Cepat, Lugas dan Berimbang

Cemas Bercahaya di Atas Panggung (Satu Permenungan)

Cemas
Ilustrasi (ist)

Akhirnya…

Di titik ini, teringatlah suara Yesus, Sang Guru dari Nazaret. Ia tegur secara tegas namun bijak para muridnya itu. Sebab dua belasan murid itu lagi ribut-ribut. Para murid tengah hanyut dalam diskusi sengit tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Seturut Yesus, jangan dulu repot-repot pikir tentang kuasa, jabatan, kedudukan atau posisi terbesar. Urus dulu revolusi mental bagai si bocil yang merendah, tulus nan polos, ceriah serta penuh sukacita dalam melayani (cf Injil Lukas 16: 19-31).

Mari lompat ke Singapura di beberapa dekade silam. Disinyalir, Lee Kuan Yew, Bapak Singapura itu, konon tak peduli sama demokrasi. Ia lebih berkiblat mutlak pada meritokrasi. Diyakini, “Negeri kecil itu tak hendak dikelola dengan mengikuti suara rakyat, melainkan dengan kualitas pemimpin yang unggul.” Kualitas pemimpin seperti itu berakar pada kesadaran diri mahadalam, yakni “Ini sebuah panggilan,” kata Lee (G Mohamad, 2015).

“Panggilan,” seyogiyanya, tak terlalu peduli pada kuasa, kedudukan dan posisi. Ia benar-benar berdedikasi total demi bangsa dan tanah air. Dalam kerja keras dalam komitmen. Bayangkan saja bila seorang pemimpin punya legacy demokratis yang dikawinkan secara monogamis dengan primat meritokrasi. Maksudnya, pemimpin itu punya kualitas leadership yang mumpungi dan didukung oleh demos (rakyat)!

Mungkin itulah yang tengah dinantikan penuh harap dan rindu sebangsa dan setanah air. Mungkin lusa atau di lain hari mimpi ini bakal jadi nyata. Tetapi, Indonesia lagi cemas.

Namun, seluruh tumpah darah harus cemas dan mesti siaga serius ketika sendi-sendi bangsa dan negara ini diobok-obok. Sampai kapan pun tetaplah Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI yang jadi karakter negeri. Tak boleh sedikitpun ada ruang dan cerita bagi yang lain.

Bukankah demikian?

Verbo Dei Amorem Spiranti

Memeluk Diri
Pater Kons Beo, SVD (ist)

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel