Ruteng, infopertama.com – Hari ini, persis sehari setelah May Day (Hari Buruh) 02 Mei juga kita peringati Hari pendidikan Nasional (Hardiknas) yang dalam sejarahnya merupakan hari lahir bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara (KHD). Ia adalah menteri Pendidikan pertama di Indonesia, juga sebagai pendiri Perguruan Tamansiswa yang berpusat di Yogyakarta.
Pada saat bersamaan, 02 Mei 2022 umat Muslim Indonesia juga merayakan Idulfitri 1443 H, setelah selama sebulan penuh menjalankan ibadah puasa. Puasa kali ini begitu istimewah sebab dua tahun sebelumnya Indonesia masih berkutat dengan pandemi Global, Covid-19.
Saat lebaran, Idulfitri, mudik menjadi budaya nasional, budaya bangsa. Hampir setiap orang di perantauan akan kembali ke kampung halaman, bersilaturahmi dengan keluarga besar. Bertemu saudara, sahabat dan siapa pun. Ketika itu, orang akan saling bermaaf-maafan.
Lebaran, Idulfitri jadi momen untuk berkumpul, tuk saling kenal dan memperkenalkan anggota baru dalam suatu keluarga besar. Ada yang baru bersuami atau istri, atau juga kelahiran manusia baru. Memiliki mantu, cucu, cece atau cicit baru, maka, bisa jadi saat lebaran, Idufitri semua akan saling kenal.
Lantas, bagaimana dengan Cear Cumpe?
Cear Cumpe dalam Kebudayaan Manggarai, NTT secara hurufiah, menurut Akademisi Unika Santu Paulus, Dr. Adi M. Nggoro, S.H., M.Pd, bermakna membongkar tungku api.
Pemaknaan membongkar tungku api ini, lanjut Dr. Adi merujuk pada seorang ibu yang barusan bersalin merasa kedinginan dan tidur di dekat tungku api (toko ruis sapo). Tujuan untuk menghangatkan badan, karena banyak darah yang keluar setelah bersalin. Namun karena ibu merasa badannya sudah cukup hangat dan bayi yang baru lahir sudah lewat dari lima hari setelah bersalin, maka boleh keluar kamar tidur dekat tungku api (ruis sapo). Dan, selanjutnya tidur di kamar keluarga.
Pindah lokasi tidur dari dekat tungku api (toko ruid sapo) dan pindah tidur ke kamar keluarga inilah Cear Cumpe.
Selanjutnya adalah pemberian nama setelah bayi yang sekitar berusia 3 bulan. Acara pemberian nama pertama-tama untuk nama kampung (teing ngasang tu’u/ngasang beo). Pemberian nama ini sebelum ada pemberian nama baptis (tradisi Katolik)
Kalau anak laki-laki, maka nama yang diusulkan adalah nama marga ayah (patrilineal) atau leluhur pada marga ayah.
Tetapi kalau anak perempuan, beber Nggoro maka nama bisa juga pakai nama marga pada anak rona (keluarga asal mama) atau keluarga asal istri.
Pria asal Wakel, Rejeng, ini juga menjelaskan bahwa Cear Cumpe bermakna syukuran. Cear cumpe seperti ini khusus untuk syukuran keluarga besar yang memeroleh berkat berlimpah keturunan, berkat pekerjaan dan pendidikan.
Dalam ritual Cear Cumpe, memerlukan hewan yang disembelih, khusus untuk pemberian nama (teing ngasang) adalah manuk lalong bakok (jantan putih).
Sementara ‘tuk Cear Cumpe Syukuran, lanjut Dr. Adi, hewan yang sembelih oleh anak rona adalah manuk jantan berwarna merah (lalong cepang). Dan babi jantan putih (ela bakok) dan mbe kondo (kambing).
Moment Keluarga Besar Berkumpul
Keluarga yang hadir dalam acara tersebut yakni keluarga kerabat ayah (patrilineal), keluarga kerabat ibu (anak rona), keluarga saudari perempuan (Woe atau anak wina), dan tetangga kampung (keluarga kerabat pa’ang ngaung).
Momen kelahiran dan pemberian nama ini menjadi sangat bersejarah dalam kehidupan manusia dalam Tradisi Manggarai, juga kelahiran KHD yang kita peringati sebagai Hardiknas. Begitupun dalam lebaran, ada momen seluruh keluarga besar berkumpul tuk bermaaf-bermaafan saat Idulfiti terasa berbeda dengan maaf-maafan di luar Idulfitri.
Langkah-langkah ritual Cear Cumpe di antaranya dengan kelo one leso atau menjemur di matahari pagi hari yang dilakukan hari kelima setelah bersalin.
Ritual ini menjadi tanda anak mengenal dunia dan beradaptasi dengan alam yang disebut juga ratung wuwung atau menguatkan bubungan kepala anak agar bisa beradaptasi dengan lingkungan.
Acara ini dilakukan setelah lepas tidur di dekat dapur.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp ChanelÂ
Â