Cepat, Lugas dan Berimbang

Cemas Bercahaya di Atas Panggung (Satu Permenungan)

Cemas
Ilustrasi (ist)

Bahaya narsisme politik pencitraan?

Jika memang tak ada banyak lagi puji-pujian serta rasa kagum dari publik, biarlah saling puji-memuji dan applaus internal digelorakan. Litania tentang yang indah-indah di masa lalu mesti jadi satu ‘anamnesis liturgia kekuasaan.’ Artinya, sepatutnya dihadirkan kembali ‘semua yang indah di silam itu sebagai peringatan yang nyata.’ Di situ larut akan diri sendiri di masa jaya tak terhindarkan.

Tetapi, sebenarnya apa yang hendak dipertontonkan? Kejayaan di masa silam, Nama Besar di waktu dulu mesti dibangkitkan. Sebab, bagaimana pun, terdapat tujuan dan kepentingan politik yang tetap jadi meterainya. Kemenangan, kekuasaan, pengaruh, serta segala privilese itulah yang disorot, dibidik untuk dicapai lewat satu jalan kemenangan.

Namun, sungguh tak gampang ingin ulangi kembali aura seperti dulu itu. Jalan terjal dan menganga harus dilewati. Namun, ini bisa jadi satu keterperosokan ke dalam lubang yang digali sendiri jika memang tak cerdas dan bijak di dalam metologi menuju kekuasaan. Tapi, itulah risiko politik yang memang telah dipertimbangkan.

Dalam politik, tentu dibutuhkan nyali besar. Keberanian adalah keharusan. Terkadang pertengkaran atau ‘baku ambil kata’ punya maksud terselubung. Ia jelaskan kesetaraan dan punya kedudukan yang setara. “Perang adalah satu pemakluman bahwa kami masih hidup, masih ada nafas serta masih harus diperhitungkan.”

Tergantung lawan tanding

Tetapi, yang terpenting bahwa ada strategi selected and qualified adversary, katakan saja begitu. Artinya, jika memang kalah dalam perang (kata), itulah kalah yang berkelas. Sebab, lawan dalam perang bukanlah kelompok sembarangan.

Bayangkan, apalagi bila sampai menang kata, strategi dan pengaruh terhadap kelompok besar itu? Dunia bisa tersentak plus kagum bila ‘kelas tamtama dan bintara bisa menantang golongan perwira.’ Katanya, pansos bisa saja dirakit dengan cara berani bersuara dan punya nyali untuk menantang ‘yang lebih besar dan yang (angggap diri) lebih unggul.’

Jelang pesta demokrasi, entah untuk tentukan penguasa eksekutif pun legislatif, kita pasti punya aura tersendiri. Aura pesta yang mendebarkan. Dan bahkan sungguh ‘menakutkan.’ Ini momentum terbaik untuk berkuasa (lagi). Sebab itu, segala sesuatu mesti disiasati cemerlang. Tak boleh ada kata kalah apalagi menyerah dini.

Genderang perang makin jelas bergema

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel