidupan manusia pada masa lalu atau saat ini selalu menjadi referensi untuk bagaimana dia memproyeksi masa depannya. Hal baik dikembangkan menjadi lebih baik, juga hal buruk dan membawa penderitaan bagi manusia diperbaiki atau diubah pada pencapaian sebuah bonum. Itulah kodrat eksistensi manusia sebagai makhluk dinamis yang selalu bergerak ke arah penyempurnaan.
Namun, bila bertolak dari dasar ontologis bahwa manunsia pada dasarnya adalah baik, mengendaki segala yang baik bagi hidupnya. Bagaimana bisa manusia menjadi penjahat bagi sesamanya dan bahkan menjadi musuh atas dirinya sendiri? Tidak cukupkah pengalaman, atau sejarah menjadi medan belajar bagi manusia untuk mengkonstruksi hidup hari ini dan masa depan ke arah yang lebih baik? Sejarah melukiskan kisah kejam Hilter dalam peristiwa Holocaust, yaitu penyiksaan dan pembantaian terhadap jutaan orang Yahudi. Juga berbagai kisa yang tidak manusiawi lainnya sepanjang sejarah. Termasuk peristiwa 1965 di Indonesia, yaitu pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis. Alih-alih belajar dari sejarah malah kejahatan masih terus mengakar hingga saat ini. Perang, penjajahan, dan penindasan masih terus terjadi baik dari tingkat lokal maupun sampai ke kancah internasional.
Atas peristiwa-peristiwa keji yang menyebabkan penderitaan dan bahkan kematian manusia. Saat itu juga tentu mengundang rasa empati yang mendalam dan bahkan tak sedikit yang mengutuk para pelaku kejahatan. Tetapi, apakah peristiwa itu lalu menjadi pelajaran bagi semua orang untuk kemudian tidak boleh betindak jahat yang kemudian menyebabkan kerugian atau bahkan kematian bagi sesamanya? Tentu saja tidak. Bagaimana bisa manusia begitu mudah berubah dan tidak pernah jera dari pengalaman kelam masa lalu? Mudah berpaling. Semenit yang lalu dia menghidangkan kopi bagi tetangganya dan kini dia memberinya racun.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel