Oleh Jefrin Haryanto
infopertama.com – Kita telah lama terbiasa mengukur anak-anak dengan angka. Nilai 100 seperti mahkota. Nilai 60 seperti aib. Padahal, tidak semua yang bernilai bisa diberi nilai. Dan tidak semua angka mencerminkan pemahaman.
Kini, kurikulum berubah. Istilahnya: kurikulum merdeka.
Di dalamnya, ada sesuatu yang menarik—gagasan tentang pembelajaran mendalam, profil pelajar Pancasila, dan pendekatan berbasis proyek. Ada harapan baru: bahwa sekolah tak lagi mengejar kecepatan, tapi kedalaman.
Bukan hanya mencetak jawaban benar, tapi juga rasa ingin tahu yang jujur.
Tapi, pertanyaannya: bisakah rasa hidup di ruang yang selama ini hanya mengenal skor?
Data dari Kemendikbudristek 2024 menyebut, rata-rata indeks literasi siswa Indonesia masih berada di bawah standar negara-negara ASEAN—Indonesia mendapat skor 371 dalam tes PISA (2022), jauh di bawah Singapura (543) dan Vietnam (487).
Artinya, banyak siswa bisa membaca… tapi tak memahami apa yang dibaca. Mereka bisa menjawab soal, tapi belum tentu bisa menjelaskan mengapa jawabannya benar.
Itu bukan semata kesalahan siswa. Itu adalah warisan dari kurikulum yang lama: yang mengagungkan hafalan, mengejar capaian, dan menjadikan angka sebagai satu-satunya ukuran keberhasilan.
Kurikulum rasa—seperti yang kini dicoba diusung—menginginkan sebaliknya.
Ia mengajak guru untuk menilai proses, bukan hanya produk.
Mengajak murid untuk bertanya, bukan hanya menjawab.
Dan yang lebih penting: menghidupkan rasa—kepedulian, empati, kreativitas.
Namun, sebagaimana semua cita-cita, yang ideal seringkali terganjal yang praktis.
Banyak guru masih bingung menyesuaikan.
Banyak sekolah belum memiliki sumber daya untuk menerapkan pembelajaran kontekstual.
Ada pula kekhawatiran diam-diam: jika semua terlalu lentur, bagaimana mengukurnya?
Tapi mungkin, memang tak semua hal harus diukur. Mungkin yang kita perlukan bukan hanya instrumen baru, tapi keberanian baru.
Untuk percaya bahwa pendidikan bukan pabrik nilai, tapi ruang bertumbuhnya manusia.
Saya teringat seorang guru di Flores yang berkata, “Saya ajarkan anak-anak tentang hujan, bukan hanya dari buku IPA. Tapi dengan mendengar suara genteng, mencium bau tanah basah, dan menulis puisi tentang mendung.” Itu pelajaran yang tidak akan muncul dalam soal pilihan ganda.
Tapi justru di situlah pendidikan menemukan maknanya: ketika pelajaran tidak hanya masuk otak, tapi menyentuh hati.
“Kata bukanlah benda mati. Ia hidup, jika menyentuh rasa.”
Mungkin kurikulum juga begitu. Ia bukan hanya seperangkat silabus, tapi semacam peta rasa.
Ia harus mengajak guru menyentuh nurani, dan murid menemukan dirinya—di luar angka.
Karena itu, kurikulum baru ini tak hanya mengubah isi pelajaran.
Ia sedang—dalam senyap—menguji sesuatu yang lebih dalam:
Apakah kita masih percaya bahwa pendidikan adalah soal rasa, bukan hanya skor?
Jika jawabannya ya,
maka pelan-pelan, kita bisa berhenti membentuk anak-anak menjadi nilai.
Dan mulai membentuk mereka menjadi manusia.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel