Permintaan maaf Jokowi di akhir kekuasaannya tak lebih dari cerminan kualitas budaya kita, tak punya daya ubah kultural.
Oleh Andang Subaharianto★
infopertama.com – Zikir Kebangsaan di halaman Istana Merdeka, 1 Agustus 2024, antara lain diisi permintaan maaf Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas kekurangannya dalam memimpin Indonesia. Jokowi menyadari, sebagai manusia biasa, tidak mungkin mampu menyenangkan semua pihak.
Berbagai komentar bermunculan di berbagai media komunikasi. Ada yang memuji, ada yang mencela. Saya mencoba membacanya dari sudut kebudayaan.
Permintaan maaf Jokowi yang dilakukan menjelang akhir jabatan (karena merasa tidak bisa memenuhi harapan semua pihak) itu biasa dalam budaya kita. Tak ada yang aneh. Tak perlu dipuji, pun tak perlu dicela.
Pada umumnya pejabat di Indonesia akan meminta maaf di akhir masa jabatannya, baik pejabat politik maupun pejabat administratif/birokrasi. Dengan kebesaran hati, biasanya masyarakat pun akan menerima permintaan maaf tersebut. Begitulah budaya kita.
Permintaan maaf model ini tak menyebutkan bagian mana saja yang ”disadari” tak menyenangkan sebagian masyarakat. Dalam konteks Jokowi, misalnya, apakah tindakannya mendukung putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto?
Tindakan tersebut mengundang kecaman banyak kalangan. Juga melukai kawan-kawan dekat Jokowi yang mengusung dan membelanya sejak menjadi Wali Kota Solo, Gubernur DKI, dan presiden dua periode.
Ataukah, tindakannya merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan membuat UU Cipta Kerja, yang juga ditentang banyak kalangan? Atau, proyek mercusuar Ibu Kota Nusantara (IKN), yang terkesan hendak meniru tokoh mitologis Bandung Bondowoso yang membangun Candi Prambanan (1.000 candi) dalam satu malam?
Hal yang tidak (belum) menjadi budaya kita adalah permintaan maaf (saat masih menjabat) atas tindakan/keputusan yang dianggap keliru, lalu mengambil tanggung jawab atas kekeliruan tersebut. Tanggung jawab itu, misalnya, mengundurkan diri dari jabatannya, atau mengubah tindakan/keputusan yang dianggap keliru.
Permintaan maaf jenis ini akan diikuti perubahan realitas, punya daya ubah (gugah) kultural.
Mentalitas
Keengganan mengambil tanggung jawab atas tindakan/keputusan pernah dikritik keras oleh Mochtar Lubis pada pidato di Taman Ismail Marzuki pada 1977. Pidato itu dibukukan oleh Yayasan Obor Indonesia dengan judul Manusia Indonesia.
Mochtar Lubis mengkritik mentalitas manusia Indonesia. Sastrawan yang juga jurnalis itu menjelaskan enam sifat manusia Indonesia yang umumnya negatif.
Keenam sifat tersebut adalah: hipokrit atau munafik, enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya, bersifat dan berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik, dan bermental (karakter) lemah.
Jauh sebelum kritik Mochtar Lubis, pada 1956 Bung Karno juga pernah mengingatkan soal mentalitas. Melalui pidato pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1956, Bung Karno menyatakan bahwa kolonialisme-imperialisme telah membentuk mentalitas pecundang.
Bung Karno lalu menyerukan revolusi mental. Tanpa kekayaan mental, menurut Bung Karno, pembangunan ekonomi tak akan mendatangkan kesejahteraan bersama.
Kala itu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) belum merajalela. Kesenjangan sosial ekonomi dan keadilan sosial juga belum menjadi isu utama publik. Bangsa Indonesia hanya dihadapkan pada perbedaan kepentingan dan pertikaian politik secara tajam antarkelompok.
Revolusi mental Jokowi yang semula mengundang tepuk tangan publik mengalami titik balik menjelang akhir jabatan periode keduanya.
Peringatan Bung Karno dan kritik Mochtar Lubis itu rupanya tak menjadi perhatian rezim pemerintah. Ketika pada 1982 Mochtar Lubis diminta merefleksikan kembali kritiknya, dengan tegas ia mengatakan, tidak ada perubahan, bahkan makin parah (ST Sularto, Kompas, 21/7/2008).
Isu mentalitas mendapat perhatian kembali pada pemerintahan Jokowi periode pertama. Ia menugasi Bappenas dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) selaku ”leading sector” yang menerjemahkan dan memandu program-progam revolusi mental. Jokowi juga melengkapinya dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental.
Menurut Jokowi, revolusi mental harus dimulai dari mengenal karakter orisinal. Bangsa Indonesia, menurut Jokowi, berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan suka bergotong royong.
Karakter tersebut diyakini sebagai modal yang seharusnya membuat rakyat sejahtera. Namun, kenyataannya malah KKN tumbuh subur. Etos kerja tidak baik, birokrasi bobrok. Menurut Jokowi, kondisi semacam itu dibiarkan selama bertahun-tahun sehingga menjadi semacam ”budaya” (Kompas.com, 17/10/2014).
Banyak kalangan menaruh hormat terhadap retorika revolusi mental Jokowi dan tampilannya saat itu. Seorang warga negara biasa, bukan turunan pembesar, tetapi memperoleh kepercayaan politik tertinggi sebagai presiden. Kesuksesan Jokowi pada periode pertama mengantarkan kemenangannya pada Pilpres 2019.
Titik balik
Revolusi mental Jokowi yang semula mengundang tepuk tangan publik mengalami titik balik menjelang akhir jabatan periode keduanya. Nilai-nilai esensial revolusi mental yang dibangunnya sejak tahun awal menjabat dinodainya sendiri.
Secara formal, titik balik terjadi sejak Jokowi merestui putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden berpasangan dengan calon presiden Prabowo Subianto. Padahal, pintu yang dilalui Gibran mencederai tatanan hukum. Juga bermasalah dari sisi etika, yang berakibat pada pencopotan Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Jokowi sebenarnya masih memiliki kesempatan agar revolusi mentalnya tidak mengalami titik balik, yakni tidak mengizinkan Gibran melanjutkan proses pendaftaran calon meski terbuka jalan buat sang putra. Namun, jalan itu diabaikan, Jokowi tak mengambilnya.
Banyak kalangan mengecamnya, menganggap revolusi mental Jokowi omong kosong, hoaks. Kepemimpinan politiknya tak lagi memesona, sebaliknya malah membahayakan demokrasi.
Andaikata Mochtar Lubis masih hidup dan ditanya perihal manusia Indonesia, jawabannya tentu tak akan beda dengan jawaban pada 1982. Sifat hipokrit, feodal, dan keengganan bertanggung jawab atas perbuatannya masih sangat kuat. Karena itulah, KKN merajalela.
Bukan kebetulan apabila tiga lembaga negara (MK, KPK, Komisi Pemilihan Umum/KPU) ”roboh” hampir bersamaan akibat ulah pejabat puncaknya. Anwar Usman dicopot dari jabatan ketua MK. Firli Bahuri diberhentikan dari jabatan Ketua KPK. Hasyim Asy’ari dipecat sebagai Ketua KPU.
Ketiga pejabat itu dinilai melakukan pelanggaran etik berat. Seperti kritik Mochtar Lubis, terkesan ”enggan bertanggung jawab atas perbuatannya”. Tak ada permintaan maaf karena telah mengecewakan rakyat Indonesia. Sebaliknya, malah berusaha membela diri.
Kasus pembunuhan ”Vina dan Eky Cirebon” belum selesai hingga kini, tetapi tak ada pihak yang bertanggung jawab, lalu meminta maaf dan bergegas menyelesaikannya. Geger ”profesor palsu” tak ada pula pejabat yang meminta maaf dan mengambil tanggung jawab.
Dalam hal ini, Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono perlu diapresiasi. Ketika dihadapkan pada isu Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang menjadi tanggung jawabnya selaku Ketua Komite Pengawasan Tapera, ia tidak mengelak. Di tengah arogansi pejabat lain merespons tuntutan publik terkait Tapera, Basuki justru menanggapinya dengan rendah hati, merasa menyesal, lalu menangguhkannya.
Permintaan maaf Jokowi di akhir kekuasaannya tak lebih dari cerminan kualitas budaya kita, yang semula hendak direvolusi oleh Jokowi. Permintaan maaf jenis ini berhenti di bibir saja, sekadar pemerah bibir. Orang Jawa bilang ”abang-abang lambe”, diucapkan hanya sebagai pemanis belaka tanpa kewajiban pembuktian.
Permintaan maaf sekadar pemerah bibir tak memiliki daya ubah kultural. Yang dibutuhkan bangsa Indonesia adalah permintaan maaf pemimpin yang mengubah realitas sosial, yang berdampak pula pada perubahan budaya.
★Andang Subaharianto, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember
Tulisan ini telah terbit di Kompas.id
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel