Aspek-Aspek
Kurang perhatian orang tua, kurangnya penanaman nilai-nilai agama berdampak pada pergaulan bebas. Dan, berakibat remaja dengan gampang melakukan hubungan suami istri sebelum nikah sehingga terjadi kehamilan dan pada kondisi ketidaksiapan berumahtangga dan untuk bertanggungjawab terjadilah aborsi.
Pada zaman modern, remaja sedang dihadapkan pada kondisi sistem-sistem nilai, dan kemudian sistem nilai tersebut terkikis oleh sistem nilai yang lain yang bertentangan dengan nilai moral dan agama. Seperti model pakaian (fashion), model pergaulan dan film-film yang begitu intensif remaja mengadopsi ke dalam gaya pergaulan hidup mereka termasuk soal hubungan seks di luar nikah dianggap suatu kewajaran.
Pengalaman menarik ditemui, yang semakin mengukuhkan hipotesis bahwa model pergaulan remaja di Yogyakarta cukup “bebas”. Pada suatu waktu, penulis menemukan alat-alat tes kehamilan berceceran di Bilangan Jalan Babarsari.
Tak berselang lama, sebuah kabar menyatakan ditemukan banyak kondom yang menyumbat saluran air toilet di suatu fakultas. Terakhir, kabar yang tak kalah mencengangkan lagi, pada saat malam tahun baru kemarin, penjualan kondom di apotek-apotek meningkat drastis. Yogyakarta adalah kota pelajar. Banyak remaja yang datang untuk menuntut ilmu. Implikasinya, budaya masyarakat setempat untuk menyediakan jasa indekosan atau pondokan.
Faktor-Faktor
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pergaulan bebas di kalangan remaja yaitu:
Pertama, Faktor agama dan iman. Kedua, Faktor Lingkungan seperti orang tua, teman, tetangga dan media.
Ketiga, Pengetahuan yang minim ditambah rasa ingin tahu yang berlebihan. Keempat, Perubahan Zaman.
Pembahasan
Berdasarkan teori dan permasalahan yang ada seharusnya bahwa faktor-faktor penyebab munculnya perilaku pergaulan bebas yang salah kaprah seperti orang tua, sekolah, masyarakat, dan agama, sangat penting untuk meningkatkan komunikasi dengan remaja. Pergaulan bebas adalah suatu bentuk pergaulan atau relasi sosial yang terjadi kapan dan di mana saja serta dengan siapa saja. Baik dengan sesama jenis, lawan jenis, dengan yang muda maupun yang tua, dalam kepentingan apa saja yang penting bisa tercipta komunikasi yang baik. Itulah arti pergaulan bebas menurut beberapa remaja putri masa kini.
Pergaulan bebas di sini bukan lagi bergaul dengan siapa saja dan di mana saja dari sisi positif. Tetapi lebih kepada bergaul dengan lawan jenis dan bebas berbuat apa saja. Tanpa ada orang yang menghalangi keinginan dari kedua insan untuk melakukan segala pergaulan bebas yang sebebas-bebasnya. Dan, seluas-luasnya merupakan “persepsi cara bergaul yang salah” dari para remaja sekarang.
Pernyatan ini dikemukakan oleh salah satu mahasiswi lulusan 2006 di salah satu AKPER swasta di Yogyakarta dalam penelitiannya yang berjudul “persepsi pergaulan bebas bagi para remaja dan akibatnya.”
Di sini peneliti lebih melihat side efect dari pergaulan bebas itu sendiri. Karena dalam hasil penelitiannya ditemukan banyak remaja putri yang hamil sebelum nikah atau yang lebih dikenal dengan istilah trendnya MBA (married by accident) akibat pergaulan bebas. Sesuatu yang mereka inginkan, inilah sisi negatif dari suatu pergaulan bebas. Orang tidak perlu menikah untuk melakukan hubungan seks. Sedangkan pelepasan tanggung jawab kehamilan bisa diatasi dengan aborsi. Legalisasi aborsi bukan sekedar masalah-masalah kesehatan reproduksi lokal Indonesia. Tapi, sudah termasuk salah satu pemaksaan gaya hidup kapitalis sekuler yang dipropagandakan PBB melalui ICDP (International Conference on Development and Population) tahun 1994 di Kairo Mesir.
Hasil penelitian juga memaparkan para remaja tersebut tidak memiliki pengetahuan khusus serta komprehensif mengenai seks. Informasi tentang seks (65%) mereka dapatkan melalui teman, Film Porno (35%), sekolah (19%), dan orangtua (5%). Dari persentase ini dapat dilihat bahwa informasi dari teman lebih dominan daripada orang tua dan guru. Padahal teman sendiri tidak begitu mengerti dengan permasalahan seks ini, karena dia juga mentransformasi dari teman yang lainnya.
Kurang perhatian orang tua, kurangnya penanaman nilai-nilai agama berdampak pada pergaulan bebas dan berakibat remaja dengan gampang melakukan hubungan suami istri sebelum nikah. Sehingga terjadi kehamilan dan pada kondisi ketidaksiapan berumah tangga dan untuk bertanggung jawab terjadilah aborsi. Seorang wanita lebih cendrung berbuat nekat (pendek akal) jika menghadapi hal seperti ini.
Sudah menjadi rahasia umum, kepedulian pemilik indekos terhadap aktivitas penyewa indekos menyebabkan ruang gerak tak pernah bisa diidentifikasi. Sederet alasan klasik yang mengemuka adalah menjaga privasi anak kos. Namun, argumen tersebut tak lebih dari cara pemilik untuk memasarkan kamar inde-kosannya. Tak bisa dibantah, preferensi yang berkembang dalam pembicaraan anak-anak rantau (terutama laki-laki) bahwa inde-kosan dengan peraturan yang cukup mengekang cenderung ditinggalkan. Beberapa konstruksi jender yang membedakan aturan antara laki-laki dan perempuan dipondokan.
Aturan yang berlaku pada pondokan perempuan biasanya lebih ketat. Berbeda halnya dengan pondokan laki-laki yang jauh lebih longgar. Misalnya tidak adanya peraturan jam malam, bahkan “diperkenankan” tamu perempuan masuk kamar! Maka, tak heran dalam perkembangannya pergaulan antarlawan jenis di Yogyakarta. Terutama di lokalisasi indekosan seperti daerah Seturan, Babarsari, dan Jalan Kaliurang, semakin bebas.
Aktivitas di indekosan sudah mengalami pergeseran. Tidak lagi hanya berkutat pada diskusi, belajar kelompok, mendengarkan radio, atau melihat TV. Remaja sekarang sudah biasa melakukan kegiatan di luar norma kesusilaan. Mulai dari nonton film biru sampai mabuk-mabukan, bahkan tak jarang “hang out” ke diskotek-diskotek atau “shaker-shaker (pencampur aneka minuman beralkohol). Aktivitas-aktivitas tersebut hanya “perangsang”, tahap selanjutnya adalah tindakan-tindakan kriminal yang sering bertebaran di media massa.
Pembunuhan keji, aborsi, perdagangan obat terlarang, perampokan, dan lain sebagainya adalah “output” dari kebebasan di indekosan yang kebablasan. Hendaknya fenomena “indekosan” ini ditangkap dengan sigap oleh pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten, untuk segera memberlakukan peraturan yang menertibkan secara jelas dan tegas.
Ruang abu-abu (grey area) akan memunculkan keleluasaan elemen masyarakat tertentu untuk melakukan tindakan main hakim sendiri yang cenderung anarkis. Seperti yang terjadi beberapa tahun lalu.
Beragamnya masyarakat terdiri atas berbagai kelompok dengan pluralisme gaya hidup dan aneka orientasi nilai multikultural. Mendesak segera diberlakukannya sebuah peraturan perundang-undangan sebagai institusi mencari keadilan.
Sebagaimana yang dituturkan Jurgen Habermas, dalam terpaan badai relativisme nilai-nilai dan meningkatnya risiko disensus dalam masyarakat, hukum dipandang sebagai sabuk pengaman terakhir bagi integritas sosial.
Mengacu pada konsep Habermas, hukum harus dipahami dalam konteks teori komunikasinya. Dalam artian, hukum di satu pihak mampu membuka ruang bagi tindakan-tindakan strategis. Sehingga hukum memang dapat dijadikan alat paksa. Di samping itu, hukum pun harus dihasilkan dari konsensus rasional (harus “legitimate”). Dengan posisi tengahnya ini, hukum tidak hanya dapat dipahami dalam wawasan bahasa moral dan bahasa pergaulan yang dipakai oleh masyarakat luas, melainkan juga bahasa sistemis yang dipakai oleh negara dan pasar.
Kesimpulan dan Saran
Telah jelas bagi kita tidak ada dasar bagi Rancangan pembentukan Undang-undang legalisasi aborsi karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, Agama dan Hukum yang berlaku. Legalisasi aborsi akan mendorong pergaulan bebas lebih jauh dalam masyarakat.
Orang tidak perlu menikah untuk melakukan hubungan seks. Sedangkan pelepasan tanggung jawab kehamilan bisa diatasi dengan aborsi. Sedangkan dilarang saja masih banyak terjadi aborsi, bagaimana jika hal ini dilegalkan?
Legalisasi akan berakibat orang tidak lagi takut untuk melakukan hubungan intim pranikah, prostitusi. Karena jika hamil hanya tinggal datang ke dokter atau bidan beranak untuk menggugurkan. Dengan kondisi ini dokter ataupun bidan dengan leluasa memberikan patokan harga yang tinggi dalam sekali melakukan pengguguran.
Yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana remaja dapat menempatkan dirinya sebagai remaja yang baik dan benar sesuai dengan tuntutan agama dan norma yang berlaku di dalam masyarakat. Serta, dituntut peran serta orang tua dalam memperhatikan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari anaknya. Memberikan pendidikan agama dan memberikan pendidikan seks yang benar. Oleh sebab itu permasalahan ini merupakan tugas seluruh elemen bangsa tanpa terkecuali. Tujuaannya agar menjadi sebuah proritas dalam penanganannya agar tidak terjadi kematian disebabkan aborsi tersebut.
Bagi kawan-kawan mahasiswa psikologi sangat diharapkan peran sertannya untuk mengkomunikasikan pergaulan bebas yang baik dan benar. Atau, dalam perannya sebagai calon Psikolog mampu memberi gambaran kepada para remaja tentang arti dan makna dari pergaulan bebas.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel
