Popper dan Salah Asuh Demokrasi

Oleh: Aloysius Mischelle Seling★

infopertama.com – Dalam suatu kehidupan rumah tangga tentunya memerlukan suatu sistem agar kehidupan berumah tangga dapat berjalan secara harmonis. Pun, dalam suatu negara suatu sistem sangat diperlukan agar mampu mengatur kehidupan masyarakat, ekonomi, stabilitas politik dan sebagainya.

Secara umum sistem adalah suatu kumpulan objek atau unsur-unsur atau bagian-bagian yang memiliki arti berbeda-beda yang saling memiliki hubungan, saling bekerja sama dan saling memengaruhi satu sama lain. Serta, memiliki rencana dalam mencapai suatu tujuan dalam lingkungan yang kompelks (Mustafa Wakit, 2018).

Begitupun Indonesia, dalam menjalankan kehidupan bernegara memerlukan suatu sistem. Negara Indonesia mengambil demokrasi sebagai bentuk negara. Demokrasi itu sendiri bercirikan pemerintahan yang merakyat atau disebut sebagai pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Tentunya, model kepemimpinan yang ditunjukkan juga bercirikan pemimpin yang merakyat. Plato sebagai pencetus awal konsep negara demokrasi ini, melihat demokrasi sebagai sistem yang menganut kebebasan. Plato mengungkapkan bahwa bila warga negara memuja kebebasan, maka warga negara tidak akan mendapatkan pendidikan tentang virtue, tidak ada harmoni dan tidak ada kesejahteraan. Pemimpin ideal untuk bentuk negara ini ialah rakyat.

Dalam menjalankan sistem demokrasi di Indonesia praktisnya selama ini sistem demokrasi lebih condong ke oligarki. Dari oligarki melahirkan transaksi, transaksi melahirkan oligariki, politik oligariki merupakan sistem politik yang membuat pengambilan keputusan-keputusan penting dikuasai oleh sekelompok elit penguasa partai politik. Kehadiran kelompok oligarkis menjadi suatu ancaman yang sangat besar dalam perpolitikan Indonesia. Bentuk negara yang demokrasi tidak lagi mencapai dan mencerminkan kebaikan bersama atau bonum commune, melainkan menunjukkan kepentingan kelompok tertentu.

Dalam tulisan ini penulis akan menggunakan pemikiran Karl Raymund Popper dalam melihat praktik perpolitikan yang tengah dijalankan di Indonesia. Lebih khusus lagi pandangan Popper yang termuat dalam bukunya The Open Society and Its Enemies.

The Open Society and Its Enemys

The Open Society and Its Enemys merupakan salah satu karyanya yang terkenal yang diterbitkan pada tahun 1945. The Open Society, merupakan sebuah gagasan yang muncul pasca Perang Dunia II, mencoba mengampanyekan kebebasan dan kesetaraan individu serta menentang keras berbagai bentuk operasi yang sebelumnya langgeng di hampir seluruh belahan dunia (Maydi Aula Riski, 2021). Dalam bukunya ini merupakan kritikan atas totalitarianisme yang seringkali menutup akses bagi orang lain dalam memberikan suatu aspirasi kepada pemimpin suatu wilayah.

Dalam masyarakat terbuka, pendekatan Popper terutama bukan resep untuk memperjuangkan kebaikan terbanyak. Popper menyebutnya sebagai rekayasa sedikit-sedikit, tujuannya ialah memerangi kedurjanaan untuk sedapat mungkin mengurangi kesengsaraan (Karlina Supelli, 2011). Dengan adanya kebaikan terbanyak ini hal utama yang dilakukan ialah mencari sumber masalah yang sedang terjadi dalam negara, setelah masalah-masalah tersebut mulai tersingkapi hal kedua yang dilakukan ialah dengan mencari solusi atau jalan keluar.

Konsep Masyarakat Terbuka Pooper dan Relevansinya dalam Perpolitikan Indonesia

Aloysius Mischelle Seling★

Kehadiran para oligark menjadi sebuah ancaman yang besar bagi demokrasi di Indonesia. Hal tersebut tidak bisa disangkal melihat nilai-nilai dalam demokrasi kian memudar seiring dengan menguatnya para oligark. Meskipun Indonesia tetap memakai demokrasi sebagai bentuk negara, namun dalam praktiknya selama ini kepentingan pribadi jauh di atas kepentingan bersama seolah-olah terdapat suatu piramida dalam praktik politik Indonesia.

Dalam bukunya The Open Society and Its Enemys, Popper menjelaskan terdapat dua hukum yang saling berhubungan yakni hukum alam dan normatif. Hukum alam menggambarkan keteraturan yang ketat dan tidak berubah-ubah, yang pada kenyataannya berlaku di alam (dalam hal ini, hukum adalah pernyataan yang benar) atau tidak berlaku (dalam hal ini hukum salah) (Karl Popper, 2013).

Dalam hukum normatif, baik berupa undang-undang atau perintah moral dan dapat diubah. Hal ini mungkin digambarkan sebagai baik atau buruk, dapat diterima atau tidak dapat diterima; namun hanya dalam pengertian metaforis saja hal tersebut dapat disebut ‘benar’ atau ‘salah’, karena hal tersebut tidak menggambarkan sebuah fakta, namun memberikan arah bagi perilaku kita.

Penyetujuan demokrasi sebagai bentuk negara Indonesia bukanlah tanpa alasan yakni demi mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Namun, dalam penerapannya selama ini kepentingan bersama atau bonum commune kini lebih menjadi kepentingan individu-individu yang memilki kekuatan ekonomi yang sangat mapan. Demokrasi kini menjadi tidak relevan lagi bagi para oligark. Kepentingan pribadi atau kelompok tertentu menjadi salah satu hal yang sangat penting tidak lain ialah untuk menimbun kekayaan. Kehadiran para oligark menjadi suatu jembatan bagi para calon yang kurang mampu dalam finansial akibat biaya politik yang tinggi.

Gagasan Karl Popper dalam konsepnya manusia terbuka menjadi relevan dalam membaca sekaligus mengatasi permasalahan ini. Gagasannya ini sangat menjunjung tinggi hak dan kebebasan individu yang berkaitan erat dengan demokrasi. Sekarang ini demokrasi menjadi salah satu hal yang sangat urgen sehingga ia telah masuk dalam ranah pendidikan dalam bentuk pendidikan yang multikultural. Pendidikan yang multikultural ini digunakan atau dimanfaatkan sebagai landasan terhadap penghargaan terhadap kebebasan individu, mengutamakan kepentingan bersama atau bonum commune dan menekan perilaku penguasaan oleh kelompok-kelompok elit politik atau oligark.

(Menempuh Pendidikan di IFTK Ledalero (Semester 5) dan menjalani formasi calon imam di Seminari Tinggi Interdiosesan St. Petrus Ritapiret, Maumere, NTT)

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel 

 

error: Sorry Bro, Anda Terekam CCTV