Cepat, Lugas dan Berimbang

Merah Putih di Meja Makan

Oleh Jefrin Haryanto

Setiap 17 Agustus, langit Indonesia merona merah dan putih, bendera berkibar gagah, dan lagu kebangsaan berkumandang. Semangat nasionalisme membuncah, hati berdebar, dan kita serentak mengingat janji para pendiri bangsa.

Namun, ketika riuh upacara itu mereda, dan bendera sudah dilipat, satu pertanyaan sederhana tapi tajam tetap mengusik: Apakah kemerdekaan itu sudah benar-benar sampai ke meja makan rakyat kecil?

Kemerdekaan, sejatinya, bukan hanya soal simbol—bendera, lagu, dan tanggal yang dirayakan. Ia adalah sebuah perjalanan panjang yang harus dirasakan dalam detak hidup sehari-hari: dari setiap butir nasi yang masuk ke mulut, dari setiap pelajaran yang diterima anak-anak di sekolah, dari setiap tetes harapan yang mengalir di ruang perawatan rumah sakit.

Kita telah merdeka selama lebih dari delapan dekade. Tapi angka-angka tak pernah bohong. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Gini Ratio Indonesia pada Maret 2025 masih 0,375, tanda ketimpangan sosial-ekonomi yang membentang lebar—seperti jurang yang memisahkan kota dan desa, kaya dan miskin.

Di Jakarta, Bandung, dan Surabaya, layanan digital melayani siapa pun yang ingin memesankan makanan dengan jari, sementara di desa-desa terpencil di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagian besar keluarga masih bergantung pada hasil panen yang tak menentu untuk sekadar makan sehari.

Kelas menengah, yang selama ini dianggap sebagai tulang punggung ekonomi, mengalami penyusutan dari 21 persen menjadi 17 persen dalam beberapa tahun terakhir. Bayangkan, kekuatan ekonomi yang menopang bangsa ini perlahan melemah, dan yang tertinggal semakin jauh.

Lihatlah wajah NTT hari ini, Provinsi yang kaya dengan tradisi, budaya, dan keindahan alam, tetapi juga salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Angka kemiskinan kita, masih sekitar 19 persen—dua kali lipat dari rata-rata nasional. Di mana anak-anak belajar? Di sekolah-sekolah yang jaraknya berpuluh kilometer, dengan fasilitas minim, dan internet yang masih menjadi kemewahan. Ketika anak-anak kota belajar coding dan robotik, anak-anak NTT berjuang melawan keterbatasan teknologi dan akses.

Dalam dunia kesehatan, pembangunan gedung-gedung rumah sakit megah bukan jaminan layanan prima. Di berbagai daerah termasuk kita di NTT, kekurangan dokter spesialis menjadi penghalang utama. Pasien harus menempuh perjalanan jauh ke ibu kota provinsi, atau bahkan ke Pulau Jawa, demi harapan hidup yang lebih baik. Di tengah laju pembangunan, kenapa suara-suara kecil dari sudut-sudut negeri masih sulit didengar?

Tan Malaka, sang pemikir besar, mengingatkan kita: “Kemerdekaan nasional hanyalah jembatan.” Sebuah jembatan panjang yang menghubungkan kita dengan tujuan utama—keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Jembatan itu belum tuntas, bahkan masih banyak jalan berlubang dan tanjakan curam yang harus dilalui.

Pendidikan dan kesehatan, dua pilar utama kemerdekaan, masih menjadi medan pertempuran. Sekitar 20 ribu sekolah di Indonesia belum terhubung internet, meninggalkan jutaan anak di pelosok semakin jauh dari kemajuan zaman. Sementara di perkotaan, anak-anak sudah menulis kode, memahami algoritma, dan merangkai masa depan digital.

Kemerdekaan sejati adalah saat nasi di meja makan tidak hanya cukup, tapi bergizi. Saat anak-anak mendapat pendidikan yang setara tanpa dibatasi oleh geografis. Saat layanan kesehatan tidak menjadi barang mewah, tapi hak yang mudah dijangkau.

Jika belum, kita hanya merayakan bayang-bayang. Merah putih di langit menjadi lukisan yang cantik tapi kosong makna.

Maka, mari kita renungkan kembali arti kemerdekaan. Bukan hanya tentang simbol, tapi tentang kerja keras sehari-hari—mengikis ketimpangan, membuka akses pendidikan dan kesehatan, dan memastikan semua rakyat Indonesia merasakan keadilan dan kesejahteraan.

Kibarkan merah putih bukan hanya di udara, tapi di setiap meja makan, di setiap sekolah, dan di setiap rumah sakit. Karena hanya dengan begitu, kemerdekaan akan bermakna. Ia akan hidup, berdenyut, dan menjadi janji yang tak pernah berhenti ditepati.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel