Kupang, infopertama.com – Hari Tani Nasional yang peringati setiap 24 September, merupakan momentum peringatan atas perjuangan hak-hak petani akibat sejarah ketimpangan agrarian yang masif terjadi di Negara ini. Namun, perjuangan panjang kedaulatan petani sampai saat ini berhadapan dengan berbagai kebijakan pembangunan yang tidak pro pada kepentingan petani.
Dalam catatan WALHI NTT, beberapa investasi proyek skala besar berpotensi semakin menambah persoalan baru bagi masa depan Petani di NTT. Proyek pertambangan, monokultur, pariwisata super premium serta proyek strategis nasional (PSN), banyak yang mengabaikan hak petani di tingkat tapak.
“Provinsi NTT saat ini dikepung oleh berbagai investasi kotor yakni investasi yang berdampak buruk pada lingkungan serta investasi yang merampok ruang penghidupan rakyat, tersebar di seluruh wilayah NTT.”
Penyebaran Investasi di NTT
WALHI NTT mencatat di tiga pulau besar dan beberapa pulau kecil di NTT tersebar beberapa investasi yang berpotensi akan menambah kekritisan wilayah NTT. Pulau Flores terdapat 3 pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), pariwisata super premium, 65 IUP tambang minerba, 3 bendungan PSN, monokultur.
“Di Pulau Sumba, 52.000 hektar monokultur tebu dan jarak oleh PT.MSM, pariwisata super premium, 6 IUP minerba. Pulau Timor, 204 IUP minerba, 1 buah smelter, 4 bendungan PSN. Alor, 12 IUP minerba. Sabu, 2 IUP minerba. Rote, 15 IUP minerba.”
Semua jenis investasi ini, demikian WALHI NTT berpotensi besar pada perampasan lahan, alih fungsi kawasan, dan privatisasi sektor sumber daya alam yang akan berdampak langsung bagi petani di NTT.
Imanuel tampani, seorang petani sekaligus aktifis rakyat dalam konferensi pers yang ia sampaikan di WALHI NTT membenarkan situasi ini. Kondisi akses petani ke wilayah kelola pertanian khususnya di daratan timor saat ini sangat terbatas.
Ada ketimpangan distribusi tanah bagi petani oleh pemerintah. Menurut Imanuel pemerintah melakukan ini tidak secara adil. Masih banyak petani di daratan Timor yang belum memiliki lahan pertanian yang cukup untuk keberlanjutan hidupnya. Selain itu, ada kearifan lokal yang hilang di petani. Perhitungan secara lokal khususnya hasil pertanian yang peruntukannya bagi kebutuhan pangan dan ekonomi petani mulai hilang. Artinya tidak saja distribusi tanah yang timpang terjadi, namun akses pengetahuan bagi petani sangat terbatas. Selain itu, hilangnya bibit lokal sebagai akibat dari masuknya bibit baru juga berdampak pada ketahanan hasil produksi pertanian.
Memaksa petani meninggalkan pola lokal yang ramah lingkungan dan beralih pada kepentingan pasar atau kepentingan kapitalis yang rakus lahan serta berpotensi merusak lingkungan.
Kondisi tersebut menguatkan temuan WALHI NTT terkait dengan sasaran pembangunan yang tidak pro pada kepentingan petani.
Pertama, Membatasi akses petani ke wilayah kelola akibat privatisasi dan alih fungsi lahan yang tidak berbasis pada kajian keberlanjutan lingkungan. Perampasan lahan untuk kepentingan investasi serta proyek infrastruktur seringkali terjadi di NTT. Salah satunya PSN Bendungan Lambo, lahan produktif warga dijadikan sebagai lokasi pembangunan bendungan. Tawaran perpindahan lokasi ke lokasi yang secara ekologis tidak terlalu berdampak pada masyarakat ditolak oleh pemerintah.
Selain itu monokultur skala besar dengan jenis tanaman rakus air juga dipaksakan dan berujung pada perampasan lahan serta menambah tingkat kritis wilayah akibat privatisasi air dan perubahan lahan yang masif.
Kedua, Hilangnya fungsi kontrol petani atas kebijakan pembangunan di NTT. Petani tidak diberi ruang yang besar untuk menentukan masa depan pertaniannya. Seringkali masa depan petani tidak dipikirkan secara komprehensif dengan melibatkan petani. Petani seringkali dipandang sabagi obyek yang jarang didengarkan pendapatnya terkait arah pengembangan pertanian sebelum dikeluarkan suatu kebijakan. Kebijakan yang lahir justru memberikan dampak negatif bagi petani.
Ketiga, Pembangunan mengabaikan daya tampung menambah kerentanan bagi petani. Monokultur dengan jenis tanaman yang rakus air seringkali luput dari kajian daya tampung lingkungan. Pertambangan berujung pada alih fungsi kawasan hutan, serta alih fungsi wilayah-wilayah resapan air. Aktifitas PT. MSM di Sumba Timur telah berdampak pada kekeringan lahan pertanian warga di wilayah hilir. Aktifitas pertambangan di wilayah Timor barat juga masuk dalam kawasan hutan serta mengabaikan seluruh kearifan lokal warga.
Wilayah-wilayah yang dikramatkan warga untuk kepentingan konservasi dipaksakan untuk tambang.
Keempat, Pembangunan mengabaikan daya dukung. Beberapa pembangunan lebih fokus memikirkan masa depan investasi serta ruang yang nyaman bagi investor. Sedangkan kelompok rentan seperti petani seringkali luput dari analisis dampak pembangunan. Pemandangan ini terjadi di lokasi sekitaran PLTP Daratei mataloko.
Lahan pertanian berdampak buruk akibat aktifitas pengeboran. Rumah-rumah warga tidak luput dari dampak buruk aktifitas pengeboran. Banyak yang mengeluh atap rumah (seng) karat.
Berangkat dari permasalahan di atas, WALHI NTT mengingatkan pemerintah provinsi NTT di momentum hari tani ini.
Pertama, Hentikan seluruh investasi kotor di NTT. Investasi yang menambah kerentanan wilayah NTT, serta investasi yang merampas ruang-ruang penghidupan rakyat termasuk petani.
Kedua, Mengecam seluruh upaya pengabaian hak petani serta pastikan distribusi tanah yang merata bagi seluruh petani di NTT.
Ketiga, Libatkan Petani dalam menentukan arah kebijakan pengembangan pertanian di NTT. Petani memiliki hak untuk menentukan masa depan pertaniannya.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp ChanelÂ
Â