Oleh Fais Yonas Bo’a★
infopertama.com – Pembangunan dan pengembangan Geotermal selalu diwarnai berbagai macam issue; mulai dari lingkungan hingga terkait hak ulayat masyarakat. Persoalan seperti ini memang dinilai wajar karena geotermal memang berkaitan langsung dengan hal tersebut.
Mengenai hak ulayat memang menjadi dalil paling kuat bagi masyarakat. Terutama sekali, hak komunal atas tanah yang bersifat turun temurun diakui secara konstitusional di Indonesia. Lalu, bagaimana kedudukan hak ulayat ketika dihadapkan dengan kepentingan negara?
Geotermal dan Kemakmuran Rakyat
Negara dibentuk tentulah untuk menggapai cita-cita dan tujuan bersama. Sebagaimana termaktub di dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 bahwa negara Indonesia dibentuk dengan 4 tujuan pokok yaitu:
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
Memajukan kesejahteraan umum;
Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dengan adanya tujuan-tujuan bernegara di atas, maka konsekuensi logisnya adalah negara berkewajiban untuk mengupayakan tercapainya tujuan tersebut. Kita mau akui atau menafikannya, yang paling sulit diusahakan adalah memajukan kesejahteraan umum atau dengan kata lain memakmurkan rakyat. Maka dari itu, negara melalui pemerintah; mulai dari pemerintah pusat sampai pemerintah yang terkecil (desa) berkewajiban memperjuangkannya.
Sebagaimana sering saya terangkan dalam beberapa ulasan saya sebelumnya bahwa salah satu upaya negara dalam urusan kemakmuran rakyat adalah dengan memanfaatkan sumber daya alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia. Salah satu contoh pemanfaatan kekayaan alam adalah Geotermal.
Program negara dalam membangun dan mengembangkan geotermal, sebagaimana telah dan sedang dilakukan PLTP Ulumbu di Desa Wewo dan kawasan Pocoleok; semata-mata demi kemakmuran rakyat terutama kemakmuran masyarakat sekitar.
Mengapa dikatakan demikian? Benarkah geotermal berkontribusi untuk kemakmuran masyarakat sekitar? Saya tidak akan secara membabi buta katakan benar atau tidak. Mari kita secara jujur melihat kontribusi geotermal PLTP Ulumbu di Desa Wewo. Untuk diketahui bersama, PLTP Ulumbu Desa Wewo telah beroperasi sejak 2011/2012. Harus jujur dikatakan bahwa sedari awal pembangunan sampai beroperasi pada 2011-sekarang penyerapan tenaga kerja lokal (Desa Wewo, Ponggeok, Wae Ajang dan sekitarnya) sangatlah stabil.
Selain penyerapan tenaga kerja, masyarakat sekitar juga memperoleh manfaat dari rumah-rumah yang dikontrakan. Pelaku-pelaku usaha lokal seperti warung/kios tentu saja merasakan dampak positif dari keberadaan PLTP Ulumbu. Tidak sampai di situ. Program-program CSR (Coorporate Social Responsibility) alias tanggung jawab sosial perusahaan seperti pemberdayaan kelompok tani, sumbangan untuk perbaikan rumah adat, bantuan komputer untuk sekolah, bantuan modal untuk bengkel-bengkel mebel dan lainnya. Artinya adalah keberadaan PLTP Ulumbu memberikan kemakmuran bagi masyarakat sekitar.
Hak Ulayat secara Konstitusi
Dampak positif PLTP Ulumbu terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar menjadi bukti yang sulit dibantah. Namun demikian, tetap saja menjadi fakta menarik bahwa riak-riak masalah senantiasa beriringan dengan program pembangunan untuk kemajuan dan kemakmuran. Begitu pula dalam kaitannya dengan pengembangan geotermal PLTP Ulumbu di kawasan Pocoleok. Salah satu narasi yang kerap digaungkan di sana adalah “Pocoleok tanah ulayat”.
Pertanyaannya sekarang ialah bagaimana keberadaan hak ulayat dalam konstitusi negara kita? Apakah UUD 1945 mengakui atau mencampaknya? Mengenai konstitusionalitas hak ulayat, barang kali mudah diketahui bahwasannya tanah ulayat itu konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pengaturan Pasal 18B ayat (2) di atas, pada kenyataannya kerap kali ditafsir secara serampangan. Bahkan, tidak jarang ditafsir sesuai keperluan. Itulah alasan mengapa banyak orang awam hukum tiba-tiba bicara pasal ini ketika berhadapan dengan pembangunan negara. Hal ini jugalah yang terjadi di kawasan Pocoleok. Beberapa pihak yang sengaja “bermain api” di sana menjadikan dalil tanah ulayat sebagai “senjata” melawan PLN-PLTP Ulumbu.
Supaya narasi tanah ulayat dipahami secara baik dan bijaksana, maka menjadi tanggung jawab moral dan akademis saya untuk menjelaskan makna Pasal 18B ayat (2). Pertama-tama, pasal ini memberi pengakuan dan penghormatan yang tinggi terhadap keberadaan masyarakat adat termasuk tanah adat-hak ulayat. Akan tetapi, pengakuan dan penghormatan demikian tidaklah bersifat mutlak alias bersyarat. Bersyarat artinya adat-budaya yang diakui, dilindungi dan dihormati negara sepanjang masih hidup dan dipraktikan. Selain itu, selama adat-budaya tidak bertentangan dengan perkembangan masyarakat dan zaman.
Kalau dikontekstualisasikan dengan adat Manggarai maka Pasal 18B ayat (2) akan berlaku ketika kelembagaan adat suatu masyarakat masih hidup; katakanlah tanah komunalnya masih ada (lingko rame). Selain itu, struktur kepengurusan di Gendangnya masih jelas. Lebih dari itu, apakah acara dan ritual-ritual adat masih dipraktikan secara terus menerus. Kalau fakta beradat dalam suatu masyarakat (Gendang) konsisten turun-temurun dilaksanakan, maka sudah pasti pengakuan terhadap adat beserta hak ulayatnya mutlak diakui. Tetapi, kalau misal praktik beradat hanya untuk menolak geotermal maka unsur bersyaratnya mutlak berlaku.
Kewajiban dan Kekuasaan Negara
Konstitusionalitas tanah ulayat yang sifatnya bersyarat tersebut tentu kemudian menuntut negara untuk mengakui, menjamin, melindungi dan menghormati keberadaannya. Akan tetapi, ada hubungan simbiosis-mutualisme (saling menguntungkan) antara pengakuan negara terhadap hak ulayat dengan dukungan masyarakat adat terhadap pembangunan negara; katakanlah geotermal. Mengapa demikian?
Ada 2 jawaban terkait pertanyaan di atas. Pertama, soal kewajiban negara. Di setiap ulasan terkait geotermal, selalu saya sampaikan bahwa negara berkewajiban untuk mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan luhur negara. Dalam kaitannya dengan geotermal maka sudah tentu negara mengupayakan tercapainya tujuan kemakmuran bersama. Atas dasar itu, semangat simbiosis mutualisme haruslah dikedepankan. Dengan demikian, sudah sepatutnya masyarakat selalu membuka diri dan mendukung segala upaya negara memakmurkan rakyat.
Kedua, tentang kekuasaan negara. Kewajiban negara dalam memajukan kesejahteraan umum tidaklah berjalan sendirian. Secara konstitusi, negara diberi kekuasaan dominan untuk menjalankan kewajibannya demi kemakmuran rakyat. Kekuasaan negara diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kalau diperhatikan ketentuan Pasal Perekonomian Negara di atas, dapat dipahami bahwa negara diberi kekuasaan untuk mengelola seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah NKRI untuk digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Hal demikian berarti segala kekayaan alam di wilayah NKRI wajiblah dikuasai negara.
Sebagaimana diketahui bersama, bumi Indonesia dikaruniai kekayaan alam berlimpah termasuk panas bumi (geotermal). Bahkan, Indonesia menjadi negara dengan cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Dengan demikian, geotermal wajiblah dikuasai negara untuk digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kekuasaan negara atas kekayaan “isi bumi” berlaku untuk setiap jengkal tanah yang menjadi teritori NKRI. Termasuk tanah ulayat di kawasan Pocoleok.
★Warga Desa Wewo, Penulis Buku Best Seller dan Editor di infopertama.com
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel