Ruteng, infopertama.com – Menjelang tahun politik 2024, fenomena politisi (caleg) dadakan mulai bertebaran. Para Politisi dadakan ini giat keluar masuk kampung, memperkenalkan diri dan menyampaikan niatnya yang katanya mulia, mau maju menjadi anggota legistalif.
Benar memang, sebab tidak semua orang mau menjadi caleg. Namun, cukup banyak juga yang kadang hanya jadi caleg-calegan. Ini maksudnya, mereka ini, sebenarnya belum paham betul apa yang bakal mereka buat ketika nanti benaran terpilih.
Soal ketidakpahaman ini, biasanya mereka sering menjanjikan yang bukan-bukan. Ada yang menjanjikan akan memperjuangkan tuk bangun jembatan di kampung A, padahal di sana tidak ada sungai. Ada pula, di suatu kecamatan, pada pemilu legislatif lalu ketika kampanyekan dirinya, dia menyampaikan kisahnya yang saat sekolah selalu gagal, berbisnis juga gagal. Sehingga, di hadapan konstituennya ini berharap dengan menjadi caleg dan nanti terpilih ia bisa sukses. Aneh benar, kan.
Tapi entalah, itu juga bagian dari cara mereka berkampanye, memikat hati pemilih agar bisa dipanggil bapak/ ibu dewan terhormat.
Namun, rerata, politisi dadakan ini juga menjadi sejarawan baru di Manggarai. Mereka seakan lebih paham membentangkan garis sejarah keturunan suatu suku, dan suku lainnya. Ada-ada saja cara mereka, entah dengan silsilah perkawinan, pertemanan dst sehingga kemudian ada pengakuan sesaat bahwa si politisi dadakan ini ada hubungan kekeluargaan, minimal ada pertalian sejarah.
Pegiat Sosial muda asal Reo, Piter Bota saat berbincang mengenai fenomena ini menjabarkan dua kategori utama. Caleg dan Caleg-Caleg(AN).
Menurutnya, Caleg benaran itu paham akan jobdesnya, sehingga benar-benar memperjuangkan hak masyarakatnya atau konstituennya.
“Kalau yang satu ini, caleg-calegan ini biasanya hanya sekedar meramaikan suasana dengan tujuan mempengaruhi peta politik atau arah dukungan masyarakat. Tidak paham tugas, kadang kalau tidak sesuai target mereka bahkan bisa pindah partai.” Tutur Piter Bota.
Piter mengakui bahwa itu adalah pilihan dan hak mereka. Hanya saja, lanjutnya sebaiknya kader partai politik harus melakukan pendidikan politik kepada masyarakat tanpa harus mempermainkan hak masyarakat.
“Kader partai politik harus jalankan pendidikan politik kepada masyarakat, jangan mempermainkan suara masyarakat. Kalau orientasi hanya cari sensasi dan mencari popularitas mendingan jangan mencalonkan diri. Karena kasihan suara masyarakat yang memilih orang yang tidak punya niat untuk maju menduduki kursi legislatif,” tegas Piter Bota, yang juga wartawan infopertama.com, Minggu (02/04/2023).
“Jika tidak punya niat untuk bertarung pada pemilu 2024 mending jangan mencalonkan diri karena sangat mempengaruhi peta politik dan peta dukungan masyarakat. Kita jadinya kasian lihat kandidat yang serius untuk maju dan punya niat untuk memperjuangkan suara masyarakat,” papar pegiat sosial asal Reo itu.
Ia mengingatkan bahwa DPRD sebagai mitra kerja pemerintahan daerah, melalui tiga fungsi utama yaitu fungsi regulasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Jangan mau jadi dewan janya karena besarnya dukungan suara tapi ketika terpilih tidak mampu bersuara di ruang dewan.
“Ingat DPRD itu sebagai mitra kerja pemerintah daerah berdasarkan UU No.23 Tahun 2014. Mereka menjalankan fungsi regulasi, fungsi budgeting (anggaran), dan fungsi controlling (pengawasan). DPRD harus punya kompetensi dan pemahaman konseptual terutama terkait dengan permasalahan yang dialami oleh Kabupaten Manggarai saat ini,” tutupnya.
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp ChanelÂ
Â