Cepat, Lugas dan Berimbang

Kisah Ibrahim Bin Adam Menjadi Sufi

Oleh Edi Danggur

Pada abad ke-9 Masehi, yang menjadi raja di Afganistan Utara, tepatnya di Balkh, adalah Ibrahim bin Adam. Ia dikenal sebagai seorang raja yang bijaksana dan saleh.

                    

Ia dianggap bijaksana karena sejak diangkat jadi raja, ia sudah langsung mengumumkan tidak akan menjadi raja seumur hidup.

Tidak seperti pemimpin politik di berbagai negara yang umumnya gila kuasa atau jabatan. Mereka berusaha mengobrak-abrik konstitusi agar bisa berkuasa lebih lama atau mewariskan kekuasaan kepada anak atau orang lain yang bisa disetir.

Ia juga tidak ikut cawe-cawe dalam menentukan siapa raja sesudahnya saat ia akan meninggalkan istana. Sebab, ia tidak punya kepentingan apa pun tentang siapa yang akan menggantikannya sebagai raja.

Ketika tiba waktunya mengundurkan diri sebagai raja, ia menyatakan kehendaknya untuk mencari kebenaran spiritual. Ia tinggalkan semua kekayaan berlimpah dan kekuasaan besar itu di istana.

Atas saran beberapa orang penasehat spiritualnya, ia berjalan kaki menuju sebuah desa dalam rangka mencari kebenaran spiritual. Ia kini seperti orang miskin dan tanpa kuasa.

Begitu ia sampai di sebuah desa yang dituju, ia melihat seseorang sedang berjalan mengendap-endap di atap rumah, seolah-olah hendak mencari sesuatu. “Apa yang sedang kau cari?”, tanya Ibrahim bin Adam.

Mungkin saja pertanyaan Ibrahim bin Adam itu terasa mengganggunya, maka orang itu menjawab dengan ketus: “Saya sedang mencari unta”.

Ibrahim bin Adam menggeleng-gelengkan kepalanya seolah-olah menertawakan kebodohan orang itu: “Kau orang paling bodoh, mencari unta di atap rumah. Mana mungkin ada unta di atap rumah?”, kata Ibrahim bin Adam.

Orang itu terlihat geram saat dikatai sebagai orang bodoh. Dengan sengit ia mengatakan: “Ibrahim bin Adam, kau justru jauh lebih bodoh lagi. Sebab, engkau mencari Tuhan di tempat tidur istana penuh emas”.

Ibrahim bin Adam tertegun dan menundukkan kepalanya untuk menyatakan rasa hormatnya kepada orang yang ada di atap rumah itu.

Sejak saat itulah Ibrahim bin Adam memantapkan tekadnya untuk menjadi sufi. Apakah sufi itu? Sufi itu mirip mistikus dalam tradisi Katolik.

Kedua istilah itu mempunyai arti yang sama, bahwa mereka menekankan pentingnya kesadaran diri, kebersamaan dengan Tuhan, dan pengalaman spiritual mendalam.

Sebagai seorang sufi, Ibrahim bin Adam selama sisa hidup hanya berfokus pada tauhid atau kesatuan dengan Tuhan, kebajikan dan kasih sayang, kesabaran dan ketekunan.

Kini, jalan hidup Ibrahim bin Adam menginspirasi banyak orang di dunia bahwa kebahagiaan sejati datang dari dalam diri, bukan dari kekayaan atau kekuasaan.

Ia sadar bahwa ia harus rendah hati dan meninggalkan kesombongan. Itulah prasyarat untuk bisa menemukan kebijaksanaan spiritual bagi seorang sufi.

Jakarta, Minggu Epifani, 5 Januari 2025

Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel