Pengantar
Imperialisme adalah satu kata yang termasuk paling banyak dipakai dalam khasanah kosa kata politik kiri modern. Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir seluruh aspek perjuangan gerakan kiri sekarang ini didominasi oleh perlawanan terhadap imperialisme, atau aspek-aspek yang didorong maju oleh keberadaan imperialisme. Namun demikian, jarang kita temui pembahasan yang menyeluruh terhadap imperialisme dalam khasanah teori gerakan kiri Indonesia. Orang menggunakan kata “imperialisme” namun tidak ada pemahaman bersama, atau setidaknya perdebatan yang seksama, terhadap makna kata tersebut.
Tulisan ini adalah satu upaya untuk menyusun sebuah pemahaman bersama terhadap hakikat dan bentuk-bentuk imperialisme di masa kini. Untuk itu, menurut hemat penulis, kita perlu merujuk terlebih dahulu pada pemahaman tentang imperialisme di masa lalu. Dengan titik berangkat ini, kita dapat mulai mengkritisi teori dan praktek kita sendiri pada masa sekarang _ sekaligus membuat modifikasi-modifikasi ilmiah terhadap teori-praktek yang pernah ada di masa lalu.
Tulisan ini merujuk pada tulisan (Vladimir Ulyanov) Lenin, Imperialism: the Highest Stage of Capitalism. Beberapa tulisan Lenin yang lain, yang Ia gunakan untuk berpolemik dengan rekan-rekan sejawatnya telah pula gunakan sebagai bahan perbandingan.
Imperialisme sebagai sebuah sistem ekonomi-politik
Pemahaman ini, menurut Lenin, adalah pemahaman dasar bagi sebuah upaya untuk memahami imperialisme secara keseluruhan. Imperialisme merupakan sebuah sistem ekonomi-politik, artinya ia adalah sebuah proses ekonomi yang memiliki perwujudan dalam keputusan-keputusan politik. Ekonomi imperialis dan politik imperialis adalah dua hal yang berbeda dan seringkali saling bertentangan. Namun politik imperialis selalu merupakan perwujudan dari proses ekonomi imperialis itu sendiri. Hukum dialektika, kesalingrasukan dari hal-hal yang bertentangan (interpenetration of the opposites), mendiktekan bahwa kedua hal ini tidaklah terpisahkan.
Persoalan ini nampak nyata dalam perdebatannya melawan Karl Kautsky, pemimpin utama dari kaum sosial-demokrasi Jerman pada masa itu mengenai hakikat dari Perang Dunia I. Menurut Lenin, kesalahan utama Kautsky dalam memandang imperialisme terletak pada pendapatnya yang “menolak menganggap imperialisme sebagai sebuah “tahapan kapitalisme” dan merumuskannya sebagai sebuah kebijakan yang ‘lebih disukai’ oleh pemodal keuangan, sebuah kecenderungan dari negeri-negeri “industri” untuk menjajah negeri-negeri ‘agraris’.”
Jadi, menurut Lenin, pemisahan politik imperialis dari ekonomi imperialis akan membawa kita ke dalam oportunisme. Dan bentuk yang paling banyak oportunisme kiri ini ambil adalah chauvinisme-sosial, yakni pembelaan membabi-buta atas kapital domestik yang sedang bertempur dengan kapital internasional. Kita akan kembali pada tema ini di bagian belakang. Dengan demikian, untuk dapat memahami politik imperialis, kita harus terlebih dahulu memahami proses ekonomi imperialis. Kita akan mencoba melakukan hal tersebut dalam bagian berikut ini.
Ciri-Ciri Pokok Imperialisme
Peleburan dan Kombinasi Kapital
Menurut Lenin, ciri pertama dan terpenting dari Imperialisme adalah “konsentrasi kekuatan produktif”. Bukan hanya pemusatan kekuatan produktif dalam satu cabang produksi, yakni perbesaran kapital yang dicurahkan dalam satu perusahaan atau pabrik, melainkan penggabungan beberapa cabang produksi yang dibutuhkan dalam pembuatan satu produk. Di zaman modern ini, bentuk yang pertama disebut lebih dikenal sebagai “monopoli”, “kartel” atau “sindikasi”. Sedang bentuk yang kedua adalah “konglomerasi”.
Jadi, menurut Lenin, justru konglomerasi inilah yang menjadi ciri mematangnya imperialisme. Prediksi bahwa “persaingan bebas” dalam kapitalisme mengandung kontradiksi di dalam dirinya sendiri, dan justru akan membawa kita pada monopoli, jauh-jauh hari telah dilancarkan oleh Karl Marx dalam dokumennya yang paling terkenal yakni Manifesto Komunis. Lenin melangkah lebih jauh setelah memperhatikan fakta-fakta yang dikumpulkan oleh para ekonom borjuis sejamannya. Lenin dengan jitu memperhatikan bahwa tahapan monopoli hanyalah awal dari imperialisme. Imperialisme akan mematang jika kapital yang menguasai beberapa cabang produksi yang berhubungan kemudian menyatukan diri. Penguasaan kekuatan produksi dari hulu ke hilir inilah yang akan merupakan ciri utama imperialisme.
Mengutip Hilferding, seorang ekonom borjuis terkemuka saat itu, Lenin menyebutkan empat keuntungan yang diperoleh oleh sebuah konglomerasi dibandingkan sebuah monopoli “murni”.
Menjamin adanya kestabilan profit;
Meniadakan keharusan untuk saling berdagang antara berbagai cabang produksi;
Memungkinkan terciptakannya teknologi-teknologi baru;
Memperkuat posisi saing mereka terhadap monopoli “murni”.
Menurut hemat kami, keuntungan no. 2-lah yang merupakan kunci dari keempat keuntungan ini.
Hilangkannya keharusan berdagang antar cabang produksi menyebabkan biaya bahan baku setengah jadi dapat dipangkas besar-besaran.
Lihat sepintas saja kita dapat memahami bahwa, sekalipun total profit yang dapat diraih melalui proses pertama dan kedua sama saja, proses yang kedua akan menghasilkan konsentrasi profit yang jauh lebih besar. Konsentrasi profit inilah yang memungkinkan penguatan terhadap posisi saing dan peningkatan teknologi. Kedua hal inilah, plus lenyapnya persaingan, yang kemudian akan memberikan kestabilan datangnya super-profit.
Pada masa sekarang, persaingan yang terjadi adalah persaingan antar konglomerasi ini. Dapat kita bandingkan misalnya apa yang terjadi dalam industri mobil. Toyota, misalnya, adalah sebuah perusahaan yang menguasai seluruh jalur produksi mulai dari pengolahan logam sampai pemasaran mobil. Porsche juga demikian halnya, bahkan Porsche juga menguasai sebuah industri rumah disain. General Motors menguasai pula pangsa dalam soal permesinan.
Begitu pula yang terjadi pada industri-industri lainnya. BASF, misalnya, sekalipun lebih terkenal sebagai pabrik kaset, sesungguhnya adalah sebuah konglomerasi bahan kimia _ yang menguasai pasar mulai dari jasa laboratorium sampai penjualan pupuk. Matsushita, sebuah pabrik elektronik, juga menguasai pangsa industri penyediaan tenaga listrik. IBM, sebuah perusahaan komputer, juga memiliki sebuah industri penyediaan dan pengolahan data yang handal. Hal yang serupa dapat disebutkan mengenai berbagai perusahaan lain di seluruh dunia.
Di samping itu, sudah bukan rahasia umum lagi bahwa perusahaan-perusahaan terbesar di dunia pada saat ini telah melakukan penggabungan-penggabungan, baik dalam bentuk merger ataupun akuisisi. AOL-Time-Warner, misalnya, merupakan penggabungan tiga konglomerasi industri media. Sony-Ericsson, yang lainnya, adalah penggabungan dua konglomerasi raksasa elektronik. Daimler-Chrysler, yang lainnya lagi, adalah penggabungan dua raksasa konglomerasi industri transportasi. Kapital semakin lama semakin terkonsentrasi.
Jadi, di masa ini kita telah melihat bahwa imperialisme telah mencapai tahap kematangannya. Bahkan, ia telah melangkah satu langkah lagi lebih maju daripada apa yang Lenin temui semasa hidupnya: konglomerasi ini telah mendunia. Baik Marx maupun Lenin telah meramalkan bahwa hal ini akan terjadi. Namun kitalah yang berkesempatan melihat ramalan mereka menjadi sebuah kenyataan.
Meleburnya Kekuasaan Keuangan, Industri dan Birokrasi Ciri kedua yang diuraikan secara panjang lebar oleh Lenin adalah “oligarki kapital”. Kalau anda lihat teks aslinya, halaman yang dirujuk pada kutipan ini justru berisi bab yang berjudul “Bank dan peranan barunya”. Dengan agak memutar, Lenin menjelaskan bagaimana perubahan peran bank, dari sekedar perantara pertukaran menjadi penentu perputaran modal, merupakan prasyarat bagi terbentuknya oligarki (kekuasaan mutlak) kapital.
Menurut Lenin, berubahnya peranan bank ini dapat terjadi karena bank menjadi pusat terkumpulnya uang. Karena, di bawah kapitalisme, uang merupakan sebuah “komoditi super” (supercommodity), tidaklah terlalu mengherankan jika kemudian para pemegangnya tumbuh menjadi sebuah kekuatan yang menentukan dalam kancah ekonomi-politik. Lenin menjelaskan bahwa pada awalnya bank tabungan dan bank kredit adalah dua hal yang berbeda. Namun, seiring perjalanan waktu, kedua bentuk ini melebur menjadi bank modern yang kita kenal sekarang. Pada bentuknya yang modern inilah bank kemudian berevolusi menjadi penentu perputaran modal. Baik melalui kebijakan persetujuan kredit maupun melalui reinvestasi yang Ia lakukan sendiri.
Kesatuan tindakan dari industri dan birokrasi adalah ciri dari kapitalisme. Sejak awal terbentuknya negara borjuis, birokrasi negara selalu berpihak pada para penguasa industri. Salah satu contoh paling baik dari hal ini adalah Amerika Serikat. Bahwa hampir semua taikun yang kini menguasai perindustrian Amerika Serikat memupuk kekayaannya dari perluasan infrastruktur negara itu, terutama dari proyek pembukaan wilayah Barat (Wild West), termasuk di antaranya pembangunan jalur kereta api dan telekomunikasi. Pada dasarnya, negara borjuis (dan seluruh aparatusnya) memang didirikan untuk melayani kepentingan para penguasa kapital. Namun demikian, ketika kekuatan para penguasa keuangan mulai bangkit, kesatuan tindakan ini mengambil bentuk yang berbeda: kita tidak lagi dapat membedakan mana yang sesungguhnya adalah penguasa keuangan, penguasa industri atau penguasa birokrasi. Ketiganya sudah campur-aduk membentuk satu kelembagaan baru yang oleh Lenin disebut sebagai “oligarki kapital”.
Di masa modern ini, contoh oligarki kapital yang paling menyolok dapat kita temui dalam kasus Enron. Enron, sebuah perusahaan pemasok enerji yang merupakan perusahaan nomor tujuh terbesar di AS. Kejatuhan Enron merupakan pemicu runtuhnya bangunan kartu yang rapuh dari pasar modal AS, yang sampai kini masih terasa gaungnya di pasar modal dunia. Namun, bukan keruntuhan itu sendiri fokus kita kali ini melainkan jalinan yang begitu erat antara Enron dengan birokrasi dan bank. Mari kita telaah data-data di bawah ini:
- Enron telah menyumbang “dana pemilu” sebesar USD 1,7 milyar untuk partai Republik sepanjang sejarahnya. Enron memberi sumbangan pula pada partai Demokrat sebesar USD 700 juta;
- Begitu Bush naik ke tampuk kekuasaan, para eksekutif Enron mengadakan pertemuan sampai enam kali dengan Wakil Presiden Dick Cheney untuk membahas soal kebijakan mengenai enerji;
- Bush adalah pemegang saham di Texas Oil Co. dan Cheney adalah CEO di Halliburton, sebuah perusahaan peralatan pengeboran minyak;
- Kenneth Lay, CEO Enron, menjabat Bendahara/Penggalang Dana dalam panitia kampanye Bush;
- Sebulan setelah duduk di tampuk kepresidenan, Bush Jr. menunjuk Pat Wood, seorang eksekutif Enron, menjadi ketua dari Komisi Pengaturan Enerji Federal;
- Enron didirikan di tahun 1986, dan mulai mengeruk keuntungan di tahun 1987 ketika Presiden Bush Sr. mengesahkan deregulasi enerji di California. Silakan menerka: siapa yang mendapatkan kontrak penyediaan tenaga listrik setelah perusahaan listrik negara diswastanisasi?
- Pendanaan utama Enron datang dari Citigroup, sebuah grup perbankan raksasa yang salah satu komisarisnya adalah Robert Rubin, mantan Menteri Keuangan AS di bawah pemerintahan Clinton;
- Lawrence Lindsey, Penasehat Ekonomi pemerintahan Bush Jr., adalah mantan konsultan Enron;
- Thomas White, Sekretaris Departmen Pertahanan, adalah mantan wakil presiden Enron dan memiliki saham Enron sebesar USD 100 juta;
- Karl Rove, penasehat politik Bush Jr., memiliki saham Enron sebesar USD 100 ribu;
- Bush, Cheney dan Collin Powell (mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata, kini Menteri Luar Negeri) merupakan pelobi utama Enron ketika berhadapan dengan krisis hutang Enron sebesar USD 2,3 milyar pada pemerintah India tahun 2001. Enron selamat tak perlu membayar sesenpun setelah menyatakan diri bangkrut;
- Setelah Bush Jr. menjadi presiden, ia membuat satu paket “stimulus ekonomi” yang mencakup subsidi sebesar USD 254 juta untuk Enron, di antaranya adalah melalui Bank Ekspor-Impor Amerika Serikat.
Dan masih banyak lagi.
Data yang dicantumkan di sini hanyalah yang paling menyolok saja, yang terlihat langsung kasat mata. Tapi, dari data ini saja, kita seharusnya sudah dapat melihat bagaimana hubungan antara industri, keuangan dan birokrasi. Apa yang pada jaman Lenin telah muncul benih-benihnya kini merupakan norma wajar dalam kancah ekonomi-politik dunia.
Sebagai argumen terakhir, layak kiranya kita kutip pernyataan Mayor Jenderal Smedley Butler, dari US Marine Corps:
“Saya membantu membuat Mexico, terutama Tampico, menjadi daerah aman bagi kepentingan perusahaan minyak Amerika di tahun 1914. Lalu,Saya membantu membuat Haiti dan Cuba menjadi satu tempat yang layak bagi anak-anak National City Bank agar mereka dapat meraup keuntungan dari sana. Saya membantu upaya memperkosa [sich] setengah lusin republik di Amerika Tengah demi kepentingan Wall Street. Catatan penyelundupan dan pemerasan saya panjang.
Saya membantu memurnikan Nicaragua bagi kepentingan perusahaan perbankan internasional Brown Brothers di tahun 1909-1912 (di mana saya pernah mendengar nama itu sebelumnya?). Saya membawa obor bernyala ke Republik Dominica bagi kepentingan perusahaan gula Amerika di tahun 1916.
Di China saya membantu memastikan bahwa Standard Oil tidak terganggu ketika menjalankan bisnisnya.
“Di tahun-tahun itu, saya menjadi, seperti yang mungkin dikatakan oleh anak-anak di kamar belakang, seorang gangster elit. Jika saya menegok kembali pada masa-masa itu, saya merasa dapat memberi beberapa saran pada Al Capone. Sebagus-bagusnya dia, dia cuma bisa menjadi gangster di tiga negara bagian. Saya beroperasi di tiga benua.” (Dari sebuah pidato di tahun 1933).
Ekspor Kapital
Sembari menjelaskan bagaimana hubungan antara Negara (aparatus birokrasi, militer dan ideologi) dengan para penguasa keuangan dan industri, kutipan di atas juga menjelaskan pada kita bagaimana ekspor kapital10 merupakan salah satu fitur utama dari imperialisme.
Jauh-jauh hari, Lenin sudah menjelaskan bahwa pertukaran barang secara internasional (ekspor produk) merupakan ciri dari kapitalisme dalam masa pertumbuhannya. Saat kapitalisme baru lahir, ia berkutat untuk memeras keuntungan dari kelas pekerja dalam batas-batas nasional mereka. Namun, ketika ia sudah bertambah matang dan keuntungan mulai bertumpuk di pundi-pundi mereka, mereka harus mulai mengekspor kapital itu.
Dengan kata lain, ia harus mulai menanamkan modal di negeri lain, terutama di negeri-negeri “terbelakang”, yakni yang kapitalismenya belum maju. Menurut Lenin,
“Di negeri-negeri terbelakang ini keuntungan biasanya tinggi. Karena kapital jarang terdapat, harga tanah murah, tingkat upah rendah, harga bahan baku murah. Kemungkinan untuk ekspor kapital tercipta oleh fakta bahwa sejumlah negeri terbelakang telah ditarik ke dalam hubungan kapitalis internasional; jalan kereta api telah atau sedang dibangun di sana, kondisi-kondisi dasar untuk perkembangan industri telah diciptakan, dll.”
Lenin telah melihat bahwa para penguasa kapital internasional ini sama sekali tidak berminat “menyebarkan modernisme” ke negeri-negeri terbelakang. Mereka hanya akan menanamkan modal jika pemerintah nasional di negeri terbelakang itu telah atau sedang menyediakan sarana untuk industri.
Jadi, bagi mereka, pemerintah nasional di negeri terbelakang hanyalah kaki-tangan untuk mempersiapkan panggung bagi drama tragedi yang akan mereka mainkan.
Satu hal lagi yang dilihat oleh Lenin (walaupun tidak secara eksplisit dinyatakannya) adalah bahwa ekspor kapital itu sendiri seringkali terjadi, atau dimungkinkan, oleh adanya penyediaan sarana dan prasarana industri itu sendiri. Dengan kata lain, bidang-bidang ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak justru diserahkan pada penguasa kapital asing agar dapat berkembang. Pemerintahan borjuis nasional tidak memiliki cukup kekuatan ekonomi atau kekuatan politik untuk menahan masuknya kapital asing dalam bidang-bidang perikehidupan umum ini.
Dalam bukunya, Lenin mengutip pernyataan konsul Austro-Hungaria di Sao Paulo yang menyatakan bahwa pembangunan jalur kereta api di Brasil sebagian besar dikerjakan oleh kapital Perancis, Belgia, Inggris dan Jerman. Jika demikian, setidaknya, kapital internasional itu masih memberi sumbangan bagi peningkatan kekuatan produktif nasional, sekalipun peningkatan itu juga berarti peningkatan dalam tingkat penghisapan.
Namun, di jaman modern ini, sebuah pemerintah nasional yang sebenarnya mampu menyediakan sendiri sarana perikehidupan umum itu
kemudian menyerahkan bidang usaha itu pada kapital internasional, semata-mata karena tekanan baik politik maupun suap.
Salah satu contoh yang dapat menggambarkan kasus ini dengan gamblang adalah dengan mengambil pengalaman, lagi-lagi, Enron. Pemerintah India sesungguhnya sanggup menyediakan cukup tenaga listrik untuk rakyatnya. Namun, karena “keharusan” untuk mengadakan deregulasi, mereka kemudian menyerahkan soal perlistrikan ini pada swasta. Untuk “meningkatkan kapasitas pasokan listrik” di propinsi Maharashtra, mereka berencana membangun sebuah pembangkit listrik baru di kota Dhabol.
Di tahun 1997, Enron menanamkan modal sebesar USD 3 milyar, investasi asing terbesar dalam sejarah India. Pembangunan pembangkit listrik ini membutuhkan penggusuran besar-besaran atas penduduk kota itu. Ketika rakyat mengadakan perlawanan dengan melancarkan pawai-pawai damai, Enron membiayai polisi setempat untuk mengadakan represi berat pada mereka yang berlawan. Enron menyediakan pula helikopter mereka untuk dipakai oleh kepolisian dalam rangka membubarkan aksi-aksi massa. Akhirnya, polisi mengadakan penggusuran paksa di mana ibu-ibu hamilpun dipukuli dan rumah-rumah dibakar.
Enron kemudian mengenakan tarif tiga kali lipat dari tarif listrik normal standard pemerintah, dengan alasan bahwa kenaikan itu perlu untuk “investasi bagi teknologi baru yang modern”. Demikianlah Enron menarik keuntungan berlipat ganda dari proyek itu. Dan di akhir tahun 2001, pemerintah India-lah yang justru berhutang USD 2,3 milyar pada Enron. Dengan dalih “menanamkan kapital produktif”, Enron telah merebut panggung untuk pemerasan terhadap rakyat India.
Kuwait juga bernasib sama. Sebelum “deregulasi”, tarif listrik adalah USD ½ sen per kWH. Setelah Enron masuk, tarifnya naik menjadi USD 11 sen per kWH.
Enron memiliki operasi di lebih dari 40 negara di dunia, kebanyakan peroleh dari hasil lobi Bush Jr. baik sebelum maupun sesudah ia menjadi presiden.
Fakta ini, yang menggambarkan keterkaitan yang amat erat antara ciri terdahulu dengan ciri yang kini, sangatlah penting untuk dapat menarik kesimpulan-kesimpulan mengenai politik imperialis. Kita akan kembali pada tema ini nanti.
Namun, yang sekarang penting kita bahas adalah kenyataan bahwa Enron masuk setelah seluruh infrastrukturnya tersedia. Dengan kata lain, ia tidak membangun industri. Ia merampok bangunan industri yang telah tersedia oleh pemerintah nasional demi meraup keuntungan untuk dirinya sendiri. Ia menggunakan uangnya untuk “membeli” infrastaruktur milik publik itu kemudian mengangkanginya. Tentu saja ada sesuatu yang dibangunnya, yakni sebuah pembangkit tenaga listrik, tapi ia tidak mau membangun di daerah yang sama sekali tidak punya infrastruktur melainkan di tempat yang telah ada lengkap infrastrukturnya. Ada kemajuan yang dibawa oleh modus operandi ini, tapi tidak signifikan dibandingkan dengan kemajuan yang dihasilkan oleh kapitalisme ketika masa mudanya yang dengan penuh gairah merambah daerah-daerah baru dan berjuang dari nol mengumpulkan sen demi sen untuk maju.
Oleh: RJ Pangul
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp ChanelÂ
Â