(sekadar yang ringan-ringan saja)
“Sudah waktunya untuk berhenti dalam berimajinasi tentang diri, sebab setiap kita, apa pun terjadi, toh mesti kembali pada diri kita sendiri sebagaimana adanya….”
(Sang Bijak)
P. Kons Beo, SVD
Seorang teman pernah punya komentar menarik. “Jika tidak tahu harus mau buat apa lagi, orang-orang tertentu ini hanya mau habiskan waktu untuk omong dan terus omong. Selalu punya waktu untuk bicara, bercerita, bikin komentar ini itu yang tidak penting-pentingnya.”
Komentarnya ini hadir sebagai reaksi atas ungkapan hati dari teman lain yang bertanya penuh heran: “Mengapa kah orang-orang tertentu itu nampaknya punya banyak waktu untuk berleha-leha. Iya, selalu punya alasan bersibuk ria dengan hal yang reme temeh?”
Karena itulah, ya karena kurang banyak kerjaan, ada-ada saja tema yang menyerap waktu, tenaga dan perhatian untuk difokuskan. Padahalnya, jika dicermati? Seharusnya ada banyak hal yang dapat dilakukan. Bahkan ada hal yang lebih besar dan mendasar yang menjadi tanggungjawab dan kepercayaan yang dilimpahkan kepada orang-orang tertentu itu.
Kenyataannya…?
Lupa akan yang mendasar itu, orang bisa boroskan waktu yang jadi antitesis atau kontra dari yang pro kemajuan, perubahan dan perkembangan. Tak peduli akan apa yang harus diperbuat, nampaknya kita kelebihan waktu untuk bicara, bersantai, dan semakin tipis kesempatan untuk hal-hal yang kreatif dan produktif.
Satu catatan ringan sungguh menggelitik, “Kita terlalu kelebihan kelompok diskusi atau kebanyakan grup dengar pendapat, sampai kita sungguh kekurangan kelompok aksi dan tindakan.” Ini sepertinya diktum yang tampak benturkan gang narasi versus gang aksi atau kelompok diksi versus kelompok praksi.
Namun, persoalannya kiranya bukanlah pada pembedaan antar keduanya. Narasi dan aksi tetaplah menjadi pilar-pilar kemajuan. Tanpa saling menegasikan atau apalagi melenyapkan. Sebab orasi tanpa bukti nyata bisa dituduh sebagai pembodohan (publik). Sementara aksi, aksi dan terus beraksi tanpa basis tesis yang mumpungi bisa berakibat fatal pada kebobrokan yang tak orientatif.
Mari kita melaju pada tatanan spiritual…
Hal yang lebih jauh dapat disimak. Disinyalir, “Mudah untuk terlibat dalam kebutuhan dan masalah orang lain sehingga kita tidak punya waktu atau kekuatan untuk menghadapi kebutuhan kita sendiri.” Hingga masuk pada keterlibatan yang positif demi sesama, itu bisa saja teralami sebagai cara untuk tak peduli pada diri sendiri.
Siapa pun bisa keasyikan dan terkesima dalam ‘animasi aksi’ seperti dalam retorika pemberian diri demi sesama, pengorbanan, pahlawan demi sesama. Di situ kita merasa terhubung dengan sesama, dengan dunia luar. Dan kita masih sanggup ‘berkata dan berbuat’ sesuatu demi sesama. Tentu semuanya amatlah berarti.
Bagaimana pun…
“Pulang kepada diri sendiri mestilah menjadi satu jalan indah agar kemudian lebih berdaya dan berbuah.” Artinya? Bahwa apa yang terlahir dalam koridor kreativitas dan produktif, tidak secara sederhana bahkan kasar ternilai sebagai reaksi atau pembuktian terbalik dari ‘kegagalan dalam kebersamaan.’
Dalam banyak kenyataan, seorang individu dapat saja memberikan pikiran-pikiran kritis, tajam, dan sungguh mengagumkan dalam aneka refleksi yang berakar pada data dan sumber yang valid. Sayangnya pada individu itu tak (belum) tampak nyata dinamika pembaharuan atau transformasi diri yang adequat.
Maka, sejatinya, agar tak keenakan atau tepatnya keasyikan dalam kerepotan mengenai atau tentang perkara sesama (orang lain), siapapun seyogyanya merasa terpanggil untuk ‘pulang kepada diri sendiri.’ ‘Pulang kepada diri sendiri’ bukanlah satu gerak kembali untuk membangun ‘kerajaan diri yang egosentrik dan sempit.’ Bukan….
Tetapi sebaliknya….
“Sibuk dengan diri sendiri” itu adalah proses gerakan diri internal yang sehat. Di situ kita lepaskan teropong diri yang palsu, yang telah dipakai untuk melihat dan mempertahankan diri secara salah. Di situ pun kita belajar untuk batalkan, misalnya, sisi tilik sesama dalam eforia penuh puja-puji, yang sebenarnya tak layak kita dapati.
“Sibuk dengan diri sendiri” adalah satu pertarungan untuk melihat diri melalui cermin ataupun kacamata kerendahan hati. Kita sebagaimana adanya kita adalah cita-cita mulia dari ‘sibuk atau pulang kepada diri sendiri.’ ‘Rasa bersyukur serta sanggup memeluk diri sendiri’ yang indah serentak juga tak sedap-eloknya adalah sikap penuh sportif.
Ini semua tentu bukanlah jalan yang mudah. Si bijak lukiskan, “Kita sebenarnya tak bebas seperti apa yang kita rasa.” Sebab ‘masih ada nilai-nilai palsu yang tergenggam selama kita dibesarkan; oleh sakit hati dan penolakan yang teralami di masa lalu; oleh berbagai tekanan dan rasa bersalah yang tak benar hingga gambaran tentang diri sendiri dan harapan orang lain yang tak realistis. Ini belum lagi bila mesti berbicara seputar relasi kita dengan sesama yang banyak berbelitan tali-temalinya.’
Maka itulah sebabnya…
Bahwa kita memang mesti ‘kembali dan sibuk dengan diri sendiri.’ Agar lebih banyak ‘menghasilkan buah maka ranting-ranting diri yang kering dan palsu haruslahlah dipangkas. Demi bertumbuhnya tunas-tunas diri yang baru dan segar.’
Kita, sekali lagi, sudah terlalu banyak dan terlalu jauh masuk dalam hidup dan perkara sesama. Tentu, ini bukanlah hal yang diharamkan sekiranya ada intensi luhur demi kebaikan dan hidup sesama. Bagaimana pun harus pulang kepada diri sendiri adalah jalan indah baru yang mesti ditata. Demi ziarah hidup selanjutnya.
Kita memang mesti sibuk dengan diri kita sendiri. Di dalam doa dan keheningan serta ketulusan hati. Dengan cara inilah, setiap kita sebenarnya berusaha agar Tuhan tetap mendapatkan kita ‘sebagaimana adanya.’ Dan agar ‘Tuhan tetaplah tersenyum dalam KasihNya.’ Dan bukan tentunya untuk menghakimi kita.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro – Roma
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel