Dalam pertemuannya dengan petugas pemilu di daerah, mereka mengaku merasa tidak nyaman dengan kehadiran langsung aparat polisi, TNI, maupun aparatur desa saat menggelar rapat.
Padahal di pemilu-pemilu sebelumnya tak ada aparat yang datang. Mereka biasanya memantau lewat kamera CCTV yang terpasang di kantor KPU daerah.
“Para petugas pemilu ini agak kurang bebas ketika dalam acara-acara rapat ada aparat datang. Walau sah-sah saja ada polisi atau tentara, cuma ada ketidaknyaman.”
Yang dia khawatirkan, kehadiran fisik aparat polisi/TNI maupun aparatur desa/kecamatan/kelurahan yang menjadi kader partai tertentu mendatangi TPS.
Di sana, aparatur pemerintahan bisa saja mendekati pemilih dan secara terselubung mengajak agar memilih calon tertentu.
4. Indikasi kecurangan informasi teknologi Sirekap
Pada Pemilu 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan memanfaatkan Sirekap atau Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik.
Fungsinya membantu sistem rekapitulasi KPU, perhitungan, hasil perhitungan suara dari berjenjang (kabupaten/kota, provinsi) sampai ke pusat dengan cara memasukkan data ke sistem komputer.
Sirekap juga digunakan sebagai alat bantu dalam rangka mendokumentasikan hasil perolehan suara sementara di TPS dan untuk menyampaikan hasil perhitungan suara sementara secara cepat kepada publik.
Yang jadi masalah, kata Kaka, penggunaan Sirekap oleh petugas pemilu mulai dari KPPS dan PPK belum jelas betul. Begitu pula aturan mainnya.
Potensi kecurangan pun muncul ketika ada perbedaan jumlah suara antara yang tersimpan di sistem komputer Sirekap dan formulir C-1.
“Bagaimana kalau ternyata jumlah suara di sistem komputer dan di formulir C-1 berbeda? Mana yang dipakai?”
“Di sinilah sumber permasalahan dan kecurangannya.”
5. Mobilisasi pemilih yang diklaim masuk Daftar Pemilih Khusus
Kaka Suminta mengatakan ada perbedaan pengertian tentang Daftar Pemilih Khusus dalam Surat Edaran KPU nomor 66 dan Peraturan KPU (PKPU).
Di Surat Edaran tercantum bahwa daftar pemilih khusus yang punya Kartu Tanda Penduduk boleh mencoblos meskipun bukan di tempat domisili.
Sedangkan kalau merujuk pada UU, daftar pemilih khusus yang memiliki KTP bisa mencoblos asalkan tetap berada di wilayah domisili.
“Celah ini bisa dimanfaatkan untuk mobilisasi pemilih.”
“Kalau ada orang berbondong-bondong dari industri misalnya datang dalam jumlah banyak dan ada masalah administrasi lalu dibolehkan menggunakan surat suara, ini kan namanya mobilisasi.”
6. Kongkalikong mencoblos surat suara cadangan
Di setiap TPS biasanya tersedia 2% surat suara cadangan. Praktik kongkalikong yang marak terjadi pada pemilu 2019 yakni mencoblos surat suara cadangan tersebut.
Akan tetapi kecurangan ini tidak mungkin dilakukan hanya satu pihak saja, namun “didesain secara sengaja” oleh calon atau parpol maupun tim capres tertentu kepada penyelenggara pemilu.
“Jadi aktor utamanya di situ penyelenggara pemilu.”
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel