Oleh: Sobe Milikior*
Natal: Sebuah Gugatan Hidup Manusia
Mesti ka manusia harus kembali pada hakikatnya harus bebas dari bentuk penderitaan apapun? Kembali kepada refleksi tinggi atas kehidupan (Theodice: kajian filosofis teologis penderitaan) yang pernah ditulis oleh Dr. Paul Budi Kleden, Imam Serikat Sabda Allah.
Seyogianya, menyadarkan manusia sebagai realitas ada dalam gugatan tentang dirinya bersama di dunia (Sobe, 2021:78).
Kesadaran ‘kembali ke dusun’ merupakan gugatan makna dunia yang tidak bisa lagi menjadi tempat bagi kelahiran nilai-nilai positif kehidupan.
Manusia justeru merindukan nilai-nilai hidup yang merupakan esensi dasar dalam dan bagi perkembangan dunia pada abad ke-21 ini.
Oleh karenanya, pilihan di dusun menjadi tempat lahirnya nilai kehidupan yang lebih baik.
Kesadaran akan nilai kepedulian terkadang datang terlambat. Sang nilai pun pergi tanpa meninggalkan bekas pada rumah hati manusia. Sang bayi Yesus lahir di kandang.
Bukankah rumah sakit pada zaman sekarang sudah mewah dan rumah kita ada sedikit tempat untuk tamu-tamu kita yang ingin menumpang sebentar saja?
Hans Georg Gadamer, pemikir hermeneutika Jerman mengangkat kembali kritik atas nilai-nilai kehidupan yang pernah ditawarkan oleh Imanuel Kant (Gadamer:1960: 90).
Beliau mau menggarisbawahi kehidupan manusia yang merupakan pelaku nilai-nilai luhur kehidupan. Goresan nilai kehidupan itu mesti hidupkan kembali pada dunia milineal yang kini merindu makna dan mau menemukan identitas karakter diri sejati.
Otokritik Theodice
Theodice sebagai sebuah teologi, membawa manusia khususnya umat beriman Katolik pada pemahaman tentang Yesus yang menderita.
Hal ini (Theodice) jadi satu gugatan penuh makna bagi manusia. Kalau Bayi Yesus datang (baca: lahir), secara eksistensial manusia ke mana dan bagaimana?
Setiap tahun, tepatnya tanggal 25 Desember umat Kristen seluruh dunia merayakan Natal. Merayakan Natal tiap tahun bukan pertama-tama untuk memenuhi kewajiban liturgi belaka, tetapi lebih dari itu karena ada sesuatu yang ingin ditimba atau diperoleh darinya karena sesungguhnya makna terdalam Natal senantiasa relevan dengan situasi hidup manusia kini.
Karena itu, merayakan Natal bukan semata-mata sebagai perayaan kenangan (akan kelahiran Kristus) yang dilaksanakan setiap tahun, tetapi juga karena Natal memberikan harapan dan kekuatan baru bagi umat yang merayakannya.
Apa makna Natal bagi kehidupan manusia sekarang ini?
Secara sepintas Natal memberi kesan ketakberdayaan, kesengsaraan, kemiskinan, dan ketidakberuntungan.
Dikisahkan bahwa Kristus lahir pada situasi yang sangat sulit. Tuntutan untuk melakukan cacah jiwa di tempat yang jauh menjadi suatu kesulitan sekaligus beban bagi Maria yang sementara mengandung. Mereka mesti menempuh perjalanan jauh dan melelahkan.
Apa yang mau ditampilkan dibalik semua situasi ketakberdayaan tersebut? Natal secara sepintas memang demikian. Tetapi, sebenarnya ada makna yang lebih mandalam untuk kehidupan manusia dewasa ini. Manusia yang senantiasa jatuh dalam fatamorgana kehidupan.
Fatamorgana Kehidupan
Istilah fatamorgana kita temukan dalam ilmu fisika. Fatamorgana merupakan sebuah term yang menunjukkan gejala optis yang terjadi pada permukaan yang panas, sehingga pada permukaan tersebut tampak seolah-olah ada air.
Para peziarah padang gurun adalah orang yang paling banyak ditipu oleh gejala optis ini karena melihat begitu banyaknya genangan air pada permukaan padang pasir yang panas.
Dalam keadaan haus karena panas teriknya matahari di padang, mereka begitu mudah percaya bahwa apa yang mereka lihat adalah sebuah oase; sebuah sumber air yang menjanjikan kelegaan dan kehidupan. Mereka lalu bergegas ke sana dan berusaha mendapatkannya.
Pertama, pandangan manusia tentang alam berkaitan dengan kerusakan ekologi. Maka Gereja Katolik mengajak agar umat beriman mencintai alam kehidupan sebagai Locus/tempat yang indah bagi manusia serta melestarikan alam secara bijaksana.
Akan tetapi, terkadang manusia berlaku tidak adil dengan alam. Dimana adanya pandangan manusia yang salah dan keliru tentang alam. Alam dipandang hanya sebagai objek yang bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk pemenuhan kebutuhan manusia.
Kedua, pandangan manusia tentang Allah. Bencana alam yang menimbulkan banyak penderitaan, orang akan mempertanyakan konsep keadilan dan kebaikan Allah.
Pengalaman dan realitas dunia dalam derita dan bencana sering kita alami. Akibatnya banyak orang yang mengalami keguncangan imannya dan cenderung berpikir bahwa bencana alam yang terjadi merupakan siksaan atau hukuman dari Tuhan atas dosa dan pelanggaran yang dilakukannya.
Semuanya itu menjadi satu gugatan bagi umat beriman tentang kehidupan. Hal ini menjadi satu spasi yang perlu refleksi secara dalam agar keaslian (asal mula) dunia dan segala isinya hanya datang dan berakhir pada Dia, Sang Pencipta
Yesus Lahir: dari Theodice ke Deus Humanissimus
Pada titik ini, orang justru mempertanyakan Allah sebagai maha Pengasih dan Penyayang. Bagaimana mungkin Allah yang Maha baik dan Maha kasih itu rela menghukum umatnya dengan membiarkan pelbagai bencana datang menghancurkan manusia?
Manusia mulai ragukan konsep tentang Allah sebagai Allah yang Mahabaik, penuh cinta, dan rela mengampuni.
Bagi mereka, Allah adalah penghukum dan membalas dendam. Ia memberikan hukuman dan pelajaran bagi manusia yang telah dalam banyak hal melakukan pelanggaran dan dosa.
Di hadapan aneka bencana alam yang menimbulkan penderitaan dalam kehidupan manusia, orang bahkan tidak tanggung-tanggung mendeklarasikan kematian Allah. Allah telah mati (Jerman: Goot ist Toot dalam filsafat Nietzsche).
Ada dua hal yang perlu digarisbawahi.
Pertama, peristiwa kelahiran Kristus ke dunia merupakan sebuah bentuk solidaritas Allah terhadap situasi ketakberdayaan manusia.
Allah yang secara nyata hadir dalam diri Yesus Kristus ingin menyentuh dalam situasi hidup manusia yang penuh dengan dosa, ketidakberdayaan, dan kesengsaraan.
Allah yang kita imani adalah Deus Humanissimus; Allah yang sungguh manusiawi. Ia hadir ke tengah dunia dan merasakan kondisi manusiawi kita. Dia datang, hidup, berada dan menderita bersama manusia. Namun, ia tidak hanya hadir dan berada bersama manusia.
Manusia bertanggung jawab untuk meneruskan solidaritas Allah itu pada semua ciptaannya, baik manusia maupun alam sekitarnya. Merayakan Natal berarti kembali mengimani kemahakuasaan dan kebaikan Allah terhadap manusia.
Kedua, kehadiran Kristus juga mau menunjukkan kepada manusia bahwa Dia adalah jalan dan terang yang sesungguhnya.
Cahaya Natal
Kristus Hadir ke dunia dan menyatakan kepada dunia bahwa Dia adalah jalan satu-satunya yang mesti diikuti. Jalan melalui Yesus Kristus merupakan jalan yang menawarkan dan menjanjikan kebahagiaan sempurna dan sejati kepada manusia, karena melalui-Nya orang bisa bertemu dengan Allah, sumber Kebahagiaan sejati.
Merayakan Natal berarti kesediaan untuk kembali ke arah yang benar yang selalu jadi tawaran Allah sendiri. Di tengah situasi umat manusia yang terus berbalik dan berbelok arah dari jalan yang sesungguhnya, Perayaan Natal memperingatkan kita untuk segera kembali kepada jalan yang benar.
*Aktif menulis Artikel pada Media Online dan Cetak, Penulis Buku Menggugat Eksistensi Manusia, Menulis Bersama dan Beberapa Buku lainnya.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel