Oleh Fais Yonas Bo’a
Warga Desa Wewo
Indonesia menjadi negara dengan cadangan geotermal terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Sebesar 40% cadangan panas bumi di dunia ada di bumi Indonesia.
Sebagaimana diketahui, panas bumi menjadi sumber energi terbarukan yang diupayakan dapat meminimalisir dampak terhadap lingkungan. Inilah alasan paling logis mengapa geotermal disebut juga dengan energi hijau. Namun demikian, hingga kini masih banyak kalangan yang menentang proyek yang notabene ramah lingkungan dan mendongkrak perekonomian tersebut.

Lihat saja kondisi lapangan dalam proses pengembangan geotermal PLTP Ulumbu yang sedang berlangsung. Wilayah Poco Leok sebagai wilayah yang memiliki cadangan geotermal menjanjikan di sekitar wilayah PLTP Ulumbu memberikan perlawanan serius. Narasi-narasi menakutkanpun dibangun hingga mendogma dipikiran sebagian warga di sana. Ironinya, narasi-narasi “menyebalkan” yang digaungkan tidak kemudian berjalan seiring dengan solusi untuk kemajuan masyarakat.
Harta Karun Kemajuan
Dilansir dari kompas.com pada tahun 2023 potensi sumber energi yang terkandung dalam perut bumi Indonesia mencapai 23.965,5 megawatt (MW). Saat ini, potensi tersebut baru dimanfaatkan sekitar 9,8 persen dengan kapasitas pembangkit listrik terpasang sebesar 2.342,63 MW. Ini artinya cadangan panas bumi yang terkandung dalam perut bumi kita masih sekitar 90% belum dimanfaatkan. Hal ini tentu saja sangat disayangkan di tengah situasi kehidupan ekonomi masyarakat yang semakin tak menentu.
Besarnya cadangan energi panas bumi yang kita miliki sudah semestinya dijadikan harta karun kemajuan bagi negara, bukan malahan dianggap sebagai kutukan. Tidak terlepas dari itu, penting untuk disadari bahwa kebutuhan akan energi terbarukan dewasa ini semakin tinggi. Pola kehidupan zaman yang menuntut kreativitas dan inovasi pada berbagai sektor kehidupan tentu saja berjalan seiring dengan kebutuhan akan energi. Sekarang ini geliat industri rumahan, profesi konten kreator, sekolah, kuliah, pekerjaan; membutuhkan stabilitas energi.
Pengembangan geotermal kemudian diniscayakan menjadi jawaban atas tuntutan stabilitas energi. Dengan demikian, harta karun energi panas bumi Indonesia yang mencapai 23 gigawatt (GW) akan mencukupi kebutuhan energi negara. Untuk wilayah operasi PLTP Ulumbu, diketahui menyimpan cadangan energi yang diproyeksikan memenuhi kebutuhan energi listrik 3 kabupaten yakni Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur. Saat ini PLTP Ulumbu yang beroperasi di Desa Wewo menghasilkan energi listrik 10 MW dengan cadangan 30-40 MW. Sementara di kawasan Poco Leok cadangan energinya bisa sampai 100an MW dan direncanakan menghasilkan 40 MW terlebih dahulu.
Menolak Geotermal itu Hak! Tapi…
Meskipun geotermal itu harta karun kemajuan, tetapi tetap saja kerap melahirkan pro-kontra di tengah masyarakat. Wajar memang! Geotermal dapat dianggap sebagai sesuatu yang baru bagi masyarakat Indonesia. Tidak heran, narasi-narasi apa saja yang dibangun baik itu bersifat positif maupun negatif; cepat sekali ditanggapi masyarakat luas. Kenyataan ini tentu menjadi pekerjaan rumah BUMN khususnya PLN agar lebih masif menyebarkan pengetahuan dasar tentang geotermal.
Akibat narasi-narasi yang sengaja diinternalisasikan ke pikiran masyarakat terkait dampak buruk pembangunan geotermal maka kemudian lahirlah gejolak yang berujung pada penolakan geotermal. Misalkan saja di kawasan Poco Leok. Narasi-narasi yang terbangun di sana dalam menyuarakan penolakan terhadap pengembangan PLTP Ulumbu di antaranya: pertama, tanah ulayat. Kedua, akan menimbulkan bencana longsor. Mari kita ulas dengan pendekatan perbandingan.
Pertama, terkait tanah ulayat. Tanah ulayat atau yang biasa juga disebut tanah adat merupakan tanah yang status kepemilikan tanahnya milik bersama dari suatu komunitas adat; katakanlah suatu gendang dalam konteks adat Manggarai. Secara konstitusi, alasan hak ulayat seperti ini diakui dan dihormati. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Ini artinya, keberadaan masyarakat hukum adat di seluruh wilayah NRKI diakui dan dilindungi negara. Negara tidak boleh secara sewenang-wenang terhadap masyarakat adat termasuk tanah yang mereka miliki. PLN yang dalam hal ini sebagai perusahaan kelistrikan negara tentu juga harus tunduk dengan ketentuan konstitusi ini. Perusahan plat merah tersebut haruslah menghormati hak ulayat masyarakat adat Poco Leok.
Berkaitan dengan itu, jauh sebelum rencana pengembangan geotermal di kawasan Poco Leok, PLN melalui PLTP Ulumbu telah lama beroperasi di kawasan Desa Wewo yakni dari tahun 2011. Diketahui pula bahwa tanah lokasi pengelolaan geotermal Ulumbu merupakan tanah ulayat Gendang Wewo. Artinya, tanah ulayat juga dapat ganti rugi sepanjang masyarakat ulayat mendukung kemajuan negara.
Kedua, soal potensi bencana longsor. Peluang longsor memang selalu ada pada tanah kawasan daerah pegunungan, baik daerah Poco Leok maupun Wewo. Namun, sejak beroperasi dari tahun 2011 sampai saat ini tidak ada kejadian longsor di wilayah perusahaan. Kalau longsor terjadi, sudah tentu PLTP Ulumbu di Desa Wewo akan langsung ditutup karena lokasinya diapiti pegunungan.
Menolak pengembangan PLTP Ulumbu merupakan hak konstitusional warga Poco Leok; baik itu secara ulayat maupun ketakutan akan longsor. Negara harus menghargai itu! Akan tetapi, perlu juga secara realistis melihat PLTP Ulumbu di Desa Wewo. Secara hak ulayat, masyarakat adat Gendang Wewo bersepakat ganti rugi tanah mereka untuk negara dan terutama untuk perekonomian masyarakat Desa Wewo sendiri. Terkait potensi longsor sama saja dengan kawasan Poco Leok, tetapi sejak beroperasi hingga kini ketakutan itu masih menjadi ketakutan saja.
Kewajiban Negara
Proyek geotermal merupakan proyek strategis nasional. Proyek strategis berarti pembangunan yang amat sangat diprioritaskan negara untuk menunjang kemajuan negara. Banyak di antara kita yang melihat PLN dan PLTP Ulumbu saja ketika membicarakan geotermal di kawasan Desa Wewo dan Poco Leok; tetapi kita lupa bahwa ada kepentingan negara dibalik itu. Namanya kepentingan negara berarti kepentingan untuk kemaslahatan rakyat banyak.
Pada dasarnya, proyek geotermal merupakan pelaksanaan kewajiban negara secara konstitusional. Pasal 33 UUD 1945 secara terang mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam untuk perekonomian negara. Listrik sebagai kebutuhan hajat hidup orang banyak wajiblah dikuasai negara. Sebagai perusahaan negara yang mengurusi kelistrikan negara, PLN dan PLTP Ulumbu mengemban tugasnya sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Ketentuan Pasal 33 ayat (2) di atas, bermakna bahwa konstitusi negara Indonesia mewajibkan negara untuk menguasai cabang-cabang produksi penting termasuk listrik untuk kemajuan dan kesejahteraan negara. Beginilah makna kehadiran negara melalui PLN dan PLTP Ulumbu.
Lalu, terkait sumber daya alam yang ada di dalam bumi wilayah NKRI secara konstitusional juga ditegaskan bahwa dikuasai negara dan diperuntukan kemakmuran rakyat.
Perhatikan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 berikut: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal ini bermakna bahwa seluruh kekayaan alam yang terkandung pada bumi Indonesia dikuasi negara agar dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Kalau bicara kemakmuran rakyat, memang satu fakta menarik bahwa tidak mungkin seluruh rakyat Indonesia dari Papua sampai Kalimantan akan disejahterakan oleh PLTP Ulumbu. Setidaknya masyarakat sekitar misalkan masyarakat Desa Wewo, Wae Ajang dan Ponggeok terbantu secara perekonomian dengan hadirnya PLTP. Penyerapan tenaga kerja, program pemberdayaan masyarakat, program-program CSR (kegiatan adat, sekolah, kegiatan keagamaan dll); menjadi dampak positif yang nyata.
Khusus untuk kawasan Poco Leok, sebenarnya dua (2) tahun terakhir PLN melaksanakan program pemberdayaan hortikultura di beberapa tempat. Program tersebut diterima dengan antusias oleh warga. Bahkan, warga-warga yang terlibat dalam kelompok pemberdayaan itu sudah merasakan manfaat untuk kehidupan perekonomian mereka.
Pengertian dan Kepentingan Bersama
Upaya-upaya musyawarah memang sudah sering dilakukan oleh PLN di kawasan Poco Leok. Upaya musyawarah tersebut sulit untuk dinilai, apakah berhasil atau tidak. Satu sisi dapat dikatakan berhasil karena pemilik lahan yang diperuntukan lokasi pengembangan geotermal PLTP Ulumbu sudah mendapatkan kompensasi dari PLN. Artinya, sudah terjadi kesepakatan untuk pengembangan geotermal PLTP Ulumbu di sana. Sisi lain, dikatakan gagal karena masih hingga kini masih ada riak-riak penolakan, terutama sekali di dunia maya.
Kalau dicermati, dua sisi di atas menunjukkan musyawarah yang terjadi antara PLN dengan warga di kawasan Poco Leok belumlah mencapai pengertian atas nama kepentingan bersama. Hal seperti ini terjadi, besar kemungkinan akibat dari narasi-narasi menyesatkan yang telah ditanam secara terus menerus pada masyarakat. Pengertian dari segenap warga masyarakat sangatlah dibutuhkan demi kepentingan bersama.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel