Cepat, Lugas dan Berimbang

Pancasila, Agama, dan Kita: Merajut Kerukunan di Lingkungan Akademis

Ruteng, infopertama.com – Ketua Yapersukma Ruteng, RD Patrick Guru, S.Fil, S.Psi menjadi salah narasumber dalam giat penguatan relawan kebajikan Pancasila kepada masyarakat Manggarai, di Aula St. Aloysius Efata – Ruteng, Jumat, 10 Oktober 2025.

Kegiatan tersebut diadakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Kabupaten Manggarai yang bertuan menjawab kebutuhan untuk membina, menguatkan, dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila di tengah berbagai tantangan zaman.

RD Patrick Guru, mengawali materinya dengan mengajak 500-an peserta kegiatan merenung sejenak, bahwa kita datang dari berbagai latar belakang, keyakinan, dan daerah. Namun, kita disatukan oleh satu atap institusi dan satu semangat intelektual. Inilah miniatur Indonesia yang sesungguhnya. Sebuah mozaik yang indah karena perbedaannya.

Keberagaman ini, kata RD Patrick, bukan kelemahan, melainkan kekuatan intelektual dan sosial kita. Dan ada satu fondasi filosofis yang kokoh menjaga kekuatan ini, yaitu Pancasila!

Demikian RD Patrick menegaskan akan membahas Pancasila dari perspektif tekstual semata, yang mungkin sudah sering kita kaji di kelas. “Kita akan berdialog tentang bagaimana Pancasila menjadi jiwa dan panduan relevan bagi kita, sebagai insan akademis, dalam merawat kerukunan antarumat beragama di tengah tantangan zaman.”

Pancasila dan Agama, Sebuah Korelasi Erat

Menurutnya, ada anggapan bahwa Pancasila dan agama adalah dua domain terpisah. Padahal, keduanya memiliki korelasi yang sangat erat dan saling menguatkan.

Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa Sila ini bukan sekadar pengakuan teologis, melainkan penegasan bahwa etika dan moralitas bangsa kita bersumber dari nilai-nilai luhur keagamaan. Di dunia kampus, ini berarti setiap ilmu pengetahuan yang kita kembangkan hendaknya berlandaskan pada moralitas ketuhanan, demi kemaslahatan umat manusia.

Sila ini menjamin kebebasan beragama, yang juga mencakup kebebasan untuk mengekspresikan pemikiran keagamaan secara bertanggung jawab dalam forum-forum akademis, tanpa rasa takut.

Sila Ketiga: Persatuan Indonesia

Di tengah arus globalisasi, identitas kebangsaan kita diuji. Sila ketiga mengajak kita untuk menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan golongan. Di kampus, ini bisa berarti kolaborasi lintas UKM Kerohanian, diskusi ilmiah yang melibatkan berbagai perspektif agama, atau proyek pengabdian masyarakat yang tidak memandang sekat keyakinan.

Persatuan adalah harmoni dalam orkestra intelektual. Setiap gagasan, walau berbeda, berkontribusi pada simfoni pengetahuan yang lebih kaya.

Intinya: Agama memberikan kedalaman spiritual dan moral, sementara Pancasila menyediakan ruang publik yang aman dan adil bagi semua keyakinan untuk tumbuh bersama dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa.

Implementasi Nyata Kerukunan (Studi Kasus di Sekitar Kita)

Kerukunan bukan konsep abstrak, melainkan tindakan konkret.

Pada Skala Nasional, kita bisa melihat bagaimana Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta menjadi simbol harmoni. Saat hari besar satu agama, umat agama lain turut serta menjaga keamanan dan kenyamanan.

Sementara untuk Skala Lokal: Di berbagai daerah, tradisi seperti Ngejot di Bali atau Pela Gandong di Maluku menunjukkan bagaimana kearifan lokal merawat persaudaraan lintas iman.

Skala Kampus: Di lingkungan perguruan tinggi, kita sering melihat Unit Kegiatan Mahasiswa kerohanian yang berbeda-beda bisa berkolaborasi dalam acara bakti sosial, seminar kebangsaan, atau bahkan kegiatan olahraga bersama. Ini adalah Pancasila dalam praksis.

“Itu semua adalah bukti bahwa toleransi dan kerukunan telah menjadi DNA sosial kita.”

Tantangan Generasi Intelektual di Era Digital

Sebagai insan akademis, kita memiliki tanggung jawab lebih dalam menghadapi tantangan zaman.

Disinformasi dan Ujaran Kebencian: Di era pasca-kebenaran (post-truth), berita bohong yang memanipulasi sentimen agama menyebar dengan cepat. Tugas kita, sebut RD Patrick Guru adalah menjadi agen literasi kritis, yang tidak mudah percaya dan selalu melakukan verifikasi (tabayyun).

Sementara, pada Gema Ruang Digital (Echo Chamber): Algoritma media sosial cenderung mengurung kita dalam “gelembung” informasi yang sesuai dengan pandangan kita. Ini berbahaya karena bisa menciptakan eksklusivitas dan mereduksi empati terhadap mereka yang berbeda.

Radikalisme dan Ekstremisme: Paham-paham yang menolak keberagaman seringkali menyasar kaum muda dan terpelajar dengan narasi yang seolah-olah logis. Kampus harus menjadi benteng yang kokoh untuk menangkal ideologi-ideologi tersebut dengan wacana yang sehat dan inklusif.

Menjadi Intelektual Penjaga Kerukunan

Pancasila bukanlah dogma mati. Agama bukanlah sebatas ritual. Keduanya adalah sumber inspirasi untuk bertindak.

Tugas merawat kerukunan adalah panggilan intelektual dan moral bagi kita semua. Masa depan wajah toleransi Indonesia sangat bergantung pada bagaimana generasi terdidiknya bersikap hari ini.

Apa peran konkret kita?

Mengedepankan Tabayyun dan Literasi Kritis: Biasakan untuk selalu mengecek kebenaran informasi sebelum menyebarkannya. Gunakan kemampuan analisis kita untuk membedah narasi yang berpotensi memecah belah.

Membangun Dialog Intersubjektif: Jangan takut untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dengan rekan-rekan yang berbeda keyakinan. Ruang-ruang dialog adalah vaksin terbaik melawan prasangka.

Menjadi Teladan di Lingkungan Masing-Masing: Tunjukkan sikap saling menghargai dalam interaksi sehari-hari, baik di dalam maupun di luar kelas.

Ia mengajak, sebagai insan akademis di kampus, menjadi garda terdepan dalam merawat tenun kebangsaan. Jadikan Pancasila sebagai landasan berpikir dan nilai-nilai luhur agama sebagai sumber moral dalam setiap karya dan pengabdian kita.

Karena Indonesia yang rukun dan beradab adalah warisan terbaik yang bisa kita persembahkan bagi peradaban.

                    

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel