Cepat, Lugas dan Berimbang

Mengapa Bu*uh Diri? Manusia dalam Ruang Dilema Eksistensi menurut Erich Fromm

Beberapa pengalaman memengaruhi pikiran Fromm, antara lain pada umur 12 tahun dia menyaksikan seorang wanita cantik dan berbakat, sahabat keluarganya, bu*uh diri. Fromm sangat terguncang karena kejadian itu. Tidak ada seorang yang memahami mengapa wanita tersebut memilih bu*uh diri. Dia hidup dalam satu rumah tangga yang penuh ketegangan. Ayahnya seringkali murung, cemas, dan muram. Ibunya mudah menderita depresi hebat. Masa kecilnya merupakan suatu laboratorium yang hidup bagi observasi terhadap tingkah laku neurotis. Peristiwa ketiga adalah pada umur 14 tahun Fromm melihat irasionalitas melanda tanah airnya, Jerman, tepatnya ketika pecah perang dunia pertama (Aulia Nastiti. “Pemikiran Erich From Dalam Teori Kritis”. Kompasiana, 30 April 2012).

Menurut Fromm hakikat manusia bersifat dualistik. Ada empat dualistik manusia yang merupakan kondisi dasar eksistensi manusia (Universitas Psikologi. Kisah Erich Fromm (Eksistensi Manusia) dan Tipe Kepribadian Sehat. 2018/07). Penulis mencoba untuk menguraikan alasan mengapa orang bu*uh diri dalam pokok pemikiran Fromm ini.

Pertama, Manusia sebagai binatang dan sebagai manusia

Manusia sebagai binatang memiliki banyak kebutuhan fisiologik yang harus dipuaskan, seperti kebutuhan makan, minum, dan kebutuhan seksual. Kecenderungan manusia yang terlalu terobsesi dengan daya tarik fisiologi ini bisa membawa manusia pada suatu jalan buntuh. Hasrat animal yang terlalu dominan bisa saja menekan daya kritis rasional dan kesadaran seseorang hingga mendorongnya pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan naluriah secara irasional. Hakikat manusia sebagai binatang ini seringkali menyiksa manusia jika bertolak belakang dengan apa yang khas bagi manusia. Perasaan lembut, cinta, kasihan, perhatian, tanggung jawab, nilai, ini semua lahir dari manusia yang memiliki kebutuhan kesadaran diri, berpikir, dan berimajinasi.

Pertentangan ini seringkali menimbulkan rasa bersalah pada manusia, rasa sesal, dan depresi. Dengan kata lain kesadaran manusia sebagai manusia terhadap realitas kebinatangan itu membuat manusia tidak bebas. Meminjam ungkapan Sartre, “manusia terpenjara di dalam kesadarannya sendiri”. Sehingga bagi Sartre jalan keluarnya supaya manusia bisa bebas dari kesadaran itu ialah dengan memilih menjadi tidak sadar atau bunuh diri.

Kedua, Hidup dan mati

Dinamika kehidupan bergerak tanpa henti seolah-olah manusia bakal hidup abadi, setiap orang tanpa sadar mengingkari kematian yang baka dan berusaha bertahan di dunia yang fana. Dalam penghayatan terhadap hidup manusia selalu ingin bebas mewujudkan diri.

Namun pada satu sisi manusia dalam hidupnya dilingkupi oleh nilai-nilai sebagai sistem yang mengatur perilaku. Nilai-nilai itu bersifat wajib karena dibuat untuk pencapaian tujuan hidup manusia. Kegagalan manusia dalam menginternalisasi nilai-nilai ini bisa saja membawa manusia pada beban tanggung jawab sosial yang besar terhadap hidup. Apalagi nilai-nilai yang manusia temukan dalam hidupnya itu seringkali sangat plural dan menuntut suatu penerimaan yang toleran. Kegagalan sosialisasi diri di tengah keberagaman nilai ini juga banyak membuat manusia jatuh dalam idealisme-idealisme dangkal. Melihat yang berbeda sebagai ancaman bagi eksistensi saya. Sehingga tidak jarang lahir sikap-sikap radikal yang menanamkan doktrin bahwa ketika saya mati bersama orang-orang yang berbeda pegangan nilai dengan saya adalah berkat bagi saya di kehidupan baka. Maka, ada banyak aksi bom bunuh diri yang masif terjadi.

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel