Oleh Jefrin Haryanto★
infopertama.com – Boleh jadi akan ada seorang ayah atau banyak ayah yang protes dengan tulisan saya kali ini. Tulisan ini bahkan saya tulis saat saya berada di luar rumah. Situasi dimana sebenarnya saya sedang berjauhan dengan anak-anak saya. Anak-anak yang tumbuh besar dengan sedikit sekali sentuhan seorang ayah. Sesekali saya bisa punya argument bahwa saya adalah laki-laki yang harus selalu ada di luar rumah dan mencari nafkah. Lalu ketika kau pulang ke rumah, saat anak-anakmu sudah terlelap dalam tidurnya.
Saya adalah satu dari banyak ayah di negeri ini yang hampir tak punya waktu untuk anak-anak saya. Membayangkan bagaimana anak-anak tumbuh besar tanpa kehadiran yang mendalam dari seorang ayah. Mengerikan jika menyimak studi Department of Health & Human Services Amerika melihat efek kurangnya peran ayah. Anak-anak yang tidak dekat dengan ayahnya lebih rentan terhadap penyakit fisik dan mental, kejahatan pornografi, dan prostitusi. Anak laki-lakinya cenderung terlibat dalam perkara kriminal, sementara anak perempuannya rawan mengalami kehamilan remaja. Mereka juga lebih mudah terlibat dalam masalah alkohol dan putus sekolah. Mereka pun merokok 4 kali lipat lebih banyak dibandingkan anak-anak yang dekat dengan ayahnya. Laki-laki pelaku KDRT umumnya memiliki ayah yang juga pelaku KDRT, dan anak-anak perempuan mereka cenderung mendapat pasangan pelaku KDRT.
Faktanya Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia sebagai negeri tanpa ayah atau fatherless country. Artinya, anak-anak Indonesia tumbuh dengan sangat sedikit sentuhan ayah. Satu tingkat di atas Indonesia, ada Amerika Serikat sebagai runner up. Di sana, 1 dari 4 anak hidup tanpa ayah. Ini terjadi kebanyakan karena tingginya tingkat perceraian dan hubungan tanpa pernikahan.
Pola patrilineal yang cukup kental di Indonesia cukup mendukung perkembangan Indonesia menjadi fatherless country. Posisi ayah yang harus selalu diutamakan karena dinilai sudah berjuang keras dan lelah mencari nafkah sehingga sudah tidak perlu dibebani lagi dengan tangisan anak, atau bermain bersama anak. Bahkan tidak jarang, dulu sewaktu kecil kita mendengar ucapan ibu atau nenek kita untuk tidak mengganggu istirahat ayah atau kakek kita. Padahal terkadang ayah hanya memiliki waktu sebentar di rumah dibandingkan seorang ibu untuk mempunyai pengalaman berkualitas bersama anak.
Kurangnya keterlibatan peran ayah dalam pengasuhan anak membuat anak-anak Indonesia menjadi father hungry/ “lapar pada sosok ayah”. Yaitu, kerusakan psikologis yang diderita anak-anak dikarenakan tidak mengenal ayahnya. Kondisi father hungry ini dapat berakibat pada rendahnya harga diri anak, anak tumbuh dengan kondisi psikologis yang tidak matang (kekanak-kanakan/childish), tidak mandiri/ dependent, kesulitan menetapkan identitas seksual (cenderung feminin atau hypermasculin), kesulitan dalam belajar, kurang bisa mengambil keputusan/ tidak tegas, bagi anak perempuan tanpa model peran ayah setelah dewasa sulit menentukan pasangan yang tepat untuknya hingga dapat salah memilih pria yang layak/ salah pilih jodoh.
Penelitian yang dilakukan Psikolog keluarga Harriet Lerner di tahun 2011 menemukan bahwa minimnya peran ayah akan melahirkan anak-anak yang memiliki harga diri yang rendah. Profesor Edward Kurk dari University of British Columbia menemukan absennya ayah juga menyebabkan anak tidak terlatih mengontrol dirinya. Anak-anak yang besar tanpa sentuhan ayah ternyata juga tidak terbiasa mengambil resiko (William, 2011).
Menarik melihat fenomena fatherless di Indonesia. Kurangnya keterlibatan ayah sebagian besar bukan karena perceraian, tapi karena budaya. Kultur di Indonesia cenderung memposisikan laki-laki sebagai pencari nafkah yang bekerja di luar rumah sehingga tidak perlu dibebani dengan tangisan anak. Di sebagian masyarakat, ada budaya yang mengajarkan anak-anak untuk tidak mengganggu ayah istirahat karena sudah lelah seharian bekerja.
Ibarat burung, anak butuh kedua sayap untuk bisa terbang. Kedua sayap itu adalah ayah dan ibunya. Secara fitrah, laki-laki dan perempuan membesarkan anaknya dengan cara yang berbeda. Ibu cenderung feminin, berhati lembut, dan perasa. Sifat-sifat ini mempengaruhi nilai-nilai yang tertransfer saat mendidik anak. Anak yang dididik oleh ibunya akan dominan feminitasnya: peka perasaannya, mudah berempati, mengalah, dan mengambil keputusan dengan perasaannya.
Sebaliknya, ayah adalah supplier maskulinitas bagi anak-anak. Mereka mengambil keputusan dengan logika, kadang cenderung mengabaikan perasaan. Maka dari ayahnya, anak akan belajar bagaimana mempertahankan ego, mempertimbangkan masalah dengan matang, mengambil keputusan dengan logika, serta mengambil resiko dan tanggung jawab.
Tanpa ibu, anak tak berkembang perasaannya, kasar, dan sulit berempati. Tanpa ayah, anak tak terlatih mengembangkan logika dan pengambilan keputusan. Maka tak heran, anak-anak yang besar dengan sedikit sentuhan ayahnya cenderung memiliki kepribadian yang tidak matang, Mereka cenderung kekanak-kanakan atau childish. Mereka juga kesulitan menetapkan identitas seksual, cenderung feminin atau justru mencari kompensasi menjadi hypermasculin. Anak-anak yang sedikit pengaruh ayahnya juga cenderung tidak mandiri, tidak tegas, dan kurang bisa mengambil keputusan. Anak perempuan yang tidak dekat dengan ayahnya setelah dewasa kesulitan menentukan pasangan yang tepat untuknya karena tak menemukan sosok laki-laki dewasa yang bertanggung jawab dan melindunginya di rumah.
Dampak-dampak tersebut dapat berkembang menjadi masalah yang lebih besar, seperti kesulitan menetapkan identitas seksual sehingga membuat anak lebih mudah terlibat LGBT.
Ketidakmatangan kepribadian karena kurangnya sentuhan ayah dapat membuat mereka lebih mudah jatuh sebagai pelaku maupun korban KDRT saat berumah tangga. Artinya tugas membersamai dan mendidik anak tak kalah penting dibandingkan bekerja di luar rumah. Jangan biarkan anak-anak kita seperti burung dengan sayap sebelah. Mereka butuh kedua sayapnya untuk bisa terbang dan menaklukkan dunia.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel