Cepat, Lugas dan Berimbang

Pembangunan dan Kebuntuan Naratif

Disadari atau tidak, inilah alasan paling masuk akal mengapa kelompok penolak pembangunan selalu “memanfaatkan” kaum perempuan terutama ibu-ibu renta, untuk menjadi garda terdepan dalam aksi demonstrasi. Akan tetapi, aksi-aksi demonstrasi dalam pembangunan adalah hal yang normal dan patut diapresiasi tinggi. Inilah bukti nyata bahwa nafas demokrasi memang berhembus sampai ke nurani masyarakat Indonesia.

Dalam pada itu, aksi-aksi yang terjadi harus diakui sebagai partisipasi aktif publik dalam memperjuangkan keadilan sosial.

Namun demikian, kita tidak boleh menapik bahwa aksi-aksi kelompok penolak pembangunan tidak jarang di luar kelogisan. Misalkan saja kelompok penolak geotermal Poco Leok yang mana dalam lingkup rencana pembangunan PLTP Ulumbu Unit 5-6. Kelompok yang menjadikan ibu-ibu renta sebagai barisan terdepan dalam aksi demonstrasi tersebut, sama sekali tidak memiliki alasan-alasan logis menolak geotermal. Prinsip pokoknya tolak selalu saja menjadi senjata pamungkas.

Kenyataan seperti ini menimbulkan anggapan bahwa kelompok penolak di sana semacam hasil hasutan. Katakanlah hasil dari agitasi dan propaganda bahkan dokrtin. Tidak sampai pada aksi lapangan, kelompok penolak juga aktif menebarkan narasi-narasi tentang ketidakadilan negara terhadap masyarakat Poco Leok. Sering kali dinarasikan bahwa proyek geotermal mengabaikan hak-hak masyarakat Poco Leok; negara terlampau hegemonik; geotermal kepentingan kapitalisme hijau; masyarakat teralienasi dengan hakikatnya sebagai manusia adat; dan sebagainya.

Narasi-narasi yang ditebarkan secara masif dan terus menerus tentang ketidakadilan negara sekaligus keadilan subyektif penolak dalam proyek geotermal Poco Leok, pada akhirnya semakin memudahkan kita untuk menyadari pola yang ada.

Ada dua (2) pola yang paling mudah ditemukan. Pertama, post truth. Pola ini rasanya tidak perlu diterangkan secara panjang lebar. Pengertian paling sederhana post truth adalah suatu karangan tentang kebenaran atau kebohongan yang disuarakan secara terus menerus akan dianggap sebagai kebenaran.

Contohnya, mengatakan agama A adalah yang paling dicintai Allah dengan dibeberkan alasan-alasannya. Jika hal ini dikatakan secara masif dan terus menerus maka akan menjadi sebuah kebenaran (diakui secara umum). Akibatnya, banyak yang berpaling dari agama sebelumnya dan memeluk agama A tersebut. Padahal, kenyataannya belum tentu demikian. Pola post truth pada dasarnya mencari simpati publik untuk mengikuti kehendak mereka.

Begitu pula dalam konteks menolak geotermal Poco Leok. Pola post truth sudah sangat tampak. Kelompok penolak melalui medianya selalu menebarkan narasi-narasi menakutkan seperti geotermal merusak lingkungan; menggagalkan hasil panen; longsor; mengabaikan hak-hak masyarakat dan adatnya; dan lainnya.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel