Cepat, Lugas dan Berimbang

Polemik Poco Leok, Hery Nabit: Akan Berkelanjutan Karena Menguntungkan Banyak Pihak Tapi Bukan Orang Poco Leok

Polemik Poco Leok
Bupati Hery Nabit saat mengikuti diskusi daring Google Meet "Puan Floresta Bicara" pada Sabtu, 22 Maret 2025.

Ruteng, infopertama.com – Bupati Manggarai, Herybertus G.L. Nabit memprediksi polemik soal geothermal di Flores, terkhusus soal pengembangan di Poco Leok akan terus berkelanjutan. Berkelanjutan karena akan menguntungkan banyak pihak (kelompok penolak) tetapi bukan orang Poco Leok.

“Saya kira polemik ini (Poco Leok) akan berkelanjutan karena akan menguntungkan banyak pihak, kelompok-kelompok penolak. Tetapi, bukan (menguntungkan) orang-orang Poco Leok.” Ujar Hery Nabit dalam diskusi daring Google Meet Puan Floresta Bicara sesaat sebelum pamit mengikuti zoom online berikutnya, Sabtu, 22 Maret.

Polemik ini karena perdebatan soal geothermal Poco Leok masih menjadi debat kusir antara pemerintah bersama PLN dengan kelompok-kelompok tertentu yang getol menolak geothermal.

Sebagaimana diketahui bahwa aksi penolakan rencana Pemerintah tuk mewujudkan Flores Mandiri Energi dengan potensi lokal yang dimiliki seperti potensi panas bumi atau geothermal terus menjadi pro kontra.

Mayoritas masyarakat di Flores menyetujui atau mendukung rencana pemerintah mengembangkan potensi lokal Panas Bumi atau geothermal dikelola supaya ketergantungan Flores terhadap energi Fosil, Migas dan Batu bara berkurang.

Selain karena energi Migas dan batu bara kurang ramah lingkungan, persedian cadangannya pun semakin berkurang. Apalagi, keberadaan sumber-sumber energi tersebut berasal dari luar Flores.

Energi-energi Migas dan batu bara yang didatangkan dari luar itu memerlukan cost tinggi yang berbanding lurus dengan tingginya tarif dasar listrik atau TDL di Kepulauan Flores.

Namun, pada sisi lain ada kelompok tertentu juga yang tidak setuju atau menolak, dan memang harus dihargai dan didengar pendapatnya. Sayangnya, kelompok-kelompok ini sampai saat ini belum mau secara terbuka tuk duduk bersama dengan PLN mempresentasikan kajian-kajiannya sehingga menolak pengembangan EBT geothermal di Flores.

Data-data yang dimiliki media ini alasan-alasan penolakan yang selama ini terjadi lebih berdasarkan asumsi belaka, bukan berdasarkan kajian atau riset ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan, beberapa kelompok penolak menggunakan dasar biblis Kitab Kejadian sebagai alasan penolakan. Tentu, setelah narasi-narasi manipulatif soal isu lingkungan, tanah ulayat bahkan soal pelanggaran HAM.

Forum diskusi daring via google meet dengan 5 Nara sumber di antaranya Hery Nabit sendiri selaku Bupati Manggarai, Feliks Bahgi, SVD (Dosen di IFTK Ledalero), Tadeus Sukardin (Masyarakat Poco Leok), Alexander Aur (Dosen Filsafat UPH) dan Gregorius Lako (Masyarakat Mataloko) dan dipandu Suster Herdiana Randut.

Diskusi daring yang dipandu biarawati Sr. Herdiana Randut itu pertama-tama memberikan kesempatan kepada dosen IFTK Ledalero, Pater Feliks Baghi, SVD.

Demikian Feliks Baghi, SVD, dengan segala asumsinya dan menggunakan Kitab Kejadian pada Perjanjian Lama dalam teks Alkitab sebagai pendasaran Gereja dan Uskup di Keuskupan Gerejani Ende menolak geothermal di Flores.

Feliks Baghi bahkan mengkafirkan semua orang Katolik termasuk kaum klerus di Flores yang mendukung energi baru terbarukan, Geothermal dikembangkan di Flores. Terkait hal ini, anda bisa membaca selengkapnya pada artikel sebelumnya, Pater Feliks Baghi: Orang Katolik yang Mendukung geothermal Berarti Dia Orang Katolik yang Gagal.

Demikian Bupati Hery Nabit dalam diskusi daring itu lebih banyak merespon pertanyaan – pertanyaan peserta dan atau tuduhan-tuduhan tidak berdasar.

Marsel, yang mengikuti diskusi dari Maumere – Sikka bahkan mengutuk pemda Manggarai yang membiarkan PLN melakukan pengeboran di Poco Keok pada tahun 2019. Informasi ini, klaim Marsel ia ketahui dari tokoh-tokoh agama dan para NGO yang konsen menolak aktivitas pertambangan di Flores.

Terkait tudingan Marsel ini, sejatinya belum pernah ada pemboran di Poco Leok. Patut diduga, sebagaimana selama ini, narasi-narasi manipulatif terus-menerus disebarkan oleh kelompok-kelompok kontra pengembangan Geothermal di Manggarai.

Merespon Marsel, Hery Nabit memastikan bahwa sepengetahuannya berdasarkan data-data yang ada, belum pernah ada, tetapi akan dicek kembali . Hal lain, lanjut Hery Nabit sangat berterimakasih dan menjadi perhatian Pemda Manggarai agar transparansi hasil riset awal untuk disebarkan secara luas pada semua pihak.

“Apalagi ada isu soal tembaga itu, yah. Kalau benar seperti itu berarti memang penolakan akan lebih masif. Kalau tembaga kan berati tambang sudah itu, karena Geothermal ini bukan termasuk pertambangan.” Tutur Herybertus.

Hal berikut yang menjadi pertanyaan dalam diskusi daring “Puan Floresta Bicara” itu adalah soal SK Penetapan Lokasi atau penlok. Bahwa SK itu kata Hery Nabit adalah SK penlok, bukan Izin.

“Izin bukan dari saya, bukan. Izin itu pemerintah pusat. Kalau izin usaha pertambangan, izin pengeboran geothermal – eksplorasi maupun eksploitasi geothermal ini, izin itu dari pemerintah pusat. Jadi saya tidak dalam kapasitas memberi izin itu. Yang ada pada saya (kewenangan) hanya penetapan lokasi. Lokasi ini, ini ini silahkan berhubungan dengan pemilik lahan, itu SK Penlok.” Jelas Herybertus merespon pertanyaan banyak pihak soal tuntutan pencabutan SK.

Lebih lanjut, Hery Nabit memastikan bahwa soal PLTP Mataloko bagi pemerintah kabupaten Manggarai untuk menjadi patokan supaya jangan terulang lagi, jangan terjadi lagi seperti itu. 

“Artinya, supaya kita sama-sama memberi tekanan kepada PLN, saya memberi tekanan kepada PLN, masyarakat sipil di luar sana pun memberi tekanan kepada PLN untuk menyediakan tekhnologi yang menjamin kenyamanan bagi semua pihak.”

Terkait kompensasi hanya diberikan kepada pemilik lahan, sedangkan yang terdampak selama ini PLN sudah memberikan CSR meskipun belum bisa menjangkau semua. Ada banyak program CSR PLN dalam bentuk hortikultura, bibit, pupuk, air minum, budidaya ikan, peternakan, dll.

Dipaksa Menolak Geothermal

Dikonfirmasi soal pelibatan aparat keamanan di Poco Leok, Hery Nabit memastikan bahwa peran aparat keamanan pada sisi yang proporsioanal. Aparat keamanan yang dihadirkan di Poco Leok bukan untuk menekan siapapun. Tapi, untuk melindungi kegiatan-kegiatan yang legal secara aturan. Juga, untuk melindungi masyarakat yang tertekan oleh pihak lain.

“Saya juga harus beri tahu bahwa tekanan ini juga ada tekanan-tekanan terhadap masyarakat yang sudah menerima (Geothermal). Masyarakat yang sudah menerima juga sudah sering mendapat ancaman-ancaman dari beberapa pihak. Jadi ada pemaksaan di lapangan untuk menolak. Dan, kami harus menjamin hak dari semua pihak juga.” Tegas Nabit.

Rasio Elektrifikasi

Peserta lain yang ikut, Emanuel warga Tere yang merantau ke Jakarta menanyakan soal manfaat langsung geothermal bagi sesama saudaranya di Poco Leok. Hal itu, karena menurut Emanuel bahwa pengembangan geothermal Poco Leok hanya untuk kepentingan kapitalis di Labuan Bajo, bukan buat masyarakat Manggarai terutama di Poco Leok.

Menurut Nabit, secara rasio elektrifikasi Manggarai hampir 100 persen. Secara desa, Manggarai sudah 100 persen di angka 96-97 persen. Data yang ada, masih ada 29 dusun dengan 2.221 KK yang belum teraliri listrik (sambungan rumah).

“Kalau kita hanya melihat rasio elektrifikasi ini kita akan mengatakan sudah tidak masalah, sudah cukup. Tidak perlu lagi mengebor di mana-mana. Tapi, di PLN (listrik) itu ada istilah beban puncak, rasio elektrifikasi itu sekedar listrik masuk dalam rumah, asal terhubung saja, asal dapat. Nanti malam begitu ada yang hidupkan TV, hidupkan ricecooker, cas HP dan macam-macam itu akan menurun (redup). Itu artinya sumber (listrik) kita tidak stabil.” Beber Bupati Manggarai, Sabtu.

Ia menambahkan, per Desember 2024, kebutuhan listrik di Manggarai kalau beban puncak yakni biasanya pada malam hari ketika semua orang sudah berada dalam rumah, beban puncak di Manggarai 21 MW. Yang bisa terpenuhi dari PLTP Ulumbu dengan kapasitas 10 MW hanya pada angka 7.5 MW.

“Kebutuhan listrik Kabupaten Manggarai sampai dengan saat ini adalah 13,5 MW sampai dengan 21 MW (beban puncak antara jam 18.00 s/d 22.00) dengan jumlah penduduk 349.836 jiwa atau 103.080 KK. Sementara kapasitas PLTP Ulumbu Existing yang terletak di Desa Wewo hanya 7,5 MW, artinya kita kekurangan 6 MW sampai dengan 13,5 MW untuk kondisi sampai dengan hari ini. Belum kebutuhan untuk 10 tahun kedepan dengan pertumbuhan jumlah penduduk diperkirakan ± 410.000 jiwa dan pertumbuhan sektor ekonomi masyarakat yang membutuhkan daya listrik yang sangat besar.”

Untuk menutupi defisit tersebut, kita membutuhkan energi dari pembangkit di PLTMG Rangko Labuan Bajo, PLTU Ropa di Ende, Maumere dan sebagainya melalui jaringan SUTT interkoneksi Flores.

“Jadi kita masih kurang kalau beban puncak, kalau rumah tangga hampir semua terhubung tapi tidak bisa melayani semua kebutuhan. Artinya, kita masih kurang dan karena masih kurang itulah kita butuh hari ini.”

Tak lupa, Hery Nabit menyentil manfaat langsung yang ditanyakan Bapak Emanuel dengan sebuah ajakan reflektif ngopi bareng di Ruteng sekiranya pulang Libur.

“Pak Eman, nanti kalau pulang kita ngopi di Natas Labar, sore hingga malam itu waktu terbaik. Tak perlu bawa energi listrik dari Jakarta pak Eman, pun kalau pulang ke Jakarta tidak perlu jinjing geothermal dari Poco Leok.”

Sebab kata Hery Nabit, orang di Jakarta tidak melarang siapapun menggunakan listrik, termasuk pak Emanuel yang dari Poco Leok.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel 

Â