infopertama.com – Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menyebut potensi kecurangan saat pencoblosan hingga penghitungan surat suara pada Pemilu 2024 jauh lebih besar dari tahun 2019. Seperti apa potensi praktik kecurangan di tempat pemungutan suara (TPS)?
Sekjen KIPP, Kaka Suminta, mencatat setidaknya ada tujuh bentuk potensi kecurangan yang bakal terjadi di lapangan.
Mulai dari beli suara, kongkalikong mencoblos surat suara cadangan, hingga mobilisasi pemilih yang mengklaim masuk dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK).
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengatakan peranan sangat krusial dalam mengawasi proses pemungutan dan penghitungan ada pada Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS).
Untuk itulah mereka diminta jeli memastikan tidak ada catat prosedur.
Adapun masing-masing tim pemenangan capres-cawapres mengeklaim mereka punya strategi untuk mengawal suara mereka tak kecolongan pihak lawan.
Semisal TPN Anies-Muhaimin dan Prabowo-Gibran bakal menerapkan saksi berlapis di TPS. Kemudian TPN Ganjar-Mahfud menyiapkan 1,6 juta saksi di TPS.
Untuk diketahui pada Pemilu 2024, pemungutan suara akan dilangsungkan di 8.20.161 TPS di dalam negeri.
Apa saja modus kecurangan saat pencoblosan?
1. Vote buying alias beli suara
Sekjen KIPP, Kaka Suminta mengatakan praktik beli suara menjadi modus kecurangan konvensional yang kerap berlangsung di tiap pemilu.
Pada pemilu tahun ini, cara serupa dipastikan akan terjadi. Yakni calon anggota legislatif menjanjikan apa yang disebut ‘uang transportasi’ jika pemilih yang berada di dekat lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) memilih dia.
Pemberian ‘uang transportasi’ itu, sambungnya, bakal diberikan lagi begitu pemilih tersebut dipastikan telah mencoblos namanya di surat suara dengan bukti berupa foto atau video.
Besaran uang yang diberikan, kata Kaka, bervariasi. Tapi kebanyakan di angka Rp50.000-Rp200.000 per kepala keluarga.
“Praktik vote buying begini marak terjadi untuk caleg di semua tingkatan,” jelasnya pada BBC News Indonesia.
“Dan biasanya marak di daerah yang minim pengawasan dibanding perkotaan.”
2. Menyuap petugas KPPS, PPS, dan PPK
Di UU Pemilu ada petugas penyelenggara pemilu, mulai dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
KPPS bertugas melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara di TPS, mengumumkan hasil penghitungan suara di TPS, hingga menjaga serta mengamankan keutuhan kotak suara setelah penghitungan suara dan setelah kotak suara disegel.
PPS tugasnya mengawasi KPPS dan mengendalikan kegiatan KPPS, menandatangani daftar pemilih sementara dan daftar pemilih sementara hasil perbaikan.
PPK kerjanya mengawasi dan mengendalikan kegiatan PPS, menandatangani berita acara dan sertifikat rekapitulasi penghitungan suara bersama-sama anggota PPK, dan saksi peserta pemilu.
Intinya, menurut Kaka Suminta, para petugas itu “rawan digoda untuk berbuat curang”.
Praktik curang yang terjadi biasanya petugas KPPS ditawari uang agar mau ‘mentransfer perolehan suara’ dari caleg yang tak punya saksi di TPS.
“Jadi caleg yang tidak punya saksi itu berpotensi mengalami pengurangan atau pengalihan suara ke calon yang menguasai TPS itu dan diperkuat adanya pemberian uang.”
“Kalaupun ketahuan, dalihnya kekeliruan.”
3. Intimidasi penyelenggara pemilu
Fenomena kecurangan yang dikhawatirkan bakal meningkat, menurut dia, adanya intimidasi dari aparatur negara kepada penyelenggara pemilu.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel