Oleh: Ehfrem Vyzty★
Prolog
Dunia dewasa ini, perkembangan teknologi sudah semakin canggih. Terdapat banyak produk teknologi yang dapat mempermudah pekerjaan maupun aktivitas manusia. Salah satunya adalah AI (artificial intelligence) atau kecerdasan buatan. AI dapat membantu pekerjaan maupun aktivitas manusia dalam berbagai bidang.
Apa itu AI?
Menurut Harvei Desmon Hutahaean (2016) Kecerdasan Buatan berasal dari bahasa Inggris “Artificial Intelligence” atau disingkat AI, yaitu Intelligence. Intelligence itu sendiri adalah kata sifat yang berarti cerdas, sedangkan Artificial artinya buatan. Kecerdasan buatan yang dimaksudkan di sini merujuk pada mesin yang mampu berpikir, menimbang tindakan yang akan diambil, dan mampu mengambil keputusan seperti yang dilakukan oleh manusia.
Sedangkan menurut Solikhun, M. Safii, Agus Trisno (2017) Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) didefinisikan sebagai kecerdasan yang ditunjukkan oleh suatu entitas buatan. Sistem seperti ini umumnya dianggap sebagai komputer. Kecerdasan diciptakan dan dimasukkan ke dalam suatu mesin (komputer) agar dapat melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan manusia. Tujuannya adalah untuk menciptakan entitas non-biologis yang mampu memahami, belajar, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan serupa dengan manusia.
AI pertama kali diciptakan pada tahun 1950 oleh John McCarthy.
Semenjak diciptakannya, AI terus mengalami perkembangan yang masif. pada awalnya AI hanya dapat melakukan tugas-tugas sederhana berdasarkan pada aturan-aturan dan instruksi yang telah diprogramkan secara eksplisit. Namun, hingga pada saat ini AI dapat melakukan tugas–tugas yang sulit seperti menjawab pertanyaan, membuat gambar, rekaman video maupun audio dan sebagainya.
Antara AI dan Realitas Kecerdasan Manusia
Setelah berevolusi setidaknya selama 300.000 tahun, spesies Homo sapiens mengembangkan serangkaian keterampilan interaktif yang luas, kecerdasan yang didasarkan pada perkembangannya sebagai makhluk sosial membuatnya mahir dalam berbagai bentuk kecerdasan sosial. Aktivitas terkait seperti penilaian, intuisi, komunikasi yang halus namun efektif, dan imajinasi adalah semua domain di mana kecerdasan manusia jauh lebih berguna dan berharga dan bahkan lebih baik daripada AI dalam bentuk apa pun yang ada saat ini.
Sementara itu, AI mempunyai begitu banyak keunggulan dalam hal kecerdasan yang berorientasi pada pembelajaran, penalaran, bahasa dan lainnya. Ia mampu menganalisis permasalahan dengan waktu yang singkat serta ketepatan yang luar biasa akurat ketika mengerjakan suatu tugas yang sama seperti manusia.
Selain itu, AI juga mampu menghasilkan karya seperti karya manusia pada umumnya dalam berbagai bidang pengetahuan dengan efisiensi yang tidak perlu diragukan lagi. Hal itu terwujud ketika banyak orang yang melihat dan mendengar serta merasakan bagaimana AI mampu menghasilkan gambar, video serta audio yang tak kalah menarik dari karya yang dihasilkan oleh manusia.
Berangkat dari realitas yang demikian, bukan tidak mungkin skeptisisme lahir di tengah kehidupan manusia akan AI yang semakin melejit. Skeptisisme ini lahir menandakan bahwa manusia dengan penuh kesadaran mengkhawatirkan eksistensinya sendiri di tengah gempuran AI yang perkembangannya semakin hari semakin masif. Skeptisisme ini juga, muncul karena AI membawa serta ambiguitas akan eksistensinya di tengah masyarakat universal. Karya-karya yang dihasilkan oleh AI seperti foto, video, audio dan lainnya sangat sulit dibedakan dengan karya-karya orisinal manusia. Sehingga terkadang banyak orang yang tidak bertanggungjawab memanfaatkan hal ini untuk kepentingan pribadi dan sarana menyebarkan hoaks.
Mengatasi persoalan ini, manusia perlu menyadari bahwasanya ia memiliki suatu anugerah alamiah yang tidak dimiliki oleh AI. Ia diciptakan oleh suatu yang transendental dengan unik dan berbeda dari ciptaan-ciptaan yang lain. Manusia memiliki insting atau perasaan yang membuat ia mampu berinteraksi dengan hati dan pikiran terbuka baik dengan sesama maupun dengan lingkungan sekitar.
Manusia mestinya mengutamakan sikap selektif serta kritis dalam membuktikan dan mempertanyakan segala sesuatu menggunakan kelebihan yang ia miliki dari ciptaan-ciptaan lain. AI boleh saja memiliki kelebihan yang efisiensi dalam berkarya seperti manusia, tetapi manusia itu sendiri juga mestinya tidak melupakan kodratnya mengapa ia disebut sebagai makhluk yang berakal budi. Manusia berpikir secara mandiri, sementara AI hanya bergantung pada data dan fakta yang disediakan oleh manusia. Itulah yang menjadi perbedaan paling fundamental antara manusia dan realitas AI. Manusia memiliki kelebihan yang tidak kalah efisiensi dari AI.
Lalu yang menjadi pertanyaan untuk mengkritisi persoalan ini adalah: Apakah AI juga mempunyai peluang untuk memiliki kecerdasan emosional yang sama seperti manusia? Jawabannya tentu tidak. Meskipun AI dapat mendeteksi emosi saat melihat wajah manusia, dapat menganalisis gestur, postur, dan gerakan otot wajah kecil untuk membangun gambaran keadaan emosi.
Namun, AI tidak dapat merasakan emosi itu sendiri. Perasaan adalah ciri khas kehidupan hewan dan emosi adalah bagian dari manusia. Tentu saja, selalu mungkin untuk menulis program yang mensimulasikan suatu jenis perilaku, tetapi itu hanya tipuan. Kecerdasan manusia mencakup kemampuan untuk memahami dan berhubungan dengan perasaan sesama manusia menjadi sebuah kapasitas yang sulit ditiru oleh sistem AI. Tidak masuk akal untuk mengatakan bahwa komputer merasakan penderitaan, jijik, atau duka. Bagaimana mungkin komputer peduli pada yang lain (komputer atau orang)?
Epilog
Realitas AI melahirkan skeptisisme universal manusia akan eksistensinya. Skeptisisme ini lahir bukan tanpa alasan, melainkan karena AI hadir seolah-olah melengserkan peran manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Di tengah situasi yang penuh dengan keraguan manusia akan eksistensinya di hadapan AI yang muncul bersamaan dengan ambiguitas, manusia mestinya menyadari bahwa AI lahir bukan untuk mengganti peran manusia dalam berbagai bidang kehidupannya. Melainkan untuk meringankan kesibukan manusia dalam melakukan segala pekerjaannya.
AI dan manusia memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Oleh karena itu, sangat dianjurkan bagi manusia untuk memanfaatkan AI sepenuhnya untuk melengkapi apa yang menjadi kurang di antara keduanya. AI akan lebih memanusiakan manusia dengan kelebihannya, jika manusia itu sendiri menggunakan AI dengan kelebihannya juga yaitu menyikapi realitas AI dengan penuh kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai manusia.
★Penulis adalah mahasiswa aktif prodi S1 filsafat IFTK Ledalero
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel


