Cepat, Lugas dan Berimbang

Tradisi Berpikir Pemerintahan

Dr. Gregorius Sahdan (tengah) (Dok Pribadi)

Yogyakarta, infopertama.com – Ruang M. Soetopo Prodi Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” menjadi arena diskusi publik yang menghadirkan dua pemikir pemerintahan, Dr. Gregorius Sahdan, M.A dan Dr. Rizel Samaloisa, M.Si dengan tema: “Tradisi Berpikir Pemerintahan”, Kamis, 16 Oktober 2025.

Dalam pemaparannya, Dr. Gregorius Sahdan menekankan pentingnya meninjau kembali tradisi berpikir normatif, modern, kritis, dan postkolonial dalam studi pemerintahan.

Ia menyoroti bahwa warisan kolonial masih kuat membentuk birokrasi dan pola kekuasaan di Indonesia.

Menurutnya, tradisi berpikir yang membebaskan harus diarahkan untuk memperkuat masyarakat dan mengoreksi praktik kekuasaan yang menyimpang.

Bagi Gregorius Sahdan, tradisi pemikiran klasik/tradisional/ normatif dan modern/positifistik, masih sangat dominan dalam praktik pemerintahan di Indonesia dan menguasai ruang akademik, sementara tradisi berpikir post kolonial, kritis dan post positivisme yang meletakkan rakyat sebagai subyek yang otonom, masih sangat sedikit di kalangan pemerintahan dan akademisi.

Hal ini menyebabkan kebijakan pemerintah seperti MBG atau Makan Bergizi Gratis sangat elitis, ilmiah rasional dan tidak berbasis pada partisipasi publik yang lebih luas, sangat teknokratis dan kurang mengakomodasi aspirasi rakyat. Akibatnya menjadi Makan Beracun Gratis. Kebijakan yang teknokratis dan ilmiah seperti ini merupakan bagian dari dominasi cara berpikir modern atau positifistik di Indonesia yang dianut oleh pengambil kebijakan.

Sementara itu, Dr. Rizel Samaloisa menguraikan tradisi berpikir positivistik yang menekankan data, rasionalitas, dan pengukuran kinerja.

Ia menilai pendekatan ini penting untuk efisiensi birokrasi, namun berisiko reduktif bila mengabaikan konteks sosial-budaya. Rizel mendorong adanya sintesis antar-tradisi berpikir sehingga kebijakan publik tidak hanya tepat secara teknis, tetapi juga berpihak pada masyarakat.

Dalam sesi tanya jawab, peserta menyoroti persoalan praktik patronase di pemerintahan daerah dan bagaimana teori dapat berhubungan dengan kenyataan lapangan.

Kedua pembicara sepakat bahwa pembaruan tradisi berpikir bukan sekadar wacana akademis, tetapi harus berdampak pada penguatan tata kelola pemerintahan yang partisipatif.

Diskusi ditutup dengan penekanan bahwa tradisi berpikir dalam pemerintahan sebaiknya dipandang sebagai perangkat analisis yang saling melengkapi. Dengan begitu, generasi muda akademisi dan praktisi pemerintahan diharapkan lebih kritis, reflektif, serta terbuka pada pendekatan baru dalam memahami dinamika pemerintahan Indonesia.

                    

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel