Mataram, infopertama.com – Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTB I Gede Putu Aryadi mengatakan Kasus pekerja migran Indonesia (PMI) nonprosedural atau ilegal asal Nusa Tenggara Barat (NTB) sudah jauh menurun dari tahun-tahun sebelumnya.
I Gede menuturkan berdasarkan data, PMI prosedural saat ini berjumlah 535.000 orang di 108 negara penempatan dan 70 persen PMI bekerja di negara Malaysia. Dan yang kedua adalah negara-negara Timur Tengah.
“Dari jumlah tersebut, PMI bermasalah yang kami tangani pada tahun 2021-2022 ini sebanyak 1.008 orang. Jumlah tersebut jauh menurun jika bandingkan jumlah kasus tahun-tahun sebelumnya yang mencapai puluhan ribu orang,” kata Gede Aryadi saat menjadi narasumber pada kunjungan kerja Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Kantor Gubernur NTB dalam keterangan tertulis kepada media, di Mataram, Kamis (29/09).
Ia mengatakan jumlah kasus sampai bulan September tahun 2022 sebanyak 881 kasus. Dengan rincian yang perempuan alami sebanyak 457 kasus dan kasus terbanyak terjadi di Timur Tengah.
“Penurunan kasus PMI unprosedural tidak lepas dari adanya program pemerintah provinsi yang canangkan pada tahun 2020, yaitu zero unprosedural PMI. Dan, peran pihak terkait yang terus melakukan edukasi masif kepada masyarakat tentang bekerja di luar negeri,” katanya lagi.
Butuh Kerjasama Lintas Sektor
Dia menambahkan, penanganan PMI tidak hanya menjadi tugas Disnakertrans, tetapi juga lintas sektoral. Kuncinya adalah kolaborasi dalam mengedukasi dan mendesiminasi warga agar bisa mengakses kesempatan kerja luar negeri secara benar dan prosedural.
Untuk mencegah terjadinya kasus PMI nonprosedural, pemerintah perlu secara masif memberikan informasi dan edukasi tentang bekerja di luar negeri kepada masyarakat.
“Harus ada kolaborasi yang kuat antara Disnaker provinsi dan kabupaten serta kota, hingga desa dan dusun. Melibatkan pihak terkait, yaitu BP2MI, TNI-Polri, Dinas Sosial, BP3AKB, Imigrasi dan NGO yang konsentrasinya terhadap buruh migran Indonesia,” ujarnya pula.
Gede menyampaikan bahwa pemicu munculnya PMI nonprosedural karena lima modus. Pertama, PMI ilegal yang direkrut secara ilegal melalui calo. Kedua, PMI legal, berangkat secara prosedural, tetapi setelah di negara penempatan melarikan diri dari tempatnya bekerja sehingga menjadi ilegal. Ketiga, PMI legal tetapi setelah di negara penempatan terlibat kasus kriminal.
Keempat, PMI berangkat secara prosedural tetapi saat memperpanjang kontrak tidak melalui prosedur, sehingga menjadi ilegal. Terakhir, PMI yang memiliki “track record” tidak bagus, sudah diblack list negara penempatan, tetapi mencari banyak cara untuk berangkat secara nonprosedural.
Selain itu, Aryadi juga mengatakan bahwa modus PMI nonprosedural juga karena di sejumlah negara penempatan memberlakukan kebijakan konversi visa, sehingga celah inilah yang para calo/ tekong manfaatkan.
Ia menjelaskan PMI nonprosedural biasanya berangkat dengan menggunakan visa kunjungan, visa umrah atau visa suaka. Kemudian, setibanya di negara penempatan, mereka mendapatkan visa kerja dan izin tinggal, sehingga menjadi legal menurut aturan di negara tersebut.
“PMI yang berangkat dengan jalur nonprosedural tidak akan mendapatkan perlindungan yang memadai, karena semuanya yang mengurus adalah mafia TPPO. Bahkan, PMI tersebut tidak mengetahui isi perjanjian kerjanya,” katanya lagi.
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia sudah menerapkan OCS (One Channel System) untuk mengurangi PMI ilegal. Oleh karena itu, saat ini Pemerintah Indonesia sedang melakukan uji coba OCS ini di negara penempatan lainnya.
“Kami sedang coba proses rekrutmennya untuk negara penempatan Timur Tengah, apakah OCS ini bisa berhasil, terutama untuk sektor domestik,” ujarnya.
Perwakilan BP3MI NTB Made Setyaningrum menyampaikan penurunan kasus PMI unprosedural salah satunya karena buka kembali penempatan negara Malaysia. Seperti ketahui hampir 70 persen PMI bekerja di Malaysia. Jadi penempatan negara Malaysia tutup selama pandemi Covid-19, sehingga banyak PMI berangkat melalui jalur tikus.
“Sebelum negara penempatan Malaysia buka, hampir setiap minggu BP3MI menangani kasus pemulangan PMI unprosedural. Tetapi sekarang jumlahnya jauh berkurang,” ujar Made.
Berdasarkan data, tahun 2021 PMI yang bekerja di luar negeri sebanyak 581 orang, sedangkan tahun 2022 ini sudah mencapai 3.970 orang. Kasus PMI yang mengalami pelecehan seksual tahun 2022 sebanyak 2 kasus dan sedang dalam proses. Sedangkan, untuk kasus TPPO sudah selesai dan korbannya telah kembali ke negara asal.
BP3MI terus berkoordinasi dan sosialisasi dengan instansi pemerintah maupun dengan NGO untuk mengedukasi masyarakat agar bermigrasi dengan aman.
“Kami juga ikut bergabung kegiatan posyandu keluarga untuk mensosialisasikan informasi bahwa bekerja di luar negeri boleh, tetapi harus sesuai dengan prosedur. Selain itu, BP3MI juga berkoordinasi dengan pemerintah desa untuk memberikan informasi daftar P3MI yang memiliki izin dan memiliki job order,” katanya pula.
Tahun 2022 ini, BP3MI bekerjasama dengan BPVP Lombok Timur untuk pelatihan persiapan PMI untuk penempatan negara Jepang dan Korea. Sebenarnya penempatan untuk negara Korea cukup banyak dan persyaratannya tidak sulit.
Pelatihan persiapan tersebut, berupa kelas bahasa yang buka sejak Agustus 2022 dengan tujuh kelas bahasa Korea dan dua kelas bahasa Jepang. Selanjutnya CPMI yang sudah mendapatkan pemantapan bahasa bisa mengikuti skema G to G dengan penempatan negara Jepang untuk menjadi perawat dan Korea di industri manufaktur.
“Adanya pelatihan ini harapannya CPMI memiliki skill yang baik, sehingga tidak mengalami masalah ketika di negara penempatan,” katanya pula.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp ChanelÂ
Â