Dr. Adrianus M. Nggoro, S.H., M.Pd*
infopertama.com – Dalam dunia hukum ada dua sumber hukum yaitu hukum materiil dan hukum formil. Kedua hal ini selalu ada dalam regulasi dan penegakan hukum. Tanpa hukum materiil, hukum formil tidak akan terjadi juga dalam regulasi penegakan hukum. Dengan kata lain hukum materiil merupakan subtansi (isi/materi, bahan) dari hukum formil. Dan, hukum formil adalah cara mempertahankan hukum materiil dalam upaya penegakan hukum.
Ketika subtansi hukum materiil sudah diformilkan, maka harus patuh dan taat, sebab apa yang sudah tertulis itulah hukum.
Pemahaman inilah didasari oleh sebuah asas hukum yaitu “asas legalitas” (nullum delictum, nulla poena sine lege praevia poenali); oleh karena itu, barang siapa melanggar apa yang sudah tertulis, maka harus dihukum.
Pemahaman asas legalitas adalah hanya hukum yang tertulis saja yang dapat menentukan apakah norma hukum telah dikaitkan dengan suatu ancaman hukum menurut hukum pidana atau tidak. Asas ini juga dikenal dengan sebutan tidak ada pidana tanpa ada undang-undang yang mendahuluinya.
Penegakan hukum dengan mengutamakan “asas legalitas” pada umumnya diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum “civil law system” (penegakan hukum hanya berpatok pada undang-undang tertulis).
Negara-negara penganut “civil law system” adalah negara-negara Eropa Kontinental: Perancis, Jerman, Belanda, dan negara-negara bekas jajahan Belanda.
Contoh, dalam hukum materril mengatur “hak dan kewajiban karyawan”. Hak karyawan untuk mendapat upah dan kewajiban karyawan untuk bekerja. Untuk mengontrol kehadiran karyawan maka harus dibuktikan absen daftar hadir pada buku absen.
Apapun alasannya, jika karyawan hadir bekerja tetapi tidak ada daftar absen kehadiran pada buku absen yang dibubuhi tanda tangan kehadiran, maka karyawan tersebut dinyatakan tidak hadir bekerja dan upahnya (honor) dikurangi. Kebetulan suatu waktu ada seorang karyawan di suatu Yayasan Pendidikan, sering lupa isi daftar absen kehadiran di kantor, tetapi karyawan tersebut nyatanya hadir bekerja bahkan selalu datang lebih cepat dan rajin bekerja. Namun sayangnya karyawan tersebut dianggap bandel karena tidak mengisi absen dan gajinya dikurangi dan bahkan diberi sanksi PHK (putus hubungan kerja).
Bagaimana dengan sistem hukum di Indonesia
Di satu sisi Indonesia menggunakan “asas legalitas” dengan menganut sistem hukum berpatok pada undang-undang (civil law system), namun di sisi lain Indonesia bisa saja mengesampingkan asas legalitas demi memperjuangkan asas keadilan dan hak asasi manusia yaitu dengan menerapkan sistem hukum kebiasaan yang hidup (common law system).
Sistem hukum dengan penegakan “common law system” kebanyakan diterapkan di negara-negara Anglo Saxon (Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada dan Amarika Serikat.
Jadi, untuk sistem hukum yang diterapkan di Indonesia dengan mengsinergikan (resultante) antara “civil law system” (penegakan hukum hanya berpatok pada undang-undang tertulis) dan menerapkan sistem hukum kebiasaan yang hidup (common law system). Oleh karena itu, penegakan hukum di Indonesia memberi peluang peran hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Yang termasuk living law adalah hukum adat (adat rech, cultural law) dan peran hukum keagamaan sebagai pengendali moral.
Untuk itu, Pancasila sebagai Hukum Prismatik untuk meresultante penegakan hukum yang berkeadilan, berkemanusiaan (menjunjung tinggi HAM). Hal itu, dalam setiap amar putusan hakim selalu diawali dengan kalimat, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini menunjukkan bahwa keadilan itu bukanlah keadilan semu, kepastian pasal-pasal dalam undang-undang, tetapi tujuan hukum yang utama dan tertinggi adalah keadilan dan kemanfaatan dengan mempertimbangkan segi kemanusiaan (HAM).
Belakangan ini, berita di media masa kasus pemecatan tenaga kesehatan Non ASN (Nakes Non ASN) sebanyak 249 orang oleh Bupati Manggarai, mungkin dari positivisme hukum -hukum sudah dipatokan ketentuan honor, besar honor dan sampai pada pengelompokan Nakes: Tenaga Pendukung Pelayanaan Kesehatan, Tenaga Penunjang, THL disertai dengan pengelompokan besaran gaji/honor mereka (Red infopertama.com, 14/4/24) merupakan diskusi publik dan tanggapan serius pemerintah Pusat melalui kementerian Kesehatan akan melakukan peneyelidikan terkait pemecatan Nakes Non ASN (red. https://www.Detikcom; tvONews.com, 13/4/24).
Hemat penulis, dari sudut asas legalitas mungkin merupakan dalil pembenar dari pihak Pemda Manggarai, Bupati Manggarai, Herybertus Nabit. Namun perlu dipertimbangkan sisi lain dari hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum adat (common law, living law). Nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Manggarai adalah musyawarah mufakat (budaya lonto leok), dan dalam istilah Manggarai Timur adalah Weku, bantang kilo (dalam Pasal 33 bicara kesejahteraan ekonomi berlandas pada asas kekeluargaan).
Kasus pemecatan tenaga kesehatan (Nakes) Non ASN berjumlah 249 orang di Kabupaten Manggarai, Flores, NTT, mungkin dari segi legalitas (tertulis) mereka dinyatakan tenaga honorer, dengan segala macam status keren Non ASN dan dikategorikan dalam pengelompokan (THL, Tenaga Pendukung Pelayanan Kesehatan, Tenaga Penunjang Pelayanan Kesehatan) sehingga menjadi alasan pembenar untuk berdalil, tetapi mungkin dari sudut kinerja kerja, loyalitas kerja mereka lebih baik daripada gelar terhormat ASN.
Di samping tenaga kesehatan Nakes sebanyak 249 orang perlu pertimbangkan masa kerja mereka yang sudah sekian lama mengabdi demi negara RI di Manggarai. Nilai pengabdian itu (segi materiil) melampaui segi formil status tertulis sebagai tenaga honorer (THL, Tenaga Pendukung Pelayanan, Tenaga Penunjang Non ASN).
Dalam pemecatan NAKES sebanyak 249 orang memuat unsur diskriminasi pemacatan. Untuk itu, mungkin pertimbangkan juga asas good governance yaitu sebuah asas yang menekankan prinsip terhadap proses penyelenggaraan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and services. Jika dilihat dari functional aspect, good governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan atau sebaliknya. Oleh karena itu, perlu terobosan pemerintah membuat kebijakan baru sepanjang tidak bertentangan dengan asas umum negara, yaitu asas lex specialis derogate legi generalis kebijakan ini juga bisa didasari oleh semangat demokrasi. Asas kesadaran hukum merupakan bagian dari pertimbangan hukum.
Hal itu dalam hukum adat Manggarai nilai kebersamaan itu bagian dari semangat hidup orang Manggarai (lonto leok). Tradisi lonto leok diimplementasikan dalam sistem demokrasi antara Pemda Manggarai (executive) dan masyarakat Manggarai melalui DPRD Kabupaten Manggarai (legislative).
Tradisi lonto leok sangat relevan dengan suatu asas hukum nasional yaitu asas kesadaran hukum. Yang dimaksud dengan asas kesadaran hukum adalah baik warga masyarakat maupun penguasa, penegak hukum harus dapat memahami, menghayati dan mematuhi hukum sesuai doktrin negara hukum yang “demokratis”. Istilah demokratis adalah menunjukkan ada ruang musyawarah dan mufakat, demi mencapai tujuan hukum: keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Sebagai clossing statement, bukan hukum yang tertulis dengan rapi termuat dalam Pasal-pasal dalam undang-undang sebagai dasar pijakan pada kepastian hukum menjadi satu-satunya alasan kita untuk membenarkan sebuah kebijakan negara tetapi harus perhatikan asas keadilan, kemanfaatannya.
Keadilan dan kemanfaatan merupakan tujuan hukum yang tertinggi karena bersentuhan langsung nilai kemanusiaan dan HAM. Oleh karena itu, jadikanlah sebagai nafas penegakan hukum dengan kalimat dalam setiap amar putusan hakim selalu diawali dengan kalimat, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
*Penulis adalah juga Anggota Asosiasi Profesor dan Doktor Hukum se-Indonesia. Budayawan, Alumni Program Doktoral Hukum Undip Semarang
Ikuti infopertama.com di Google Berita dan WhatsApp Chanel