Cepat, Lugas dan Berimbang

Cemas Bercahaya di Atas Panggung (Satu Permenungan)

Cemas
Ilustrasi (ist)

“Tidak ada tempat yang lebih damai dan tenang bagi manusia kecuali di dalam jiwanya sendiri”

(Marcus Aurelius, Kaiser Romawi dan filsuf stoik, 112 – 180).

P. Kons Beo, SVD

Ketika galau lagi menampar

Cemas. Itulah yang terjadi hari-hari ini. Di panggung, dari mimbar, pun dari mobil komando, aura itu jelas terbaca. Bahkan, walau suara lantang gelegar atas nama Tuhan sekali pun, cemas tak bisa terhalau pergi. Adakah sesuatu yang sungguh dirisaukan?

Bisakah, misalnya, sentakan Farel Prayoga di istana, 17 Agustus 2022 kemarin itu, ditafsir telah jadi benih untuk satu ke(cemas)an tak terbendung? Tembang “Ojo Dibandengke” ciptaan Abah Lala itu ternyata bukanlah soal ‘ramai-ramaian’ tujuh belasan belaka. Disinyalir, ada pesan plus di baliknya.

Memang, Prayoga telah bawakannya dengan begitu ceriah. Tak dibuat-buat. Polos seperti lazim anak seumurnya. Istana ‘tergoyang.’ Para petinggi negeri gemulai melentur tubuh. Suasana sebuah perayaan pesta tersaji. Tak ada yang kurang di situ.

Jika memang “tak ada yang dapat dibanding-banding” maka tak usah repot-repot bikin perbandingan. Apa yang mesti dibanding-banding? Bertumpulah di atas prinsip paling simpel. “Setiap orang ada masanya. Begitu pun setiap masa, ada orangnya.” Tentu pula setiap locus ada citra dan cirinya sendiri.

Tergantung sudut pandang

Sebetulnya, tinggal saja bangkitkan rasa syukur bahwa “waktu kita telah berlalu.” Dan lagi, bahwa ada yang kini lanjutkan ‘punya kita yang belum berakhir.’ Dan siklus seperti ini akan berlangsung seterusnya dan seterusnya. Dari waktu ke waktu.

Namun, nyatanya? Eforia Farel, yang semula hanya bagai api pemantik ceriah itu, malah bisa bikin ‘hutan luas kebakaran serius dan heboh.’ Farel yang lugu itu sudah ditafsir bagai ‘Daud bocil’ yang mengobok-obok kenyamanan ‘Goliat raksasa.’ Maka, jadilah kini perang tanding nan sengit. Kegaduhan tak terhindarkan.

Antara ‘yang telah berlalu dan yang kini’ bukanlah mata rantai waktu tersambung. Keduanya adalah masing-masing periode yang punya batasan yang jelas dan tegas! Dan di situlah, politik komparatif dengan segala isinya jadi tak terhindarkan. “Alam berkesinambungan” tak dianut. Jargon pembangunan berkelanjutan sudah ditepis. Sudut pandang sudah berubah.

Kompetisi yang sulit terhindar

Sebab sekarang ini, harus ditegaskan setegasnya bahwa ‘yang penuh mendung dan banyak mangkrak itu di rezim punya siapa? Dan yang terang nyata bersinar itu di zaman kekuasaan siapa? Itulah biji-biji peluru. Ditembakkan ke sana dan ke mari. Dan raungan perang prestise dan prestasi pun mengguntur di sana-sini.

Namun, apa benar bahwa itu semua demi sebuah harga diri dan citra kelompok (partai)? Apakah si Biru versus si Merah ditakdirkan untuk rentetan tubrukan tanpa akhir? Nyatanya, itulah yang tersaji belakangan ini. Gema politik memang sebenarnya adalah tarung nyali di hadapan publik. Merebut atensi masa. Semuanya demi satu claiming pembenaran. Glorifikasi diri adalah keniscayaan.

‘Kekuasaan yang telah berlalu’ tegas bersuara. Punya maksud politis yang cerdas. Indonesia Raya mesti menolak lupa. Kalau memang Sabang hingga Merauke sudah berkarib mesrah dengan kawan baru selama ini, maka “kawan lama dilupakan jangan!” Itulah pesan tersembunyi di baliknya. Sebab, rasanya tak adil dan bikin makin baperan saat hanyalah titik-titik hitam yang selalu diungkit-ungkit. Dan berulang-ulang.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel